“saya tidak punya biaya untuk membayar ukt smester 5 slnjutnya, dikarenakan ayh saya yg Sdh berhenti bekerja selama 2 Thun terakhir, & sekrng pkrjaan nya serabutan & driver ojol, ibu saya tdk bekerja sir. Sementara adik” sya juga butuh biaya untuk masuk SMP Thun ini. Trus ukt sastra Inggris ini besar Skali sir 3 juta, kalau saya putus kuliah ,saya nggak mau sir, saya minta bantuan sir untuk meringankan ukt sya”
Ini salah satu pesan WA salah seorang mahasiswa saya. Salah satu dan yang terkini. Semenjak jadi dosen tahun 2003 lalu, saya selalu dibanjiri pesan-pesan seperti ini. Padahal saya bukan pejabat. Saya tidak punya hak menurunkan UKT mereka. Mungkin karena mereka tahu saya pernah melewati situasi seperti yang mereka hadapi; menjadi mahasiswa miskin.
Alhamdulillah, selalu ada jalan untuk mereka. Kadang bukan dari saya, tapi banyak para dermawan yang mengulurukan tangan membantu mereka. Seperti juga dulu waktu saya berjuang melawan berbagai badai kehidupan dalam perjuangan menuntut ilmu.
Musim membayar spp adalah waktu paling ‘horor’ bagi sebagian mahasiswa bil khusus mahasiswa ‘kebanyakan’. Lebih-lebih saat ini, situasi semakin sulit ketika wabah virus Corona melanda. Ekonomi goyang, kehidupan sosial terganggu, dunia pendidikan pun terdampak.
Haruskah menyerah? Tidak. Kawan-kawan mahasiswa tidak boleh menyerah. Semua tenaga dan kesempatan harus dimaksimalkan. Mengeluh dan mengalah bukan pilihan. Maka penting sekali memiliki manajemen diri yang baik. Beberapa hal yang mungkin dapat diperhatikan.
PENGELOLAAN KEUANGAN
Sedikit berbagi, sejak SMA hingga kuliah S1 dan S2 saya sudah terbiasa menjalankan kehidupan sebagai ‘pejuang pendidikan’. Berbagai ‘profesi’ sudah pernah saya jalani selama menuntut ilmu. Saya pernah jadi office boy, kacung pemungut bola tennis, kuli bangunan, tukang kebun, berjualan roti bakar, berdagang air mineral galon, dan lain sebagainya. Karena sulitnya mendapatkan uang, maka penting sekali untuk memenej pengeluaran.
Ketika kuliah di UGM misalnya, saya dapat beasiswa Aus-AID (Beasiswa Kerja Mahasiswa). Dari beasiswa itu saya tabung untuk SPP sebanyak dua semester. Tabungan ini tidak boleh diganggu dengan alasan apa pun. Jika harus memilih untuk tidak makan atau mengambil tabungan itu, maka saya memilih untuk tidak makan. Saya bisa menahan lapar, tapi saya tidak mau menunda bayar spp.
Itu artinya, jika selama satu tahun saya sama sekali tidak bisa mencari uang spp, maka kuliah saya belum terganggu. Inilah manajemen keuangan. Pilihannya memang sulit. Tapi lebih sulit jika tidak memiliki manajemen yang baik.
Sejak memutuskan untuk hidup merantau dan jauh dari orang tua, saya sudah terbiasa mempersiapkan diri dengan situasi tersulit. Mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan. Sedapat mungkin menekan keinginan dan memprioritaskan kebutuhan. Kebutuhan pun masih harus dibuat list urgensitasnya. Walaupun butuh, tapi belum mendesak tidak perlu mengeluarkan uang.
Ingat, dalam masa perjuangan seperti ini, satu rupiah itu berharga. Satu rupiah itu penyelamat nyawa. Satu rupiah itu menyambung hidup untuk masa depan. Pokoknya, jauhkan diri dari kata hura-hura, apa lagi poya-poya. Ikat pinggang dikencangin, perut ‘dikempesin’.
BERFIKIR SOLUTIF
Meminta dengan orang tua lebih enak. Mengeluh lebih mudah. Seorang mahasiswa pernah berkata ‘Mencarikan biaya kuliah itu kan emang tugas orang tua, Pak’. Betul. Anda tidak salah. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya tidak sekolah. Apa pun akan mereka lakukan demia anaknya. Tapi ketahuilah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan.
Ketika orang tua dalam kondisi keuangan sulit, apakah anda mundur begitu saja? Atau menyelahkan orang tua? Itu bukan mahasiswa. Salah satu ciri intelektual itu adalah solutif. Selalu mencari cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Kecuali mahasiswa ‘abal-abal’.
Saya selalu katakan kepada kawan-kawan mahasiswa, berhentilah menjadi ‘pengemis intelektual’. Jika anda setiap bulan minta kirimin uang, apa namanya jika bukan ‘pengemis’. Bedanya, anda pakai jas almamater.
Sungguh, ada begitu banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu meringankan beban orang tua. Tinggal lagi mau atau tidak. Ini hanya persoalan mindset. Jika berpikir solutif, maka akan ditemukan berbagai solusi, tapi jika cara pikirnya ‘pengemis’, maunya hanya diberi dan menyalahkan. Menyalahkan orang lain atau menyalahkan keadaan.
Kawan-kawan mahasiswa. Sekarang memang situasi sulit. Uang kuliah menghimpit. Ekonomi orang tua pailit. Tapi apakah anda akan mundur? Jangan, mahasiswa hebat itu tidak boleh sekarat walaupun berat. Yakinlah, akan ada jalan keluar dari setiap kesulitan dengan manajemen diri yang baik dan selalu berpikir solutif. Ayo berjuang..!
*Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi dan Mindsetting programmer)
foto: https://www. cnbcin donesia. com
Discussion about this post