Beberapa dekade lalu disebut KKN (Kuliah Kerja Nyata). Saat ini disebut Kukerta (Kuliah Kerja Nyata) karena penggunaan singkatan KKN sudah digantikan oleh Korupsi, Kulusi, dan Nepotisme. Kukerta atau KKN adalah sama dengan istilah yang berbeda. Kukerta adalah salah satu bagian penting dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengajaran dan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Kukerta masuk ke dalam kelompok yang ke tiga yaitu pengabdian kepada masyarakat. Karena Tri Dharma Perguruan tinggi adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan, maka pengabdian pada masayarakat sesungguhnya sama pentingnya dengan kegiatan akademik lainnya yaitu pengajaran dan penelitian. Sederhananya, pengabdian pada masyarakat sama derajatnya dengan belajar mengajar di kelas atau penelitian baik di dalam maupun di luar kampus.
Kukerta dilakukan dengan menerjunkan mahasiswa dan dosen ke tengah masyarakat. Beberapa mahasiswa di beri waktu selama lebih kurang dua bulan didampingi langsung oleh dosen yang ditunjuk oleh kampus yang disebut Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Kemudian, mahasiswa dan dosen bersama-sama terjun ke tengah masyarakat untuk ‘mengabdikan’ diri.
Selama ini, program kukerta sudah berjalan dengan baik. Masyarakat dengan senang hati menerima kedatangan masyarakat kampus di kampung mereka. Tiidak banyak yang keberatan dengan keberadaan mahasiswa. Mereka menganggap kedatangan mahasiswa dapat membantu segala sesuatu ‘kekuarangan’ yang ada di kampung tersebut. Namun demikian, ternyata ada paradigma yang salah dengan pelaksanaan Kukerta selama ini.
Paradigma Lama
Paradigma Kukerta selama ini ternyata sudah dipahami secara salah baik bagi mahasiswa, dosen, maupun masyarakat. Bagi masyarakat, kedatangan mahasiswa dan dosen ke desa mereka dengan membawa modal uang dan tenaga yang berlimpah (karena mahasiswa adalah anak muda yang kuat dan segar). Maka dengan asumsi ini, mahasiswa kemudian bisa ‘dimanfaatkan’ untuk pembangunan seperti pelangisasi (pembuatan papan-papan nama seperti papan nama RT, Kades, batas desa, dll). Mereka membuat itu dengan biaya sendiri (tentu dari kiriman orang tua masing-masing). Mereka mempunyai tenaga besar sehingga bisa dimanfaatkan untuk bersih-bersih masjid, kuburan, balai desa, dll. Paradigma yang ada selama ini, mahasiswa yang ber-Kukerta boleh di eksploitasi oleh masyarakat dengan maksimal.
Begitu juga dengan Mahasiswa dan dosen. Mereka datang ke lokasi Kukerta dengan paradima sebagai orang yang ‘superior’. Mereka merasa diri lebih dari orang kampung tempat mereka mengabdikan diri. Mereka merasa selama di kampus sudah memiliki ilmu pengetahuan yang banyak sehingga cenderung menganggap orang kampung sebagai objek yang ‘harus dikasihani’ dan perlu dibantu. Mereka datang bak Santa yang siap memberikan bantuan apa pun. Masyarakat hanya objek. Sehingga, pengabdian masyarakat bagi mahasiswa dan dosen dimaknai memberi (materi) sebanyak mungkin kepada masyarakat. Ini biasanya terindikasi, semakin banyak program-program monumental seperti pelangisasi, pemberian bantuan olah raga, bantuan alat tani, dll dianggap paling berperstasi dalam mengabdikan diri mereka.
