Malam ini ustadz Marzuki tidak datang ke Mejid untuk menyampaikan hikmah ramadhan seperti biasanya. Shalat baru saja berakhir. Serangkaian pelaksanaan shalat tareweh terasa lebih cepat dari biasanya. Ustadz Marzuki mungkin tak dantang malam ini karena dihadang hujan yang memandikan bulan suci ini sejak sehabis Magrib sore tadi. Sekarang pun masih rintik-rintik terlihat dari jendela mesjid. Yah begitulah di negeri ini para ustadz, guru ngaji, kiyai, dan pengasuh pondok pesantren masih menempati level terendah tingkat perekonomiannya. Pasti tak ada uang untuk sekedar membeli mobil bekas agar mereka tak lagi terhadang hujan untuk datang kemasjid atau ke sekolah juga ke pondok pesantren.
Malam ini adalah malam ke dua puluh tujuh Ramadhan. Para jamaah pun tak banyak yang datang ke mesjid, maklum sudah di penghujung ramadhan. “Hukum alam” Kata Pak Ustdz Hasibuan beberapa malam yang lalu “Semakin ke ujung bulan puasa, jamahnya semakin maju. Maksudnya maju ke depan. sehigga yang tersisi tinggal satu shap di belakang Imam”
Tiga hari lagi akan datang hari yang dinanti-nanti yaitu Hari Raya Idul Fitri. Hari Kemenangan dan hari yang fitrah bagi umat Islam karena baru disucikan selama sebulan ramadhan dari segala dosa dan kesalahannya, bagi yang bersungguh-sungguh menjalankannya.
Ketidakhadiran para jamaah di penghujung ramadhan ini tentu saja seperti tahun-tahun sebelumnya adalah hal yang biasa. Mereka telah menuju kampung kampung halam karen sebagian besar dari mereka adalah perantau. Sulit memang mencari riwayat tradisi pulang kampung ini. Apakah dulu Nabi Muhammad pernah mengajarkan pulang kampung atau mudik di hari Raya Idul Fitri tanggal 1 syawal? Mungkin perlu dibuka lagi kisah dan kaidah yang diajarkan Islam yang sesungguhnya. Mudik itu punya siapa? Identikkah Islam dan Mudik? Atau Idul Fitri tak di sebut Idul Fitri jika tidak Mudik? Yang lebih memilukan lagi, mudik pun telah menjadi suasana fenomenal yang terkadang telah pula membawa bencana. Banyak orang merampok, membunuh, dan melakukan tindakan kriminal lainnya hanya karena memenuhi kebutuhan untuk mudik. Jika itu tidak diajarkan oleh Al-Quran atau Nabi Muhammad, jadi ajaran siapa? Ah biarlah..
Seperti malam malam-malam biasanya sehabis menjadi imam shalat ‘Isa, taraweh, dan witir, Iman langsung melanjudkan kegiatannya dengan tadarusan Al-Quran yang hingga malam ini tersisa beberapa halaman saja dari tiga puluh juz. Dia bertekat menamatkan bacaannya malam ini sehingga besok ia bisa mengemban tugas lain yaitu sebagai amil zakat. Menerima, membagi, dan menyalurkan zakat fitrah adalah tugas rutin yang ia lakukan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Iman adalah ‘Primus’ alias pria mushola, mahasiswa semester enam yang bertugas menjadi ‘office boy’ masjid Al-Muttaqin yang tak jauh dari kampusnya. Masjid tersebut berada di tengah komplek perumahan mewah, real estate terkenal di kota itu. Masjid itu berdiri anggun dan mewah. Dindingnya semua tebuat dari keramik. Ukurannya memang tak terlalu besar tapi kesan mewahnya sangat terasa walau tak semewah jamaah yang sholat dan mengaji di dalamnya. Yah itulah resiko sebuah mesjid di lingkungan para pejabat dan konglomerat. Mereka berani membangun mesjid mewah tapi tak berani memakmurkannya atau hanya sekedar bersujud di dalamnya.
