Seorang cendikiawan muslim Malaysia Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul ”Islam and Secularism” (1993) menyampaikan tiga penyebab kemunduran peradaban Islam; yaitu pertama, kekacauan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan (confusion and error in knowledge). Umat Islam tercabut dari umbinya karena lebih membanggakan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat, padahal Ilmu pengetahuan itu telah lengkap di dalam Al-Quran. Umat Islam gagal menjadikan Quran sebagai sumber ilmu. Kedua, kehilangan adab (loss of adab). Adab dalam arti yang luas tidak hanya sebagai tatanan norma tapi juga kawasan hukum dan aturan. Maka ketika umat Islam telah kehilangan adab, mereka tidak lagi berpijak dan mejalankan kehidupan sebagaimana mestinya yang berketeraturan dan beradab. dan Ketiga, kelahiran pemimpin yang tidak layak memikul tanggungjawab dalam berbagai lapangan kehidupan beragama dan masyarakat (rise of fals leaders).
Agaknya pemikiran Prof . Naquib Al-Attas puluhan tahun yang lalu itu patut menjadi perenungan kita semua khususnya masyarakat Jambi yang akhir-akhir ini dipertontonkan ’drama’ pertikaian para pemimpin di negeri Melayu ini. Sudah sama-sama kita ketahui bahwa akhir-akhir ini sedang terjadi gonjang-ganjing sangat seru antara gubernur dan bupati, gubernur dan wali kota, gubernur dan wakil Dewan Perwakilan Raknyat (DPR), dan seterusnya. Sebagai masyarakat awam tentunya kita mulai mempertanyakan inikah yang disebut Prof . Naquib sebagai kelahiran pemimpin yang tidak layak memikul tanggungjawab dalam berbagai lapangan kehidupan beragama dan masyarakat? Merekakah pemimpin yang tidak mampu memberi tauladan kepada masyarakat yang dipimpinnya? Merekakah pemimpin yang zalim itu?
Memang sungguh sangat disayangkan pertikaian demi pertikaian tersebut dipertontonkan di depan masyarakat umum melalui berbagai media, dari media cetak, internet, hingga media visual. Masayarakat dipaksa menyimak ’orang-orang bagak’ negeri ini meluapkan emosi. Dari memecahkan kacamata sendiri (gubernur) hingga menampar masyarakat awam yang tak berdosa (Wakil DPRD Provinsi), saling mengadu ke polisi, dan seterusnya. Dari kemelut seperti ini sesungguhnya mereka semua sedang membuka aib sendiri. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa; pertama, mereka tidak dewasa dan tidak bisa menguasai emosi (emosional). Seorang pemimpin seharusnya bijaksana dalam berpikir, bertindak dan berperilaku. Meraka seharunya menunjukka cara-cara yang arif dalam meyelesaikan berbagai persoalan. Labih-lebih pada zaman sekarang dimana penyelesaian masalah dengan otot sudah dianggap kuno dan ortodok. Zaman sekarang saatnya menyelesaikan masalah dengan otak dan strategi. Sudah tidak zamannya lagi memaksa orang untuk patuh dengan membuat orang itu takut, tapi yang labih hebat adalah membuat orang patuh dengan cara-cra yang strategik dan cerdas. Di samping itu, jangan pula dikira masyarakat akan semakin simpati dengan cara-cara ’premasnisme’ seperti ini, malah sebaliknya, masyarakat semakin kehilangan simpati dan rasa hormat. Perlu pula diingat bahwa hanya orang-orang lemah yang tidak mampu menguasai emosi dan kemarahan.
Kedua, mereka tidak mampu bekerja sama. Dalam sabuah organisasi, lebih-lebih oraganisasi pemerintahan seperti provinsi dan kabupaten/kota, kerjasama antar pemegang pucuk pimpinan merupakan hal yang sangat penting karena berbagai persoalan yang muncul memerlukan pemikiran dan ide-ide mereka yang berkuasa. Namun rasanya agak miris melihat situasi saat ini, alih-alih bekerjasama para pembesar malah saling serang, saling tuding, saling salah-menyalahkan, saling lapor melaporkan. Mereka sibuk memamerkan ego sendiri dan barpacu menunjukkan diri mereka lebih baik dari yang lain. Mereka saling unjuk kekuatan dan kekuasaan. Di balik semua itu, disadari atau tidak sesungguhnya mereka hanyalah memperlihatkan kelemahan, kebodohan, dan kehancuran. Dari hal seperti ini sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak sibuk dengan kepentingan rakyat, tapi malah berkutat dengan ’kehebatan’ mereka masing-masing, na’uzubllah.
