Sudah Lama juga rasanya kita tidak bersilaturrahim. Ya, tiga tahun sudah waktu berlalu sejak aku mengundurkan diri dari tempat kita berkerja. Wah, kawan-kawan sudah punya jabatan semua pastinya. Selamat ya.
Maaf aku menghilang. Aku sebenarnya tidak pergi ke mana-mana. Aku hanya pulang ke rumah. Ya, hanya ke rumah. Tapi maaf aku sengaja ‘menutup pintu’ karena aku benar-banar ingin menikmati hari-hari di rumah. Semua media sosial sengaja akau off-kan, nomor hp yang lama aku matikan. Aku membeli nomor baru dan itu pun hanya untuk keluargaku. Maaf ya kawan-kawan.
Kini tiba saatnya aku ingin bercerita bagaimana nikmatnya di rumah, kawan. Dulu aku berpikir, bisa bekerja full time, berkumpul dengan kawan-kawan, jalan-jalan ke mall, shopping, makan-makan, ngerumpi adalah sebuah kebahagiaan tiada tara. Ternyata salah! Kini kehidupan aku yang full time di rumah rupanya jauh lebih nikmat dari itu semua.
Pasti kalian tidak percaya. Aku tahu, kalian akan berkata aku udik, norak, tidak gaul, sekolah tinggi kok maunya di rumah, dan sebagainya. Ah, dulu aku juga berkata begitu ketika melihat ibu-ibu yang hanya di rumah. Tapi sekarang, aku benar-benar merasakan bagaimana indahnya tinggal di rumah. Kalian tidak perlu ikut-ikutan aku. Ini kan pilihanku dan akulah yang merasakannya.
Masih ingat kita selalu berdiskusi tentang feminisme? Wah, kita hafal bangat dengan tokoh-tokoh feminis seperti Mary Wollstonecraft, Virginia Woolf, Simone de Beauvior, Kate Millet dan banyak lagi. Siapa dulu ya yang ngefans bangat sama mereka? Kita sampai-sampai lupa dengan wanita-wanita hebat yang dimiliki Islam.
Hebatnya lagi, kita hanya menjadikan kisah Asma, sang Perawat di zaman Rasul, atau Khodijah, seorang business women yang sukses, sebagai alibi untuk membenarkan diri ‘berkeliaran’ di luar rumah. Padahal kawan, sungguh kualitas kita jauh lebih rendah dari mereka. Mereka keluar rumah dengan aturan-aturan Islam yang kokoh. Tapi, kita? Bukan kita, tepatnya aku. Tentu aku malu jika dibandingkan dengan mereka.
Tiga tahun lalu, aku benar-benar tersadar bahwa rumah adalah tempat terbaik untukku. Banyak momentum yang membuat aku harus memutuskan untuk ‘tinggal’ di rumah. Aku bahagia dan aku menemukan duniaku sebenarnya sebagai hamba Allah terlahir sebagai perempuan.
Kawan, inilah aku saat ini.
Maaf, aku belum bisa memberi tahu di mana aku saat ini. Anggap saja tulisan ini pengganti hadirku. Tulisan ini pun hanya sekedar berbagi, tidak pula untuk menggurui. Dan, jangan pula kalian perdebatkan tulisan ini. Aku tahu, kalian tidak akan setuju dengan pendapatku ini. Bahkan, aku yakin tulisan ini akan dibenci oleh wanita seisi dunia ini, kecuali para perempuan solehah yang telah menemukan ‘jalan pulang’ ke rumah.
Jika pun kawan-kawan harus membenciku karena tulisan ini, tidak masalah. Mungkin ini hanya persoalan cara pandang saja. Kita boleh kok memiliki cara pandang yang berbeda karena toh pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan hidup ini sendiri-sendiri di hadapan Allah. Dulu kita sudah memiliki cara pandang yang sama, sekarang izinkan aku memiliki cara pandang yang berbeda. Boleh kan?
Kawan, di rumah itu indah loh.