Baru dua halam ia membaca ayat-ayat Tuhan itu, ia merasa sangat haus. Malam ini tak seorang pun jamaah yang mengantarkan sisa ta’jilan ke mesjid seperti biasanya. Mungkin karena hujan. Ia mengambil air putih yang ia masak siang tadi. Kamarnya berada tepat disebelah mesjid, berukuran 2×3, sumpek dan berdebu. Tentu jauh berbeda tingkat kenyamanannya dibanding rumah elit di depan mesjid itu sendiri.
Entah apa yang menggerakkan hatinya untuk membuka HP butut yang ia letakkah di atas tumpukan buku yang ia baca siang tadi.
“Assalamu’alaikum. Iman, Ibu sakit. Wassalam” Begitu bunyi SMS yang masuk ke folder Hpnya. Dan ia juga mendapatkan lima kali panggilan tak terjawab. SMS itu dikirim dari nomor HP tetangga di kampungnya. Mungkin itu kakak tertuanya yang meminta bantuan ke tetangga di kampung sana. Pak Haji Sulaiman adalah satu-satunya orang kaya di kampungnya yang memiliki HP. Disamping HP-nya yang mahal juga jarang sekali ada signal. Pak Haji Sulaiman memaksakan diri untuk memiliki barang ‘mewah’ itu demi menjaga komunikasi dengan anaknya yang kuliah di Pulau Jawa sana. Ia meletakkan antena khusus HP di atas pohon kelapa tertinggi ditambah tiga sambungan pohon bambu, hampir tiga puluh meter tingginya. Maklum dusun terpencil.
Membaca SMS itu rasanya ia tak berpijak di bumi. Ia seketika gemetar dan lemas. Memang di dalam bulan puasa ini sudah tiga kali ibunya meminta ia pulang kampung. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Sebagai penjaga mesjid yang juga talah idangkat sebagai bilal dan mu’azin tak mungkin ia meninggalkan tugas itu. Di bulan puasa inilah paran dan fungsinya sangat dibutuhkan oleh warga setempat. Di komplek ini tak banyak orang yang bisa menjadi bilal atau mu’azin. Maklum, hampir semua jamaah mesjid itu adalah orang kaya yang minim ilmu agama. Orang kaya yang lebih mementingkan urusan dunia. Tugas mereka hanya menumpuk harta dan membangun istana juga kekuasaan. Untuh untuk siapa.
Ia mulai bingung. Ingin rasanya ia meneteskan air mata. Ibunya pasti sangat merindukannya sebagai satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Dia anak kedua. Seorang kakak perempuannya telah menikah di kampung dan tinggal bersama ibu dan dua orang adik perempuannya. Ayahnya telah meninggal lebaran ke dua tiga tahun silam.
“Bunda…., bunda…” Tak sanggup ia melanjudkan kata-kata itu di dalam hatinya. Air matanya akhirnya menetes juga sambil menggengam erat HP jeleknya itu. Ada lara di hatinya karena di saat yang sama ia teringat kepergian ayahnya yang tidak sempat ia saksikan karena saat ayahnya meninggal dunia, ia sedang di rantau orang sewaktu masih di SMA. Ia hanya bisa bertemu batu nisan setelah dua hari kepergian ayahnya untuk selamnya.
Kampung halamannya sangat jauh di pelosok desa provinsi ini. Paling cepat bisa dicapai sehari semalam hari dari ibu kota provinsi melalui jalur sungai dan laut, itu pun kalau ada perahu mesin atau armada yang mereka sebut ‘pompong’.
“Bunda…anakmu sedang bertugas. Anakmu berkelahi melawan kemiskinan. Bunda…” Lagi ia tak sanggup berkata-kata.
“Astarfirullahil’azim..” Ia tersadar ia talah terlalu berlarut-larut dalam kegalauan. Ia kemudian meletakkan HP tiu dengan segala rasa di dada ia menuju tempat berwudu’. Setelah mengambil air sembahyang ia merasa lebih segar dan ringan. Ia melanjutkan bacaan tadarus Al-Quran sesuai targetnya malam ini. Suaranya pun melambung ke angkasa melantunkan ayat-ayat suci meninak-bobokkan penghuni komplek mewah itu.
