Oleh: Bahren Nurdin
Paling tidak ada tujuh tipe tindak pidana korupsi yaitu: 1. Tipe tindak pidana korupsi “Murni Merugikan Keuangan Negara”; 2. Tipe tindak pidana korupsi “Suap”; 3. Tipe tindak pidana korupsi “Pemerasan”; 4. Tipe tindak pidana korupsi “Penyerobotan”; 5. Tipe tindak pidana korupsi “Gratifikasi”; 6. Tipe tindak pidana korupsi “Percobaan, Pembantuan dan Permufakatan”; 7. Tipe tindak pidana korupsi “Lainnya”.
Tipologi ini ditulis oleh Dr. Ermansjah Djaja, SH., M.Si dalam bukunya yang berjudul “Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” (2010). Hal ini juga telah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Senada dengan itu, Prof. Dr. Syet Husein Alatas juga mengelompokkan tipologi tindak korupsi menjadi; Korupsi Transaktif (transactive corruption), Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), Korupsi yang memeras (extortive corruption), Korupsi Investif (investive corruption), Korupsi defensive (devensive corruption), Korupsi Otegenik (outogenic corruption), Korupsi Suportif (supportive corruption).
Dan beberapa pakar lainnya telah pula membuat berbagai teori dan rumusan tentang korupsi yang saat ini telah dinyatakan sebagai ‘kanker’ ganas pembunuh bangsa. ‘Kanker’ yang belum ditemukan obatnya. Ada pun ‘rumah sakitnya’ (dibaca: KPK) juga sedang diberangus sedemikian rupa. Jika rumusan di atas adalah tipenya, maka pada tulisan ini saya ingin memberi sudut pandang lain yaitu, alasannya.
Mengapa tindak koruptif bisa terjadi?. Atau bahasa lainnya, mengapa orang bisa terjerumus melakukan korupsi. Tulisan ini semacam tinjauan psikologi seorang koruptor (corruptor-psyche). Saya ingin menegaskan bahwa sesungguhnya seorang koruptor itu adalah seorang pecundang alias pengecut.
Tidak peduli panggkatnya apa, tidak peduli jabatannya apa, tidak peduli latar belakang pendidikannya apa, tidak peduli gelar akademiknya apa, selagi dia melakukan tindakan koruptif maka dia pantas disebut pecundang! Jadi, karena dia pengecut makanya jadi koruptor. Saya merumuskan paling tidak ada empat hal ke-pengecutan sang koruptor.
Pertama, pengecut melawan diri sendiri. Dia tahu bahwa tindakan korupsi itu melawan hukum. Dia tahu bahwa memperkaya diri dengan uang haram itu tidak baik menurut ajaran agama (apa pun agamanya). Perbuatan dosa. Dia pun tahu bahwa cepat atau lambat tindakan koruptifnya akan mengirimnya ke balik jeruji. Tapi memang dasarnya pecundang dia tetap saja melakukannya.
Pecundang karena dia tidak sanggup mengatakan ‘cukup’ pada derinya sendiri. Melawan diri sendiri memang tidak mudah, lebih-lebih bagi kita yang hidup di zaman materialistis dan konsumtif saat ini. Siapa pun akan selalu digoda untuk memiliki barang-barang mewah agar dilihat sebagai orang yang luar biasa. Memiliki rumah megah, mobil mewah, harta berlimpah seakan menjadi tujuan hidup. Maka sebaliknya, seseorang yang ‘jagoan atau ksatria’ dia pasti mampu menaklukkan dirinya untuk tidak tergoda dengan semua ini. Dia mampu ‘membunuh dan membumihanguskan’ nafsu keserakahannya.
Kedua, pengecut melawan keluarga dan kerabat. Perhatikan koruptor di sekeliling anda. Ada beberapa diantara mereka yang memiliki pribadi yang luar biasa. Tokoh dan ditokohkan. Seorang pejabat yang tunduk patuh pada aturan misalnya. Tetapi ketika dihadapkan dengan desakan dan kepentingan orang-orang terdekat dan ‘tersayangnya’ ia kemudian dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan.
Itu pun artinya dia tetap sebagai pecundang karena tidak mampu tegas melawan keinginan orang-orang di sekitarnya. Tidak bermaksud mendiskreditkan, banyak para pejabat yang isterinya lebih berkuasa dari sang pejabat itu sendiri. Banyak keputusan dan kebijakan yang diambil (terutama yang menyangkut dengan uang) di dasarkan atas pertimbangan sang isteri. Bisa dibayangkan jika sang isteri adalah orang yang haus kekayaan dan kekuasaan. Maka dapat dipastikan sang pejabat pun akan tunduk dan bersimpu tiada daya. Dia menjadi pesakitan yang tak berdaya.
Ketiga, pengecut melawan atasan. Koruptor jenis ini biasanya orang-orang yang mendapatkan jabatan dan kekuasaan dengan menjilat dan menghalalkan segala cara. Maka ketika dia menduduki suatu jabatan dapat dipastikan dia tidak akan mampu melawan atasanya walaupun kebijakan tersebut melawan hukum. Saking lemahnya, dia mau dikirim ke penjara hanya untuk memperkaya dan ‘menyelamatkan’ sang atasan. Kasus semacam ini jamak terjadi di negeri ini, Banyak koruptor yang sekarang berada di Lembaga Pemasayarakatan atau menjadi tahanan KPK hanya dalam rangka menyelamatkan atasan yang lebih tinggi darinya.
Dia tahu persis bahwa uang yang dia korupsi itu tidak masuk ke dalam rekening pribadinya. Tapi dia tidak pula mampu mengungkap semua itu karena dia adalah pecundang yang telah terlebih dahulu memakan budi atasan. Inilah salah satu dampak haus jabatan dan kekuasaan.
Keempat, pengecut melawan kebijakan. Banyak kebijakan-kebijakan yang memberi peluang kepada para pejabat untuk melakukan tindakan koruptif baik secara langsung maupun tidak langsung. Biasanya korupsi semacam ini dilakukan secara massif dan terstruktur. Banyak pejabat dan lembaga (institusi pemerintahan) yang saling ‘meng-amini’. Sifatnya lebih kolaboratif.
Misalnya kebijakan-kebijakan dalam penyusunan anggaran. Pemimpin yang lemah dan memiliki mental pecundang akan tunduk pada kebijakan-kebijakan semacam ini. Dia tidak berani ‘cabut pedang’ untuk melawan. Hanya pemberanilah yang berani melawan kebijakan-kebijakan yang koruptif dilakukan oleh siapa pun atau lembaga mana pun.
Anda koruptor yang mana? Semoga tidak!
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post