Dengan demikian, selama ini telah terjadi paradima yang berorientasi ‘saling memanfaatkan’. Masyarakat menggunakan kata ‘mumpung’ sebagai alasan untuk meminta sebanyak-banyaknya kepada mahsiswa dan mahasiswa mereasa ‘paling hebat’. Sering terdengar di tengah masyarakat mereka berkata ‘mumpung ada mahasiswa Kukerta, kita bisa buat ini dan itu, minta ini dan itu, bersihin ini dan itu”. Mahasiswa pun harus ‘memeras’ orang tua masing-masing demi memenuhi tuntutan Kukerta. “Kukerta itu memang menghabiskan banyak biaya” adalah paradigma yang ada dibenak mereka.
Pardigma Pemberdayaan
Sudah saatnya paradigma itu dirubah total. Paradigma baru yang sedang dibangun saat ini adalah pemberdayaan. Ada beberapa poin penting yang membedakan pola Kukerta selama ini dengan pola pemberdayaan. Pertama, masyarakat bukan objek pengabdian bagi mahasiswa dan dosen tapi sebagai mitra. Artinya, kedua belah pihak berada pada level yang sama. Saling membutuhkan dan saling kerja sama. Masyarakat tidak lebih ‘rendah’ dari mahasiswa dan dosen, juga mahasiswa dan dosen bukan orang yang ‘superior’. Mereka berteman dan berkolaborasi. Mahasiswa dan dosen datang ke tengah masyarakat sebagai teman (come as a friend). Jika begini, tidak ada satu pihak yang memanfaatkan pihak lain.
Kedua, Mahasiswa dan dosen tidak membawa program dari kampus. Program-program yang dilaksanakan di dapat langsung di tengah masyarakat. Inilah kemudian yang disebut program berbasis asset. Mahasiswa dan dosen menelaah dan melihat (bersama-sama masyarakat), asset-aset apa yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian diberdayakan. Kata kuncinya, bersama-sama dan berdaya. Dalam menyusun program kerja kukerta masyarakat terlibat aktif (bukan objek yang pasif). Masyarakatlah yang paling memahami kebutuhan mereka. Mahasiswa dan dosen sebagai teman mencoba memberikan masukan dan solusi-solusi yang memungkinkan dengan mengedepankan diskusi dan musyawarah.
Ketiga, mahsaiswa bukan sumber mudal. Mahasiswa tidak boleh jadi ‘bank’ yang siap mengucurkan dana kepada masyarakat. Kata kuncinya dalam hal ini adala pemberdayaan. Mahasiswa bersama-sama masyarakat memberdayakan sumberdaya (modal) yang ada di tengah masyarakat. Modal utamanya adalah asset yang dimiliki masyarakat. Contoh sederhana, masyarakat memiliki kebun singkong yang selama ini hanya dijual atau dikonsumsi begitu saja. Maka bersama-sama, mahasiswa dan masyarakat, membuat program yang mampu menciptakan nilai tambah dengan singkong yang ada. Bisa misalnya dengan memberikan pelatihan kepada petani bagaimana membuat keripik singkong dengan pengemasan yang menarik. Dengan demikian, terjadilah penambahan nilai singkong yang selam ini hanya dikonsumsi begitu saja menjadi sesuatu yang berdaya dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Tantangan Besar
Tantangan terbesar adalah merubah paradigam (pola pikir) baik bagi masyarakat maupun bagi mahasiswa dan dosen. Memang harus diakui untuk merubah pola pikir (dan budaya) memerlukan waktu yang panjang. Di sinilah peran lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat untuk terus mengedukasi masyarakat dan akademisi. Di awal-awal perubahan paradigma ini mungkin akan teras berat, tapi yakinlah sesuatu yang baik dan dikerjakan dengan niat dan cara yang baik, akan mendatangkan kebaikan. Sebagai Mind-Setting Programmer yang fokus pada merubah paradigma seseorang, saya tahu persis bahwa diperlukan ‘tenaga’ besar untuk merubah pola pikir seseorang. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin. Saya telah memubuktikannya dengan merubah begitu banyak mindset yang salah. Di sinilah tantangan besar bagi masyarakat kampus untuk berani merubah paradigma yang ada dan perpikir positif dalam menanggapi segala perubahan. Semoga.
Discussion about this post