“Begini Pak, tadi malam saya mendapat SMS dari Kakak saya. Ibu saya sedang sakit di kampung. Kira-kira menurut Bapak bagaimana?” Iman bercerita kepada Ketua pengurus mesjid seusai shalat shubuh bejema’ah.
“Apa Sakit ibumu?” Tanya Pak Haji.
“Belum tahu pak. Kakak saya juga tidak cerita” Jawabnya.
“Sebenarnya Bapak bisa mengizinkan kamu pulang. Tapi kamu tahu sendiri Zakat Fitrah kita belum disalurkan dan bahkan ada warga kita yang belum membayar. Terus siapa yang akan menjadi bilal shalat Idul Fitri? Itulah masalahnya..” Pak Haji Badri Hasan berargumen.
“Apa sudah dibawa kerumah sakit? Gi mana kalau kamu pulang setelah shalat Idul Fitri saja?” tanya pak Haji lagi bertub-tubi.
“Baik Pak haji. Terima kasih” Jawab Iman seakan tegar. Pak Haji pun berlalu dengan beberapa jamaah lainnya.
Ke rumah sakit? Ia tersnyum getir di hati. Andai ada rumah sakit di kampungnya, mungkin dulu nyawa ayahnya masih bisa tertolong. Tak ada rumah sakit di kampungnya,. yang ada hanyalah puskesmas reot. Di penghujung bulan puasa seprerti saat ini jelaslah bidannya sudah mudik atau pulang ke kota. Pasti ibu saat ini tak dapat obat apa-apa kecuali obat tradisional dari dukun kampung.
“Haruskah aku kehilangan Ibu seperti dulu kehilanyan Ayah? Tak sempat lagi aku meminta maaf kepadanya? Haruskah aku pulang sekarang? Meninggalkan kepercayaan Pak Haji Badri dan orang-oarng komplek ini?” Pertanyaan itu berkecamuk di dalm pikiran Iman. Ia ragu dan bimbang. Semuanya adalah penting baginya. Tapi…
Ia tak mungkin menolak segala tugas itu demi kepentingan pribadinya. Dia ingat dua tahun lalu bagaimana ia ‘terdampar’ di mesjid itu. Ia mengenal Pak Haji Badri secara tak sengaja setelah ia menumpang shalat Zuhur sepulang dari rumah temannya. Kebetulan sekali saat itu Pak Haji Badri sebagai ketua pengurus mesjid sedang mencari penjaga mesjid. Ya sekedar untuk bersih-bersih, azan shalat lima waktu, dan lain-lain. Tentu saja sebagai mahasiswa kebanyakan, tawaran itu menjadi angin surga bagi Iman. Dengan tinggal di mesjid tentu ia akan mendapatkan fasilitas dan syukur-syukur mendapat honor seadanya. Berapa pun itu tentu sangat berharga bagi Iman untuk mengurangi beban kakak dan ibunya di kampung.
Benar saja selama tiga tahun ini dia benar-benar telah terbantu dengan menjadi pengurus mesjid itu. Statusnya yang semula sebagai ‘office boy’ meningkat menjadi pengurs mesjid dan sering menjadi imam di setiap shalat berjamaah seperti shalat Magrib, Isya, dan Subuh. Pak Haji Badri juga orang kaya yang baru pensiun dari jabatan bergengsi di birokrasi provinsi. Ia sangat baik kepadanya Iman. Tidak terhitung lagi bantuan yang telah ia berikan untuk pendidikan Iman. Ia bisa membayar SPP sediri. Membeli buku dan kitab sendiri dan segala keperluan kuliahnya tanpa harus menjadi pengemis intelektual berkirim proposal kebutuhan bulanan ke kampungnya.
Menempuh Pendidikan di kota bagi seorang Iman yang notabenenya hanyalah anak nelayan miskin adalah perjuangan bak bertempur di medan perang. Berperang untuk memerdekakan diri dari tirani kedu’afaan. Tirani kemiskinan harus dilawan dengan sebuah tekat yang bulat dan membaja. Pertaruhannya adalah nyawa dan kesuksesan. Mati di rantau orang atau sukses tuk selamanya. Itu pilihan pahit tentunya.
