Institut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi merupakan sebuah institusi pendidikan tinggi ‘terhormat’ di Provinsi Jambi. Label ‘Agama Islam’ pada nama ini memberikan sebuah ‘grand image’ bahwa institusi ini dipenuhi oleh orang-orang akademis yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mupuni. Singkatnya, di sinilah para pakar syariah (guru besar, professor, doctor, kiyai, ustad, dsb) bercokol yang mestinya dapat dijadikan panutan oleh ummah khususnya di Provinsi Jambi. Namun sayang, agaknya label ‘Agama Islam’ tersebut tidak banyak tercermin dari kehidupan kampus ini sendiri, dari para elite hingga kaum awamnya.
Tidak terlalu susah untuk menyebutkan beberapa kasus yang mendukung ‘fakta’ ini. Sebut saja, pertama, pemilihan rektor yang telah dilangsungkan pada tahun yang lalu (2010) hingga hari ini tak kunjung selesai. Rektor yang telah dipilih oleh para anggota senat tidak bisa dilantik karena ditengarai masih terdapat berbagai masalah, intrik, dan konflik. Konflik di tingkat elit yang berkepanjangan. Terlepas dari apa pun konflik tersebut, apa pun kepentingan politik yang ada, siapa pun yang ‘mengacau’ di dalamnya, bagi saya kasus ini sudah cukup menggambarkan bahwa label ‘Agama Islam’ pada isntitusi pendidikan ini tidak lebih dari sebuah label. Hanya sebuah label yang gersang makna. Karena, adakah ‘Agama Islam’ mengajarkan ummatnya untuk berpolitik seperti ini? Adakah Al-quran dan sunnah Rasulullah mengajarkan adab-adab berpolitik dan merebut kekuasaan seperti ini? Bukankah mereka yang ‘berseteru’ ini berada pada tingkat guru besar (professor) yang diyakini memiliki ilmu ‘Agama Islam’ yang mupuni? Di mana roh ajaran Islam itu mereka tempatkan?
Kedua, isu plagiasi yang menyayat hati. Tidak tangung-tanggung, salah satu isu kejahatan akademis ini berhembus dari kalangan elite kampus (di tingkat guru besar dan doctoral). Isu ini kemudian ‘hanya’ dijadikan ‘rahasia umum’, sebuah rahasia yang diketahui oleh semua orang. Lantas bagaimana di tingkat penulisan skripsi mahasiswa S1? Mungkin anda bisa menjawabnya sendiri.
Ketiga, jaringan mafia. Ternyata ada juga Gayus junior di kampus ini. Beberapa hari lalu saya didatangi oleh dua orang mahasiswa. Mahasiswa semester pertama. Kedatangan mereka untuk menyampaikan sebuah pengakuan bahwa mereka telah menjadi korban jaringan mafia ‘percaloan’ pindah jurusan di lingkungan IAIN STS Jambi. Menurut pengakuan mereka, kedua mahasiswa ini diterima di kampus ini bukan pada pilihan pertama. Setelah mengikuti perkuliahan beberapa bulan, ternyata keinginan untuk belajar pada pilihan pertama masih sangat kuat. Jurusan pilihan pertama mereka bukan pada fakultas tempat mereka belajar saat ini, tapi ada pada fakultas lain. Keinginan untuk pindah jurusan mereka sampaikan kepada salah seorang teman mereka sendiri, sebut saja Mahasiswa X. Mahasiswa X juga mengalami hal yang sama yaitu lulus di jurusan yang bukan ia inginkan, tetapi dia bisa pindah fakultas dan jurusan dengan ‘mulus’ bahkan tanpa surat pindah dari fakultas yang ia tinggalkan. Mahasiswa X pun menawarkan ‘jasa’ proses pindah fakultas dan jurusan ini kepada kedua temannya yang sedang kebingungan tersebut dangan syarat memberikan imbalan sejumlah uang. Menurut pengakuan mahasiswa X kepada kedua mahasiswa tersebut dia memiliki orang-orang ‘hebat’ di IAIN yang akan memuluskan semua proses perpindahan tersebut. Singkat cerita, kedua orang mahasiswa itu pun menyerahkan sejumlah uang kepada Mahasiswa X dan dijanjikan bisa langsung kuliah di fakultas yang dituju. Naasnya, kedua mahasiswa tersebut tidak lagi mengikuti perkuliahan sebagaimana biasanya karena mereka sudah yakin bisa pindah ke fakultas yang baru. Namun, janji itu sampai saat ini belum terpenuhi.
Dengan ksus ini, secara pribadi saya benar-benar shock dan banyak sedikitnya memberikan dampak negative terhadap ‘mindset’ saya akan institusi ini. Jujur saja, saya sempat bertanya kepada diri sendiri ‘apakah saya sudah berada pada tempat yang tepat? Atau saya sedang tersesat?” Saya shock karena apa yang terjadi di hadapan saya sama sekali di luar dugaan, bahkan terpikir pun tidak. saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa praktek mafia seperti ini sudah berada di level mahasiswa. Yang lebih menyedihkan lagi adalah label ‘mahasiswa IAIN’ yang menempel pada oknum tersebut.
Bolehlah menepis semua ini dengan beralibi bahwa kasus-kasus ini hanyalah kasuistis yang bisa terjadi di mana saja, dan orang-orang yang melakukan kejahatan di dalammnya hanyalah oknum. Bolehlah beralibi bahwa semua kasus ini dan semua orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak menggambarkan atau mewakili institusi IAIN STS Jambi secara keseluruhan. Tapi terlepas dari alibi-alibi tersebut, sebagai bagian dari institusi ini, saya pribadi benar-benar merasakan kegelisahan yang teramat sangat. Bernarkah institusi ini sudah sedemikian bobroknya? Seorang mahasiswa pun sudah mampu melakukan kejahatan sedemikian rupa. Ditambah lagi, belum hilang dari ingatan kita kasus korupsi petinggi IAIN yang sempat ditangani oleh Kejati Provinsi Jambi beberapa tahun silam (walau kasus tersebut kemudian menguap entah ke mana). Belum lupa di benak masyarakat beberapa mahasiswi di keluarkan karena terbukti telah melakukan perzinaan bebas. ‘Pertembungan’ di tinggakat elit yang semakin tidak menunjukkan kewibawaan. Dan lain sebagainya.
Sekali lagi, tulisan ini tidak lebih dari sebuah bentuk kegelisahan pribadi saya. Pertanyaan-pertanyaan psikologis-akademis terus menghujam bila menyaksikan realita-realiata yang ada. Benarkah roh akademis kampus ini telah dimamah habis oleh roh politis yang cendrung ‘amis’? Benarkah diskusi-diskusi ilmiah kampus ini telah disita oleh diskusi-diskusi perebutan jabatan dan kekuasaan? Benarkah gelar-gelar (kehormatan) akademik seperti professor, doktor, master, dan serjana tidak lagi menjadi jaminan kebijaksanaan intelektualitas penyandangnya? Lantas, di dunia mana sekarang saya berada? (the silent questions).
Penulis:
Bahren Nurdin
Staf Pengajar Fakultas Adab IAIN STS Jambi
Discussion about this post