Oleh: Bahren Nurdin, MA
Salah satu janji politik Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi, Zumi Zola dan Fachrori Umar, pada saat kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2015 lalu adalah misi merebut kembali Pulau Berhala yang telah menjadi milik Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dengan optimis janji ini diumbar kepada seluruh masyarakat Jambi dan penduduk dunia. Kini mereka telah terpilih. Bagaimana realisasi janji tersebut? Konteks tulisan ini sekedar mengingatkan janji yang telah diucapkan untuk mengurangi penderita amnesia setelah Pilkada. Melawan lupa!
Untuk menyegarkan ingatan kita akan sengketa Pulau Berhala antara Provinsi Jambi dan Kepri, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Pemohon dalam perkara No. 62/PUU-X/2012 perihal pengujian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Riau (Kepri). Putusan MK ini berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 49 P/HUM/2011, tanggal 9 Februari 2012.
Dalam putusan tersebut, MA menyatakan batal demi hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 44 Tahun 2011, tanggal 29 September 2011, tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala. Ini artinya, melalui putusan ini Pulau Berhala secara hukum sah masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lingga, Propinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Melalui aritikel yang berjudul “Berhala; Catatan Hitam Sejarah Jambi”, saya pernah menyampaikan “Inilah kisah akhir drama ‘rebutan’ Pulau Berhala antara pemerintah Jambi dan Kepri. Berakhir ‘sad ending’ bagi masyarakat Jambi dan harus ihklas mengucapkan ‘Selamat Tinggal’ kepada Pulau Berhala. Inilah catatan hitam sejarah Jambi”. Sebagai penutup tulisan itu saya sampaikan “palu MK sudah diketuk, Pulau Berhala telah berpindah tangan, HBA telah minta maaf, dan rakyat telah ‘dipaksa’ legowo. Semoga almarhum Datuk Paduka Berhala juga legowo menerima kenyataan ini”. ‘Case closed!’
Kisah panjang perebutan pulau nan indah ini sebenarnya sudah selesai. Ketukan palu MK sifatnya final dan mengikat. Suka tidak suka, ikhlas atau tidak, sedih atau bahagia, masyarakat Jambi telah menerimanya. Toh, kita masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Milik siapa pun Pulau Berhala secara administratif, dia tetap merupakan kekayaan bangsa ini yang boleh dinikmati bersama.
Tetapi mengapa pada perhelatan Pilgub lalu isu ini kemudian dijadikan ‘jualan’ oleh Pasangan ZZ-FU? Sekarang ‘dagangan’ itu telah laku dibeli masyarakat Jambi. Pasangan ini telah terpilih untuk memimpin negeri ‘Sepucuk Jambi Sembilan Lurah’ ini hingga tahun 2021 mendatang. Pertanyaannya sederhana, apa usaha dan ikhtiar yang sedang berlangsung sebagai bukti janji itu akan ditepati?
Sejauh ini, tidak terdengar ada langkah-langkah konkret yang disampaikan Pemprov kepada masyarakat Jambi bahwa ‘perjuangan’ itu sedang berlangsung. Atau, isu ini kalah heboh dibanding ‘perang’ Lacak dan Peci Nasional? Beberapa saat setelah pelantikan, pernah terdengar bahwa Gubernur Jambi menemui Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri untuk mendisusikan hal ini. Setelah itu, bak batu jatuh ke lubuk; sunyi.
Bagi masyarakat Jambi tentunya bukan persoalan Pulau Berhala-nya, tapi lebih pada realisasi janji politik yang telah dicuapkan. Masyarakat juga sudah cerdas dan tidak mau diberi janji-janji palsu. Jika begitu, ‘harga’ Pulau Berhala itu senilai dengan janji seorang pemimpin. Janji politik harus dilunasi.
Akhirnya, janji adalah hutang, dan hutang harus dibayar. Masih ada waktu bagi ZZ dan FU untuk membuktikan bahwa Pulau Berhala adalah benar warisan nenek moyangnya orang Jambi. Yakinlah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi masyarakat selain melihat pemimpinnya yang siddiq, amanah, tabligh dan fatonah dalam mengemban tugas. Semoga.
#BNODOC8729032017
*Akademisi dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi
Discussion about this post