Setelah sms singkat malam itu, tak ada lagi sms dari kampung halamnya. Ia juga telah mencoba untuk mengirim sms balasan tapi tak ada balasan dan terkadang ‘pending’. Bahkan hari ini setelah mendapat uang pembagian zakat fitrah sebagai badan amil ia membeli pulsa hanya untuk mencoba berbicara langsung dengan orang kampungnya untuk menanyakan kabar ibunya. Akan tetapi yang ia dapatkan hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Ia pasrah dan hanya bisa berdoa semoga ibunya cepat sembuh dan menantinya di depan pintu menyambut kepulangannya nanti. Ia mencoba membayangkan wajah ibunya yang mulai menua dimakan usia.
Sehabis shalat Ashar ia pergi kepasar memanfaatkan ‘THR’-nya sebagai pegawai mesjid untuk membeli oleh-oleh ketika pulang nanti. Ia beli sebuah mukena untuk ibu tersayang dan beberapa lembar baju untuk adik-adiknya. Semua dibungkus rapi dan dimasukkan di tas butut yang dibekali ibunya waktu kelas satu SMA dulu. Ia sendiri tak membeli baju baru. Baginya tak penting karena baju baru itu akan ia beli setelah ia sukses menempuh pendidikan nantinya. Setelah sukses mengusir ‘penjajah’ kehidupan yaitu kemiskinan.
Sehari semalam menati jarum jam berputar rasanya begitu lama. Entah berapa ratus kali ia coba menghubungi HP Pak Haji Sulaiman tapi tetap saja tak dapat jawaban. Ia mencoba menghalau segala pikiran buruk yang menggodanya. Ia mencoba menguatkan hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa ibunya baik-baik saja.
Takbir, tahlil, dan tahmid menggema membelah cakrawala. Umat muslim menuju kemenangan. Ia pun bahagia karena pagi ini cuaca cerah yang pertanda akan mudah baginya pulang kampung setelah shalat Idul Fitri nanti. Shalat dimulai jam 07.15 pagi dan berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Tugasnya sebagai bilal berjalan dengan baik. Tak sia-sia ia tercatat sebagai salah satu mahasiswa IAIN. Ia seakan siap menjadi pemuka agama terkenal di kampungnya setelah diwisuda nanti. Bahkan mungkin menggantikan Buya Hamka. Memang sampai hari ini belum pernah ada ulama besar sebesar nama Buya Hamka.
Setelah semua dirasa selesai dipersiapkan ia pun menuju rumah Pak Haji Badri Hasan yang berjarak sekitar liam puluh meter dari Mesjid tiu sekedar berpamitan dan menitipkan kunci mesjid. Mesjid zaman sekarang harus dikunci karena banyak penjahat dan pencuri. Lahan untuk mencuri sudah semakin sempit. Mesjid pun menjadi pilihan.
“Saya tidak kan lama pak. Kalau tak ada halangan saya paling lama tiga hari di kampung” Terangnya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan dan jangan lupa sampaikan salam saya untuk ibumu dan keluarga di kampung ya” Jawab Pak Haji Badri mengayomi.
“Baiklah pak. Asslamualaikum” Ia mencium tangan Pak Haji Badri yang sudah mulai keriput dimakan usia.
Bahagia, harap, dan cemas mewarnai langkah kakinya meninggalkan mesjid kesayangannya itu. Tas kecil sederhana yang berisikan oleh-oleh untuk orang-orang yang ia cintai itu ia jinjing menemani langkahnya menuju kampung halaman tercinta. Ibunya dan adik-adiknya pasti telah menunggunya dengan suka cita.
“Ya Allah, mudahkanlah perjalanan hamba menuju orang-orang yang hamba cintai. Berikanlah kemudahan bagi hambamu ini untuk menemui ibunda. Ya Allah hanya kepada-Mu ahamba serahkan segala urusan ini” Berulang kali ia komat kamit mengucapkan doa tersebut dalam mobil butut angkutan desa yang menuju kepelabuhan tempat ia menuju kampungnya.
