Perbedaan antara ‘mahar’ dan ‘mahal’ itu ternyata hanya pada huruf akhirnya. Tapi dampaknya dahsyat. Salah satu faktor yang membuat politik itu mahal adalah mahar. Catat, salah satu. Berarti masih ada salah lainnya.
Apa itu mahar politik? Belum ada definisi shaheh. KBBI baru mendefinisikan kata mahar pada konteks perkawinan. Mahar diartikan ‘pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; maskawin;’
Agaknya akar kata inilah yang coba diadopsi untuk mendefinisikan ‘mahar politik’. Pada konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, secara bebas dapat di definisikan dengan menyesuaikan kata ‘mempelai laki-lakinya’ dengan calon kepala daerah (cakada) dan ‘mempelai perempuan’-nya partai politik (parpol). Maka terjadilah ‘penikahan politik’. Biasanya, semakin ‘cantik’ parpolnya, semakin tinggi pula maharnya.
Apa dampak ‘perkawinan’ semacam ini? Kembali kepada pernyataan saya di atas bahwa gara-gara mahar politiklah salah satunya yang membuat berpolitik di negeri ini manjadi mahal. Saya tidak ingin menyebutkan partai-partai tertentu yang ‘gila’ mahar, cukup baca saja berita yang beredar jika anda ingin tahu lebih jauh.
Yakinlah partai-partai yang meminta mahar politik tidak akan mengakuinya. Mereka akan menggunakan istilah-istilah lain untuk ‘melegalkan’ atau mencari dalih. Intinya, jika ingin menjadi kepala daerah dengan menggunakan perahu partai, seorang cakada harus berani setor ‘maskawin’. Seberapa besar? Fantastis!
Dampak yang paling nyata adalah terciptanya politik ‘untung-rugi’. Berapa modal yang ditanamkan dan bagaimana cara mengembalikannya. Jika seroang cakada sudah harus membayar mahar politik milyaran atau bahkan puluhan milyar rupiah, maka ketika menjabat ‘modal’ tersebut harus dikembalikan. Bagaimana caranya? Apa lagi yang bisa dilakukan selain maling uang rakyat? Apa pun bentuk dan modusnya!
Idealnya, ‘perkawinan’ antara cakada dengan partai bukan berlandaskan ‘mahar politik’, tapi ideologi partai dan garis perjuangan yang terangkum dalam visi dan misi. Pertanyaan parpol terhadap cakada adalah ‘apa dan bagaimana anda memperjuangkan kepentingan rakyat? Bagaimana pemahaman anda terhadap garis perjuangan partai?, dst. Itulah makanya, orang yang paling tepat diusung oleh parpol adalah kadernya sendiri.
Seorang kader dipastikan telah memiliki pemahaman mendalam terhadap garis-garis besar perjuangan partainya. Dengan cara itulah nantinya ia akan berbuat untuk rakyat. Faktanya, banyak parpol tidak memiliki kader yang layak untuk dicalonkan menjadi pemimpin daerah. Ketika tidak ada kader yang layak jual, maka yang terjadi adalah ‘rekrutmen’. Lihat saja saat ini, banyak parpol yang membuka pendaftaran. Bursa cakada pun semakin ramai. Ini ternyata juga menjadi penyebab lain timbulnya ‘mahar politik’.
Perlu diingat pula, ketika politik itu mahal, tidak hanya menjadi bibit korupsi tetapi juga tersingkirnya orang-orang baik calon pemimpin di negeri ini. Negara ini hancur kerana orang-orang baik dan bersih tersingkir dari dunia politik. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk naik panggung karena keterbatasan kemampuan finansial. Sementara itu, sebagian besar mereka yang masuk ke dunia politik adalah yang memiliki capital yang notabenenya adalah pengusaha alias pedagang. Kepentingan rakyatlah yang kemudian diperdagangkan. Tentu, tidak semua.
Mungkinkah dihapuskan? Ini pertanyaan berat. Jika bicara hukum, tentu ratusan pasal bisa menjerat mereka, dari undang-undang pemilu hingga KUHP. Tapi mereka pasti lebih lihai mengelabui hukum. Maka sebenarnya dikembalikan kepada hati nurani mereka para pelaku baik cakada maupun parpol. Mereka harus menyadari bahwa ‘mahar politik’ hanya akan membawa dampak buruk bagi daerah, bangsa dan negara ini. Itupun jika mereka masih memiliki hati nurani.
Akhirnya, diakui atau tidak, terbuka atau tertutup, ‘mahar politik’ telah membuat perpolitikan kita mahal dan semakin tidak sehat. Praktek ini menjadi benih korupsi dan menjadikan politik negeri ini ‘dagang sapi’: untung-rugi. Orang-orang bersih minim modal akan tersingkirkan. Masyarakatlah pada akhirnya yang tersakiti. Pembangunan akan terus dikibiri. Kemakmuran tinggal mimpi. Sampai kapan?
Discussion about this post