Ketiga, mereka tidak pro rakyat. Jika ada di antara mereka yang bertikai ini menyebut-nyebut ”ini demi rakyat banyak” sesungguhnya itu semua baru sebatas slogan dan lips services alias omdo (omong doang). Rasanya bukanlah demikian caranya jika mereka memang betul-betul pro rakyat. Ada begitu banyak hal yang memerlukan pemikiran dan tenaga untuk menyelesaikan persoalan rakyat seperti pendidikan yang semakin amburadul, pengangguran yang semakin meningkat, pertanian yang semakin sulit, perdagangan yang semakin susah, narkoba meraja lela, pembunuhan terjadi di mana-mana, bunuh diri menjadi trendi, dan sebagainya. Hal-hal ini lebih memerlukan pemikiran dan keseriusan para pemimpin ketimbang bertikai sana sini. Inilah bukti nyata bahwa mereka tidak pro rakyat, mereka tidak pernah memikirkan rakyat tapi mementingkan ’perut dan mulut’ mereka sendiri.
Lantas apa yang dapat kita harapkan dari mereka? Ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur, semua telah dan sedang berlangsung. Beberapa diantara mereka kita pilih sendiri, tangan kita sendiri yang telah memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi ’pemimpin’. Jika keadaannya sekarang sangat mengecewakan, janganlah berkecil hati, marilah sama-sama kita mendoakan semoga mereka insap dan kembali ke jalan yang benar. Maka dari itu, yang jauh lebih penting adalah, pepatah adat Jambi mengatakan ”ambik contoh pado nang sudah, ambik tuah pado nang menang”, bagaimana kita memilih pemimpin ke depan. Jika contohnya tidak baik, jangan di contoh. Jika kalah (tidak beruntung), jangan diambil tuahnya.
Di hadapan kita akan ada pemilihan demi pemilihan pemimpin baik di tingkat provonsi maupun di tidngkat kabupaten. Mari sama-sama kita jadikan pijakan dan pelajaran sehingga tidak ’masuk ke lobang yang sama’. Dengan penuh kesadaran mari kita memilih pemimpin bukan karena ukuran-ukuran materialistik, popularitas, dan ’kebagak-an’. Sudah sama-sama kita rasakan bahwa tidak ada jaminan orang yang banyak uang itu mampu memimpin dengan baik, orang yang terkenal bisa mengayomi rakyat, oranya yang bagak itu dapat melindungi rakyat. Tidak. Ternyata yang kaya malah menjual rakyat, dan yang bagak malah menampar orang yang tak berdosa. Jika ini tetap berlangsung, jangan salahkan siapa-siapa untuk kehancuran Jambi ke depan. Dan terjawab sudah apa yang dituliskan Prof. Naquib Al-Attas tersebut bahwa kehacuran peradaban Islam itu disebabkan pemimpin umat Islam yang lemah dan tidak qualified; seperti yang telah dicontohkan oleh pemimpin-pemimpin Jambi saat ini. Na’uzubillah.
Sebagai penutup, ketika para pemimpin bersitegang sebenarnya mereka sedang membuka aib mereka sendiri. Mereka sedang memamerkan kebodohan, kelemahan, dan kehancuran mereka sendiri. Seterusnya mereka akan kehilangan simpati dan harga diri di di dapadapan rakyat. Sebagai dampaknya, rakyat tidak bisa berharap banyak akan kemajuan dan perubahan karena pemimpin mereka tidak pro terhadap kepentingan rakyat tapi hanya disibukkan dengan urusan-urusan yang emosional yang tidak bijaksana. Urusan rakyat berada di urutan sekian di atas kepentingan ego dan pribadi mereka masing-masing. Ke depan mari menghindari memilih pemimpin yang seperiti mereka ini, insaya Allah.
Discussion about this post