Dari terminal kota ia harus naik angkutan desa baru kemudian mencari perahu mesin menelusuri anak sungai sampai ke ibu kota kecamatan. Ia harus bermalam dulu semalam di ibu kota kecamatan baru kemudian dengan speed boat dan sejenisnya menuju kampung halamannya. Itu rute yang seharusnya ia tempuh.
Memang kuasa Tuah adalah segalanya. Kita hanya bisa membuat rencana tapi keputusan tetap di tangan-Nya. Iman telah membayang betapa perjalanan itu akan memakan waktu lama dan melelahkan. Lebih-lebih di hari lebaran seperti ini tak kan ada pompong atau speedboat yang beroperasi. Sudah ia duga ini pasti sulit dan ia paling cepat sampai di kampung halamannya dua hari dua malam.
Tapi tak ia duga di dermaga tempat ia menanti tumpangan ternyata Pak Haji Sulaiman sedang menunggu Ranti anak gadisnya yang baru pulang dari Jogjakarta. Pak Haji Sulaiman mencater Speed Boat sendiri. Maka dapatlah ia tumpangan gratis dan cepat.
“Ibuku baik-baik saja kan Pak Haji?” Tanya Iman penasaran.
“Tadi pagi ibumu nampaknya sudah baikan. Dia sudah bisa shalat Idul Fitri ke mesjid. saya juga bertemu dia tadi. Paling dia kangen sama kamu saja” Jelas Pak Haji Sulaiman di tengah deruan ombak laut dan angin kencang sekencang deru mesin speedboat itu membelah samudra.
Hati Iman mulai tenang mendengar penjelasan Pak Haji Sulaiman. Ia membayangkan betapa bahagianya bisa bergembira bersama keluarga walau tanpa kehadiran Ayah tercinta.
Waktu Ashar mulai habis dan hari pun merankak gelap ketika mereka sampai di dermaga. Sayup-sayup ia mulai melihat rumah tua peninggalan almarhum ayahnya. Hampir lima bulan terakhir ia tak pulang kampung ternyata tak banyak berubah dengan kampung itu. Tapi yang berubah suasana sore itu, ada pemandangan tak wajar di depan rumahnya. Banyak orang berkumpul di sana.
Walau sedikit bertanya-tanya dan curiga, ia gembira ternyata banyak sekali orang yang sedang berlebaran di rumahnya. Tapi kenapa magrib begini?
Ia mempercepat langkah sehingga seperti berlari kecil. Belum sampai ia ke depan pintu sudah terdengar tangis kakak sulungnya meratap.
“Imaann…..Ibu sudah pergi dii..k. ibu meninggalkan kita.” Teriak kakanya menyambut kedatangan dirinya disambut isak tangis adik-adiknya. Ia tak bisa berkata apa-apa. Semua menjadi pilu. Tas yang ia bawa terlempar seketika.
“Ibu…Iman pulang Bu. Iman sudah sanggup membeli mukena untuk Ibu. Ibuuu…” Ditutupnya selendang putih itu ke wajah ibunya sambil meletakkan mukena baru oleh-olehnya disamping kepala ibunya. Ia mencoba untuk tegar walau air mata tetap terurai.
Ibunya tampak tersenyum di akhir hayatnya. Dua jam sebelum meninggal ia masih menitipkan dua buah ketupat kepada kakanya.
“ini untuk adikmu kalau-kalu ia pulang besok pagi” Kata ibunya sambil menyisihkan dua buah ketupat tersebut.
Ketupat itu belum sempat disimpannya ketika ia merasakan sakit kepala dan akhirnya berbaring menghadap Yang Maha Esa.
Setelah beberapa kali membaca surah Yasin, ia kembali bersimpu di kaki ibunya yang sudah kaku itu.
“Ibu, maafin anakmu. Di hari yang fitrah ini kami ikhlas melepasmu menghadap-Nya”. Pilu, sedih seakan menyayat hati diiringi doa untuk ibu tercinta. “Selamat jalan Bunda…” #Bhan# Jambi 2007 (1 Sayawal 1428)
Discussion about this post