O>>> 1 <<<O
“Hubungan macam apa ini?”
“Maksud Mas apa?”
”Ya…, entah lah. Aku juga bingung sendiri. Kita berhubungan tapi…”
“Kan kita sudah sepakat dari dulu. Bukannya dari awal kita sudah sepakat dengan model hubungan ini? Apa Mas lupa?”
”Model apa? Itulah yang selalu aku pikirkan. Ternyata kita semakin tinggi sekolah semakin kehilangan logika. Mana ada orang menjalankan hubungan seperti ini? Mana ada..?”
”Apa pedulinya dengan orang lain? Kan ini hubungan kita, Mas? Kita yang jalaninya. Bukan orang lain.”
”Iyaa… tapi… aku rindu sepotong namaku kau tulis di halamanmu”
’Apa…? Ooo… itu masalahnya? Tapi apa Mas pernah menyebut-nyebut namaku di halaman Mas? Mas… sudahlah. Jangan bodoh”
“Apa? Kalau kau sudah…. Itulah yang orang-orang ributkan tentang kita”
”Lagi-lagi orang. Apa sih pedulinya orang. Ini hubungan kita. Bukan hubungan orang. Aku ingin kita ngejalani hubungan ini karena kita. Hati kita. Bukan orang. Bukan hati orang lain”
”Tapi kita kan hidup dengan orang. Ada orang lain selain kita. Dunia ini bukan milik kita berdua! Apa kita harus menutup mata dan telinga dari bisingnya pertanyaan-pertanyaan orang tentang hubungan kita?”
”Lantas apa peduli mereka? Jika kita menjalani hubungan ini seperti yang kita inginkan, lantas mereka mau apa? Biarkanlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Toh kita juga tidak mengganggu mereka”
”Aku mau tidur dulu. Capek…. . Ini uangnya. Bayar dulu di kasir sana. Aku tambah dua pisang ”
”Selamat tidur, sayang ”
O>>> 2 <<<O
”Minggu depan aku pulang. Kota itu sudah menantiku ”
”Apa? Kota tua itu yang membuat kau begitu semangat untuk memesan tiket pesawat semahal ini? Mengapa harus minggu depan? Bukannya lebaran masih sangat lama? ”
”Apa maksud Mas dengan pertanyaan-pertanyaan itu? Mas tidak suka aku pulang?”
”Bukan…bukan aku tidak suka kau pulang kampung. Tapiii…”
”Tapi Mas cemburu kan? Mas tidak mau aku bertemu…”
”Cukup…! Jangan kau sebutkan satu nama pun. Seperti di halamanmu yang tidak pernah menyebutkan namaku”
”Mas…”
”Tunggu, aku belum selesai. Halamanmu merindukan namaku. Bahkan monitor laptopmu menginginkannya. Namaku terlalu maya di sana. Di halaman maya itu”
”Mas….”
”Tunggu, aku inginkan alam nyata. Berpijak di alam nyata…”
”Mas…”
”Tunggu, mana yang lebih nyata, aku atau…”
”Mas… beri aku kesempatan! Ini apa? Apa maksud kata-kata ini? iya, sayng. sebentar lagi Abng plang. Hr sabtu, insya Allah. Sabr syang ya. Mas salah kirim. Masuk ke handphone-ku. Mana yang lebih nyata? Aku atau….”
”Apa…?”
”Aku atau…”
”Aku…..Aku mau selesaikan buku ini dulu. Ini tempat membaca buku. Dunia ini sudah teralalu maya. Mudah-mudahan gudang buku-buku berharga ini tidak menjadi maya”
”Mas….”
”Masuklah ke dalam dunia halaman-halaman teman mu. Bercengkramalah dengan duniamu. Dunia cinta kita. Maya”
”Mas…”
”Setengah jam lagi kita pulang”
O>>> 3 <<<O
”Depan belok kiri. Setelah lampu merah terus saja. Jangan belok kanan”
”Kita gak jadi pulang?”
”Mama minta belikan oleh-oleh. Kita ke…”
”Tapi kalo kita lewat sana pasti lama. Kota ini sudah sama dengan ibu kota kita. Macet..!”
”Tapi mereka sudah punya monorail. Menara mereka dua”
”Kita juga punya …………[dua]. Maya dan nyata. Entah mana yang maya dan entah mana yang nyata. Macet…!”
”Yang nyata yang ada di depan mata”
”Kalau mata dipejamkan?”
”Maya”
”Siapa yang maya. Aku atau….”
”Bukan atau tapi dan”
”Nah ini baru adil. Karena ini tanah Tuhan, jadi parkir gak usah bayar. Kecuali dibuatin gedung, baru parkir bayar. Beli apa? Mengapa lama sekali?”
”Ini kubelikan buat Mas”
”Terima kasih. Untuk dia…?”
” Kita pulang saja. sebentar lagi Magrib. Buka”
O>>> 4 <<<O
”Besok aku pulang”
”Berangkat lebih awal. Check in lebih awal. Bandara pasti sesak seperti pasar malam. Para pekerja pulang setor devisa”
“Jadi antar ke bandara kan?”
”Jadi. Aku milihat status di halamanmu in relationship. Apa ini pertanda akan ada perubahan dari maya menju nyata?”
”Itu dunia maya.”
”Apa bedanya dengan kita?. Maya”
”Betul, Mas. Aku merasakan dunia kita, dunia ini, semakin lama semakin tidak nyata. Semakin maya. Orang semakin samar. Nama semakin bergentayangan. Cinta kita pun ma…”
”Maya, maksudmu?”
”Mas, maksudku, Mas. Bukan Ma…”
”Apa? Bukan saya? Bercinta macam apa kita ini. Apakah hati kita juga sudah menjadi maya?”
”Mas, ini panggilan terakhir untukku. Aku harus masuk ke pesawat. Selamat tinggal. Jangan sebutkan satu nama pun di halamku dan di halamanmu, Mas. Biarkan ia maya”
”Ya. Terabanglah. Gapailah duniamu di ujung sana. Ini adalah gaya bercinta kita sekarang. Nyata tapi maya. Maya tapi nyata. Dua alam yang berbeda, tapi sama. Sama-sama maya, juga gila. Selamat jalan, kekasihku. [entah gelap entah terang]”
Malaysia, 17 September 2009 (8.51 pagi)
Discussion about this post