Dengarin ceritaku baik-baik ya. Aku sekarang bangun jam tiga subuh, loh. Masih ingat dulu aku pernah cerita bangun jam berapa? Waktu itu kalian tertawa ketika aku cerita di grup WA shalat subuh jam 7. Ya, dulu aku susah sekali bangun jam segitu kecuali mau ke toilet. Sekarang aku sudah bisa rutin untuk shalat tahajjud bersama suami tercinta. Dulu aku dibangunin, sekarang sudah sama-sama bangun karena suamiku emang suka bangun jam segitu.
Kok bisa aku bangun tengah malam? Wajarlah karena tubuhku selalu seger. Capek yang aku rasakan karena mengurusi anak-anak dan rumah tangga sungguh sangat berbeda. Beda kawan! Dulu capeknya itu sampai ke ubun-ubun yang dibarengi stress. Di rumah itu capek juga, tapi enjoy dan bahagia. Mungkin inilah yang disebut berkah dan ridha Allah.
Emang di luar rumah Allah tidak ridha? Allah jualah yang tahu. Tapi, lihat saja pergaulan kita dulu. Yang paling sering kita lakukan misalnya, kita pergi makan siang dengan bapak – bapak, hidupin music di mobilnya keras-keras, nyanyi bersama-sama, sering panggil-pangil ‘say’ pada suami orang, colak-colek, dan lain-lain. Kira-kira, Allah ridha dengan hal-hal semacam itu?
Kita mengira itu kebahagiaan kan? Ternyata salah, kawan. Lihatlah sampai rumah kita uring-uringan. Bertemu dengan keluarga tidak semangat, melihat suami bawaannya mau ‘nelen’ aja, anak-anak dimarahin padahal salahnya gak seberapa. Kita tidak sadar dan menganggap itu biasa. Apa kata yang sering keluar kepada mereka, “ngertilah sedikit, mama capek”.
Dulu senang rasanya minta pijitin anak-anak dan suami. Sampai mereka gotong royong mijitin. Kini, tidak ada yang lebih membahagiakan ketika jemariku mengantar lelap suami dengan pijitan-pijitan di tubuhnya. Memijit suami dengan penuh keikhlasan ternyata lebih membahagiakan ketimbang dipijitin.
Kawan, inilah aku saat ini.
Kawan-kawan pasti mengira bahwa aku saat ini jatuh miskin karena tidak lagi bekerja. Tidak punya buku tabungan sendiri seperti dulu. Salah kawan. Hitung-hitungan kita selama ini salah ternyata. Kita mengira dengan bekerja suami dan isteri itu akan mendatangkan banyak uang dan hidup bahagia. Jumlah uang banyak, mungkin. Tapi mendatangkan kebarokahan belum tentu.
Begini, kalian tahulah berapa gaji kita di kantor dulu. Dengan gaji sejumlah itu ternyata kita harus ke mall beli baju baru, beli lipstick tiap bulan, beli make up, sepatu, jajan, de el el. Kalo dihitung-hitung, sisanya sedikit bangat. Membantu keuagan suami? Sekarang saya malu mengingatnya. Kita merasa sudah paling berjasa membantu keuangan suami. Bahkan tidak jarang menghardik suami, “aku bekerja untuk siapa? Ya, untuk keluarga!”. Padahal setelah dihitung-hitung, beli baju juga masih dari gaji suami, hiks.
Ini yang lebih penting. Perlu juga kita memahami konsep keberkahan uang atau rezeki. Semenjak aku berhenti bekerja dan meniatkan diri secara total mengurus anak-anak dan suami, rezeki suami malah berlipat ganda. Pintu rezeki terbuka lebar. Aku hanya berpikir, dengan berkurangnya isteri beraktivitas di luar rumah sehingga ia terjaga dari segala macam dosa dan maksiat, rezekinya dilimpahkan melalui suami. Sebenarnya malah lebih enak. Tidak bekerja mati-matian, tapi bergaji lebih besar. Tidak perlu capek-capek dan stress.
