Oleh: Bahren Nurdin, MA
Asas yang dianut Pemilihan Umum di Indonesia adalah ‘LUBER’ yang merupakan singkatan dari ‘Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia’. ‘Langsung’ berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. ‘Umum’ berarti pemilihan dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Tidak hanya yang berada di dalam negeri tatapi juga warga negara yang bermukim di luar Bumi Pertiwi ini pun tidak kehilangan hak suara.
‘Bebas’ berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Bebas menentukan pilihan. Tidak boleh ada paksaan dari siapa pun dan pihak mana pun. Terakhir, ‘Rahasia’ berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. ‘Aurat’ yang tidak boleh diumbar kepada orang lain. Hanya anda dan Tuhan yang boleh tahu.
Asas ini sudah diberlakukan sejak era Pak Soeharto di zaman Orde Baru (Orba). Namun, ketika reformasi masuk, asas ini dirasa perlu untuk ditambah. ‘Luber’ saja tidak cukup, tapi harus juga ‘Jurdil’ yaitu ‘Jujur dan adil’.
Asas ‘jujur’ artinya bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat atau pemimpin yang akan dipilih.
Asas ‘adil’ adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Ada yang kurang? Rasanya sudah sangat lengkap dan mantap. Jika ada yang kurang, itu pasti pada tataran prakteknya. Secara teori asas pemilu yang kita miliki saat ini sudah sangat baik dan lengkap. Asas ini adalah fondasi utama yang seyogyanya menjadi pijakan utama dalam pelaksanaan pemilihan umum di negeri ini.
Artikel singkat ini tidak mungkin mengupas satu persatu asas yang begitu luas ini. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk mencermati satu asas saja yaitu ‘rahasia’. Asas ini menarik untuk dicermati karena apa yang terjadi di tengah masyarakat saat ini, agaknya asas ini sudah diabaikan. Itulah yang saya sebut ‘Luber tapi tidak rahasia’.
Yang disebut rahasia itu orang lain tidak mengetahui apa yang anda rahasiakan. Pada konteks Pemilihan Kepada Daerah tanggal 15 Februari 2017 mendatang, orang tidak tahu siapa pasangan calon yang anda pilih. Rahasia!
Tapi fakta yang terjadi di masyarakat malah sebaliknya. Setiap orang sudah sangat bebasnya menunjukkan dukungann kepada pasangan calon tertentu. Mereka dengan terang-terangan mempertontonkan kepada siapa suara akan diberikan. Ini namanya pelanggaran asas pemilu! Tidak bisa lagi disebut ‘luber’ tapi sudah ‘lube’, ‘rahasia’nya dihilangkan saja. Tanpa disadari, inilah ternyata yang menjadi biang permusuhan anak bangsa.
Terciptanya Permusuhan
Akibat yang paling nyata dari pengabaian asas ‘rahasia’ ini adalah terbentuknya blok-blok pendukung di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi terpecah belah. Kesatuan bangsa terancam punah. Kubu-kubu menyatu untuk saling serbu. Ego kelompok kerap kali muncul bersamaan dengan kemarahan dan kepongahan. Jika bukan ‘kami’ kau harus ‘dihabisi’. Miris!
Bagaimana seharusnya? Ya tidak boleh ada tim A dan tim B. Idealnya, bolehlah dianalogikan seperti orang jualan di pasar. Para penjual berjejer menawarkan barang daganganya. Masing-masing pembeli akan melihat-lihat, menimbang-nimbang, tawar-menawar, dan kemudian menentukan pilihan. Pilihan sepenuhnya di tangan pembeli. Penjual tugasnya hanya menjual dengan menunjukkan kepada pembeli bahwa apa yang ia jual adalah yang terbaik dibanding penjual lainnya.
Analogi ini tidak salahnya kita pasangkan pada perhelatan pilkada saat ini. Namun bedanya pada eksekusi ‘pembelian’. Di pasar pembeli dan penjual mengetahui langsung transaksi yang dilakukan. Eksekusi di tempat. Pada pemilihan umum ‘pembeli’ merahasiakan jualan ‘siapa’ yang dia ‘beli’. Eksekusinya ada di bilik suara.
Jika begitu, pada proses ‘jualan’ (dibaca, kampanye) yang dilakukan oleh kandidat, semua masyarakat memiliki akses yang sama kepada setiap ‘penjual’. Tidak boleh ada pengkotakan antara ‘pembeli A’ dan ‘pembeli B’. Semua bebas melakukan ‘transaksi’ dengan menggali seluruh informasi terhadap ‘barang dagangan’ yang ditawarkan. Lebih bagus lagi, semua paslon ‘jualan’ sama-sama di daerah yang sama. Kemana-mana bersama-sama. Alangkah damainya negeri ini.
Bentuk konkretnya, berarti tidak ada baju kaus pendukung. Tidak ada tim pemenangan (kecuali beberapa orang saja yang disahkan oleh penyelenggara). Tidak ada kampanye khusus pendukung A, pedukung B, pendukung C dst. Seluruh tempat adalah basis. Tidak ada dominasi daerah tertentu. Di tengah masyarakat benar-benar tidak nampak Si A akan memilih siapa. Semua orang merahasiakan pilihan masing-masing. Semua orang juga memiliki akses yang sama kepada semua pasangan calon yang ada. Semua berteman, semua bersahabat.
Dampak positifnya sangat besar saya rasa jika hal ini bisa dilakukan di negeri ini. Tensi pemilihan umum tidak akan meninggi. Tidak tegang. Tidak ada permusuhan antar pendukung. Dukungan hanya terungkap di bilik suara secara rahasia. Tidak akan ada yang saling lapor ke polisi karena setiap orang saling bergandengan tangan dan saling menghormati. Kepala daerah yang terpilih pun tidak akan merasa berhutang budi kepada siapa pun, juga tidak memiliki dendam apa pun. Semua orang nampak netral. Tidak ada permusuhan antar suku dan ras karena semua orang memiliki pilihan sendiri. Tak ada NISTA di antara kita!
Mengapa Pilkada kita saat ini terasa semakin mencekam? Karena kita telah melupakan asas yang telah kita sepakati bersama! Bagaimana cara mengembalikannya? Gampang, siapa saja yang tidak merahasiakan dukungan dan pilihannya, penjara menanti. Berani? #BNODOC37022017
*Akademisi dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi tinggal di Jambi [bahren_nurdin@yahoo.com]
Discussion about this post