Oleh: Bahren Nurdin, MA
Rasanya tidak perlu saya rinci dalam artikel singkat ini betapa hebatnya perjuangan mahasiswa negeri ini. Sejarah telah banyak mencatat beberapa perubahan fundamental yang terjadi selalau dimotori oleh mahasiswa. Dari masa ke masa selalu melahirkan aktivis-aktivis pejuang bangsa. Orde demi orde berlalu; Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Mahasiswa berada di barisan paling depan bersama rakyat berjuang untuk memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan. Jika perjuangan memerlukan pengorbanan, maka tidak sedikit pula aktivis mahasiswa yang berkorban jiwa dan raga, bahkan banyak pula yang gugur menjadi kusuma bangsa. Keren pokoknya!
Namun sayang, akhir-akhir ini agaknya perjuangan mahasiswa telah ‘ternodai’. Perjuangan dan pergerakan mahasiswa ‘diperkosa’. Banyak gerakan mahasiswa tidak lagi berangkat dari roh perjuangan itu secara murni, namun sudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Menyedihkan lagi, beberapa gerakan perjuangan mahasiwa ‘diperjual belikan’ dengan harga murah; diobral.
Agar tidak bias dan salah paham, saya tegaskan, memang tidak semua gerakan mahasiswa dibeli dengan uang. Tidak semua. Kita yakin masih banyak gerakan-gerakan perjuangan mahasiswa yang murni. Katakanlah oknum, tapi ‘jual beli’ nyata terjadi. Dampaknya, sekarang sulit membedakan mana yang murni dan mana yang pragmatis; pesanan.
Sekedar untuk memberi contoh dan juga menghindari fitnah, cobalah ‘jalan-jalan’ menelusuri berbagai berita bersama ‘mbah google’. Ketiklah ‘demo mahasiswa bayaran’. Dari sekian banyak judul berita yang muncul, saya ambil yang paling atas “Mengungkap Demo Bayaran Mahasiswa Bengkulu” yang diangkat oleh kompas.com. Isinya mengejutkan, dan inilah pengakuan salah satu mahasiwa yang terlibat “Saya sering mengikuti demo yang dibayar itu, biasanya dalam satu kali demo mahasiswa memperoleh uang Rp 50.000 per orang ditambah satu bungkus nasi,” kata DD saat ditemui di wilayah Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu, beberapa waktu lalu”.
Katakanlah DD dan kawan-kawannya adalah oknum. ‘Nila setitik di dalam susu sebelanga’. Tidak mewakili seluruh mahasiswa. Tapi apakah kita bisa tutup mata? Ternyata, hanya lima puluh ribu rupiah saja. Sebegitu murahkah harga sebuah perjuangan? Inilah perjuangan dan pergerakan mahasiswa yang ternodai.
Maka dari itu, ketika jalan telah ternodai dan tidak lagi menjadi tempat ‘suci’ perjuangan, maka saatnya mahasiswa kembali ke ‘barak’. ‘Barak’nya mahasiswa itu adalah kampus. Masuk kembali ke kampus!
Masuk ke kampus bukan berarti berhenti berjuang! Perjuangan tidak akan pernah berhenti. Gerakan mahasiswa harus terus berkobar dan bergelora. Sebagai salah satu unsur ‘social control’ dan ‘agent of change’, mahasiwa tidak boleh patah semangat. Namun yang perlu dievaluasi saat ini adalah cara dan strategi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan mahasiswa saat ini untuk ‘demo’ adalah dengan menulis. Sejarah pergerakan mahasiswa pun telah banyak membuktikan batapa tulisan-tulisan para aktivis telah banyak berhasil memperjuangkan kehidupan bangsa ini. Beberapa nama aktivis nasional yang namanya berkibar di setiap masanya dapat dipastikan mereka yang suka menulis.
Hal ini juga sudah menjadi keprihatinan kita. Mahasiswa saat ini telah banyak meninggalkan aktivitas kepenulisan. Banyak mahasiswa yang ‘buta sejarah’ mengira gerakan reformasi pada tahun 1998 terjadi begitu saja secera spontan. Mereka gagal melihat ‘time line’ perjuangan yang dilakukan oleh para kativis masa itu. Berapa banyak aktivis mahasiswa yang dijebloskan ke penjara karena tulisan mereka. Berapa banyak pula yang hilang tanpa berita karena opini-opini di media masa. Mereka menulis!
Menyedihkan, saat ini para aktivis mahasiswa malas membaca, menulis dan berdiskusi. Sebagai orang yang keseharian berinteraksi dengan para mahasiswa, saya sering menanyakan buku apa yang sedang mereka baca? Jika tidak berlebihan dari 10 mahasiswa yang ditanya, paling banyak 1 atau 2 orang yang menjawab sedang membaca buku tertentu. Selebihnya hanya membaca wall facebook dan wa. Genresai medsos!
Sebenarnya tidak ada yang jelek dengan medsos. Jika mampu dimanfaatkan secara positif dan produktif, medsos bisa dijadikan ‘arena’ baru untuk demo. Coba bayangkan, jika sebagaian besar aktivis mahasiswa menyampaikan keritik dan pemikirannya melalui tulisan, dan tulisan itu kemudian disebarluaskan melalui berbagai media soasial, bukankah dampaknya sanga dahsyat? Bandingkan dengan demo di jalan yang cenderung lokal dan terbatas, tulisan melalui berbagai media bisa melintas melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Begitu juga budaya diskusi yang semakin tertinggalkan. Sulit sekali melihat mahasiswa yang mengadakan diskusi-diskusi kecil di kampus saat ini. Mereka masyuk dengan hp masing-masing. Apa jadinya jika mahasiswa tidak lagi menjadikan membaca, menulis, dan berdiskusi sebagai aktivitas utama mereka? Maka terbentuklah mahasiswa-mahasiswa yang ‘kerdil’. Mahasiswa semacam ini lah yang juga paling gampang dimanfaatkan oleh pemilik kepentingan pragmatis.
Akhirnya, perjuangan mahasiswa di jalan sudah banyak yang ternodai oleh oknum-oknum mahasiswa sendiri. Masyarakat sudah banyak yang ‘underestimate’ terhadap demo-demo yang dilakukan. ‘Ah paling dibayar’, kata mereka. Maka dari itu, saatnya mahasiswa kembali ke kampus untuk berdiskusi, membaca dan menulis. Perjuangan dan pergerakan jangan berhenti tapi jangan pula biarkan marwah mahasiswa dicaci dan dikibiri dengan rupiah dan sebungkus nasi. Semoga. #BNODOC39012017
*Akademisi tinggal di Jambi [bahren_nurdin@yahoo.com]
Discussion about this post