Pasti kalian mau bilang, “kan bukan uang kita? Itu kan uang suami?” Ini juga konsep yang salah, kawan. Kita memang disuruh Allah menjaga harta suami kok. Ya kita jaga aja baik-baik, pasti deh dapat jatah penjaga, hehe. Ternyata, pertanyaan semacam itu tidak lebih dari godaan syaitan agar kita terus bermusuhan dengan suami.
Kawan, aku hanya ingin mengingatkan. Tapi jangan marah ya. Lihat sekarang, banyak kawan-kawan yang minta cerai kepada suaminya ketika mereka merasa independent, merdeka, tidak tergantung dan sejenisnya. Ternyata, kebanyakan wanita itu semakin banyak uangnya, semakin independent, semakin banyak titelnya, semakin tinggi jabatannya, semakin mudah minta cerai kepada suaminya. Semakin mudah membentak suaminya, semakin mudah merendahkan suaminya, semakin merasa ia punya kuasa. Inikah wanita-wanita yang akan menghuni surga Allah? Ngeri, ah.
Trus, titelku untuk apa? Banyak sekali kawan-kawan bertanya, bahkan berkata, “kalo untuk di rumah buat apa pendidikan tinggi?”. Aku sudah pandai menjawabnya sekarang, “pendidikanku telah aku jadikan fasilitas untuk menggapai ridha Allah dan jalan menuju surga-NYA. Bukan untuk melawan kodratku sebagai wanita dan melawan perintah Allah”. Kini aku gunakan pendidikan tinggiku untuk mendidik anak-anakku dan membahagiakan suamiku. Bukan untuk melawannya seperti dulu aku sering lakukan.
Kawan, banyak sebenarnya yang ingin aku ceritakan, tapi takut tulisan ini terlalu panjang.
Kini aku benar-benar menemukan diriku sebagai perempuan. Aku bangga terlahir sebagai perempuan. Ternyata, berada di rumah tidak membuat aku jadi rendah. Kini aku sadar se sadar-sadarnya bahwa surgaku, ya di rumah. Keistimewaanku ya di rumah. Baktiku ya di rumah. Di rumah bersama anak-anak dan suami. Di luar rumah hanyalah akan membawaku semakin dekat dengan neraka. Rumahlah benteng terhebatku dari segala godaan kemaksiatan dan bujuk rayu syaitan. Rumah tempat paling nyaman bagiku saat ini, kawan.
Bukan pula bermaksud riya’, kini aku bisa menjalankan ibadah dengan senang dan tenang. Alhamdulillah bisa puasa sunnah senin dan kamis, duha tidak pernah tinggal, sodakoh jalan terus, tahajjud terus dilakuin. Semua dapat diamalkan karena di rumah lebih bisa mengatur waktu istirahat, waktu makan, waktu ibadah, waktu bersama keluarga. Semua terasa indah di rumah.
Anak-anak dan suami pun menjadi sangat bahagia. Suami apa lagi. Dulu, nyaris tidak ada waktu untuk sekedar bersenda gurau karena semua pada capek. Dulu pun aku sering ‘ngeles’ yang membuat suami kecewa. Sekarang, akulah yang menguasai ‘medan’ tempur sebagai ladang amal di hadapan Allah. Kamarku, surgaku. Kawan-kawan yang masih sibuk di luar rumah, pasti tidak akan merasakannya.
Kawan, sebagai penutup tulisan ini, aku hanya ingin meyakinkan kawan-kawan bahwa tempat kita itu ya di rumah, kawan. Nikmat sekali di rumah itu. Menjadi pahlawan di dalam rumah itu jauh lebih membahagiakan ketimbang menjadi pimpinan hebat di luar sana. Tapi sekali lagi, itu semua tergantung pilihan kawan-kawan.
Kawan, maaf aku pulang duluan ya. Kalau kawan-kawan masih menikmati kehidupan luar, silahkan. Tapi jika sudah menemukan waktu yang tepat, pulanglah ke rumah. Nikmatilah indahnya menjadi perempuan di dalam rumah. Memang rumahlah surganya kita, kawan! #BN2017
Discussion about this post