Mungkin kesannya terlalu keras. Di kelas saya, jika ujian dilaksanakan secara tertutup, dilakukan pengawasan sangat ketat. Seluruh peserta ujian harus melengkapi diri sendiri dengan segala hal yang dibutuhkan termasuk penghapus, penggaris, pena, pensil dll. Tidak dibenarkan sama sekali untuk berkomunikasi satu sama lain. Sederhananya, ‘melihat ke belakang, kiri-kanan berarti GAGAL!’. Ujian mahasiswa bersangkutan langsung dibatalkan.
Begitu juga dalam hal pembuatan karya ilmiah berupa makalah atau penulisan artikel ilmiah. Haram hukumnya nyontek atau plagiat. Jika terbukti dan dengan sengaja melakukannya, akan dinyatakan gagal. Tidak hanya gagal pada makalah tersebut, tapi gagal mata kuliah dan akan mengulang pada semester berikutnya. Bagi saya, sepintar apa pun seorang mahasiswa, jika nyontek maka nilainya jadi nol.
Kejam dan keras? Kesannya memang begitu. Dan ini sudah saya lakukan sejak menjadi dosen tahun 2003. Seluruh mahasiswa saya sudah sangat faham. Ada yang suka dan ada pula yang menganggap saya ‘killer’. Tapi bagi saya tidak masalah mau dianggap apa karena saya memiliki alasan dan tujuan yang baik untuk mereka. Sederhananya, besi tidak akan bisa dibentuk jadi apa pun, pedang atau parang, jika tidak ditempa dengan cara dibakar dan dirajam. Saya sedang menjadikan mereka pedang yang mahal. Ya, harus ditempa!
Sungguh ada begitu banyak alasan mengapa kejujuran sangatlah penting ditanamankan kepada para peserta didik kita. Sangat penting!
Secara psikologi, jika mereka datang ke ruang ujian dengan pikiran bahwa mereka tidak bisa mencontek atau berdiskusi dengan teman-temannya, maka mereka akan mempersiapkan diri secara makasimal dan memanfaatkan segala kemampuan yang dimiliki. Dengan cara ini seluruh potensi dirinya akan maksimal pula dimanfaatkan.
Bagi dosen, bisa dengan murni pula mengetahui kemampuan para mahasiswanya. Siapa yang sudah faham atas materi-materi yang disampaikan dan siapa yang belum. Tentu dosen memiliki kebijakan-kebijakan dalam melakukan penilaian. Dan sebaliknya, jika mereka saling mencontek, maka dosen tidak pernah tahu kemampuan dan pengetahuan mereka. Boleh jadi nilainya bagus tapi didapat dari hasil nyontek.
Terlepas dari persoalan akademik tersebut, ada hal penting liannya yang selalu saya sampaikan kepada mahasiswa mengapa mereka harus jujur yaitu tentang keberkahan ilmu. Sesuatu yang didapat dengan kecurangan maka tidak akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan. Saya tegaskan, anda insya Allah akan lulus dan menjadi sarjana. Dapat toga dan ijazah. Tapi apakah ilmu anda akan mendatangkan manfaat untuk masa depan anda?
Saya tidak bermaksud menjeneralisir, tapi rasanya tidak salah pula jika kita mengambil pelajaran. Coba lihat ada begitu banyak sarjana yang ilmunya tidak mendatangkan manfaat dalam hidupnya. Banyak para sarjana yang memiliki indeks prestasi (IP) tinggi tapi melamar kerja tidak diterima atau membangun usaha selalu gagal. Singkintanya, sarjana pengangguran.
Akan tetapi, ada pula sebagian dari mereka yang IP-nya biasa-biasa saja, tidak juga terlalu mencolok di kelas. Ketika lulus dia selalu mendapat kemudahan-kemudahan dalam hidup. Ilmunya bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Ya, rezeki itu memang urusan Allah. Tapi jangan lupa ada unsur sebab akibat. Maka saya selalu ingatkan kepada mahasiswa jujur dan kerja keraslah saat kuliah agar ilmu yang didapat membawa keberkahan.
Akhrinya, persoalan jujur dalam menuntut ilmu tidak hanya urusan akademik. Nyontek dan plagiat tidak hanya melanggar kaedah akademik tapi juga menghancurkan keberkahan ilmu yang didapat. Ingatlah bahwa masa depan anda ditentukan oleh apa yang dilakukan hari ini. Jika hari ini menjalankan kehidupan penuh kecurangan, maka tunggu saja kehancuran di masa yang akan depan. Mahasiswa, jujurlah demi masa depanmu! Semoga.
Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi)
Discussion about this post