Ketika matahari merangkak meninggalkan siang, senja pun menjelma. Hentian Kajang adalah sebuah kota kecil bagian dari Selangor, Malaysia. Mobil-mobil pribadi masih berkeliaran walau tidak seramai di Kuala Lumpur. Sepeda motor masih berseleweran. Pejalan kaki mulai menepi tak lagi berebut trotoar. Para pedagang computer, pakaian, bengkel motor, mulai menutup toko berganti dengan para pedagang makanan yang sibuk membuka dan menyiapkan makanan untuk dijual. Irama kehidupan sedikit mengendur seiring panas yang telah ditelan gulita. Merayap namun pasti.
Kota kecil ini hanya lima menit naik bus (orang Malaysia langsung menyebut dan menulisnya BAS) dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Flat-Flat bagai kotak-kotak kecil yang ditegakkan. Penguhuni flat-flat ini sebahagian besar adalah para pendatang baik pekerja maupun mahasiswa. Di flat ini terasa hawanya sebagai tempat hunian orang-oarng menengah ke bawah atau hanya tempat pengusaha membangun usaha mereka. Bila berdiri di salah satu lanti dari flat tersebut yang nampak hanyalah gantungan jemuran pakaian. Sebenarnya tempat ini mendekati tempat kumuh, namun karena tertata rapi kesan kumuh tersebut tertutupi. Namun yang muncul kemudian adalah kesen berdesakan. Andai ada pembatasa pemakaian oxygen oleh Tuhan, tempat ini pasti susuh sekali bernafas. Masing-msing berebut untuk hidup.
Suasana magrib seperti ini sepintas terasa berlalu begitu saja. Tidak ada azan magrib yang menggema seperti di Mesjid Istqlal. Tak ada pula bunyi beduk seperti yang dipukul Datuk Mael di kampung saya. Tak ada simbol-simbol bunyi Islam digemakan. Namun dibalik sunyi itu ternyata umat muslim berduyun-duyun mengejar masjid. Ada yang berlari, berjalan tergesa-gesa, naik motor, dan sebagainya.
Sungguh suasana ini menggelitik hati saya. Di kota kecil ini Islam tidak di bangun dengan simbol tetapi dengan jiwa dan keimanan (roh). Bukan azan magrib yang menghimbau mereka tuk pergi ke mesjid. Tidak pula bunyi beduk yang memaksa mereka menghentikan aktivitas. Tidak. Mereka digerakkan menuju mesjid oleh kesadaran keimanan dan keislaman yang mendarah daging. Maka dapat disimpulkan, ketika Islam itu telah berdiri dalam sanubari umat muslim maka tidak perlu lagi penegeras suara (speaker) untuk azan. Simpan saja beduk untuk pawai malam takbiran hari raya idul fitri.
Berlarian dari rumah masing-masing menuju satu titik menghadab ka’bah. Shalat berjamaah. Mesjid kecil depinggir kota ini diisi oleh umat muslim dari berbagai negara. Keanekaragaman bahasa terasa. Warna kulit berbeda. Tapi semua menjadi satu ketika menyebut sang pencipta Allahhu Akbar. Orang-orang Malaysia yang notabenenya penduduk asli bertempat tinggal di sekiran masjid tersebut berbusana lengkap baju kok (teluk Belango) berkopiah haji. Orang-orang Indonesia berkain sarung. Tidak banyak berbeda.
Orang-orang arab seperti dari Mesir, Irak, Jordan, Iran, dll memakai baju gamis (Jalabiah) tapi tidak memakai sorban atau ikat kepala sepeti Saddam Husein atau Osama bin Laden. Tapi jangan kaget juga tenyata ada yang hanya memakai trening dan celana pendek yang hanya beberapa senti menutupi dengkul. Ini sungguh keaneka raman yang sangat kental. Perbedaan yang tidak perlu diperbedakan. Itulah magrib di Bandar Kajang.
Discussion about this post