Oleh: Bahren Nurdin, MA
Jual beli buku di sekolah memang menjadi salah satu tawaran yang menggiurkan. Beberapa penerbit berani memberi keuntungan yang besar bagi guru mata pelajaran yang menggunakan buku mereka. Mereka ada yang berani memberi fee lebih dari 20%. Tinggal kalikan saja, harga buku kali jumlah siswa hasilnya sekian. Bahkan ada juga penerbit yang mau membayar fee di depan. Buku belum dibayar siswa, fee sudah diberikan.
Hanya dengan sedikit menambahkan kata ‘wajib’, maka siswa tidak ada pilihan kecuali membayar harga yang telah ditetapkan. Akibatnya, jika ada 10 mata pelajaran yang ‘wajib’ membeli buku, tinggal kalikan pula berapa biaya yang harus dikeluarkan orang tua. Belum lagi Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku-buku lainnya. Tinggallah orang tua yang pontang panting mencarikan biaya buku tersebut. Tidak bermaksud berburuk sangka, ada pula oknum guru yang sedikit memberi ‘bumbu’ ancaman jika ada siswa yang tidak mau atau mampu membeli.
Saya pernah menjadi guru Bahasa Inggris di beberapa sekolah negeri dan swasta beberapa tahun silam. Seingat saya, ada dua skema yang saya terapkan. Pertama, fee yang saya peroleh dari seluruh penjualan buku itu dijadikan pengurangan harga buku yang harus dibayar siswa. Artinya, paling tidak siswa dapat diskon tambahan dari harga yang ditetapkan. Kedua, fee tersebut digunakan untuk membebaskan beberapa siswa yang memang tidak mampu membeli.
Kedua skema ini saya terapkan khusus mata pelajaran yang saya pegang. Seingat saya, tidak ada fee penjualan buku itu yang masuk kantong pribadi. Hal ini saya lakukan karena saya tahu bahwa tidak semua orang tua mampu membelikan buku untuk anaknya. Sebagai salah seorang ‘pejuang’ dalam menempuh pendidikan, saya menyadari betul bagi sebagian orang tua (seperti halnya juga orang tua saya) betapa tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah anaknya. Segala daya dan upaya, keringat dan air mata mereka tumpahkan demi pendidikan anak-anak tercinta.
Berbicara keuntungan secara ekonomis memang tidak dapat dinafikan. Sangat menggiurkan! Lebih-lebih bagi sekolah-sekolah yang memiliki siswa yang banyak. Semakin banyak siswa semakin besar keuntungan yang didapat. Semakin banyak buku yang dipesan semakin besar fee yang diberikan oleh penerbit. Jadilah pendidikan kita pendidikan transaksional. Sekolah dijadikan ‘pasar’ untuk berdagang buku. Persoalan orang tua siswa mampu membeli atau tidak, bukan lagi menjadi persoalan. Pendidikan tanpa nurani.
Mahatma Gandi, dalam rumusan 7 dosa di dunia yang ia lontarkan, tiga diantaranya adalah Pengetahuan tanpa karakter (Knowledge without character), Perdagangan tanpa moral (Commerce without morality) dan Ilmu tanpa kemanusiaan (Science without humanity). Sekolah kita kehilangan karakter. Pedagang kita kehilangan moral. Orang-orang cerdas kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Jual beli buku yang memberatkan para orang tua siswa merupakan bukti nyata dosa-dosa ini ada. Ketika penyelenggara pendidikan di negeri ini semakin materialistik, maka bangsa ini akan semakin kehilangan nilai-nilai. Tanpa karakter, moral dan kemanusiaan. Miris!
Persoalan jual beli buku di sekolah ini sebenarnya sudah menyita perhatian saya sejak lama. Saya bahkan masih menyimpan komentar saya di Koran Jambi Ekspres, Jumat, 25 Februari 2005 (12 tahun lalu, masih dikliping dengan baik). Saya tegaskan ”seyogyanya buku harus ada di perpustakaan (sekolah) guna menunjang proses belajar dan mengajar, Namun, karena tidak diberikannya buku lagi, maka penerbit masuk sekolah untuk menjual buku dengan harga yang sama di pasaran. Selama fasilitas belajar belum diadakan secara cukup di sekolah termasuk buku, maka kongkalikong antara oknum tertentu tidak bisa dihindari”. Saya tawarkan, perpustakaan sekolah menjadi solusi terbaik untuk menghindari jual beli buku di sekolah.
Bagaimana pula dengan tren baru jual beli seragam di sekolah saat ini? (bersambung…)
#BNODOC19717072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post