Oleh: Bahren Nurdin, MA
Pernahkah anda melihat ‘kereta api’ di jalan raya? Mungkin belum pernah, karena anda terbiasa melihat kereta api di stasiun atau di relnya sendiri. Bukan di jalan raya. Jika anda ingin sekali-sekali meyaksikan keanehan ini, datanglah ke Jambi. Cobalah anda melakukan perjalanan antar kabupaten dalam Provinsi Jambi, khususnya rute Tebo, Sarolangun, Merangin, dll pada malam hari. Anda akan langsung merasakan sensasi melintasi ‘gerbong-gerbong’ yang merayap bersama pengguna jalan lainnya.
Benarkah? Bukan kereta api sungguhan. Apa yang saya sebut ‘kereta api’ jalan raya itu adalah truk-truk batu bara yang beriringan dengan jumlah yang banyak. Mereka parade tanpa jarak (space) lima sampai sepuluh truk. Mereka menjadi ‘penguasa’ jalan raya sehingga menjajah hak-hak pengguna jalan lainnya. Coba anda bayangkan, jika ada lima truk beriringan dengan jalan yang sangat lambat karena berisi muatan batu bara, bisakah anda mendahuluinya?
Panjang satu truk tersebut lebih kurang 4,5 M. Itu artinya jika ada 5 truk yang beriringan, anda harus siap-siap melintasi 22,5 M kendaraan bergerak. Sementara kendaraan dari arah berlawanan terus berdatangan. Akan sulit sekali melintasi konvoi tersebut. Para pengemudi truk-truk ini kemudian dengan angkuhnya ‘menghadang’ pengendara-pengendara lain yang hendak mendahului mereka. Ada kesan disengaja dengan cara tidak memberi celah di antara mereka. Mereka rapat sekali.
Tidak jarang pula terjadi kemacetan yang berkepanjangan jika salah satu dari truk-truk ini mengalami kerusakan atau terbalik. Yang paling sering terjadi adalah kerusakan pada roda karena sebagian besar kendaraan-kendaraan ini kelebihan muatan. Jembatan timbang yang saharusnya bertugas mengawasi tonase kendaraan yang melintas, tidak menjalankan fungsinya. Jembatan timbang hanya sebatas aksesoris jalan raya. Paling banter dijadikan pos pungutan liar oleh oknum-oknum berseragam. Pembatasan tonase terhadap angkutan batu bara tidak pernah dilakukan.
Semua orang punya hak terhadap penggunaan jalan raya. Tapi, yang menjadi masalah, apakah demi mendapatkan hak kita, lantas mengkibiri hak orang lain? Sering mendengar komentar para sopir truk batu bara bahwa “kami juga punya hak menggunakan jalan”. Betul, tidak ada yang salah. Sebagai warga negara Republik Indonesia, kita semua bayar pajak dan berhak menggunakan fasilitas yang disediakan negara termasuk jalan raya. Tapi harus diingat, ketika kita menuntut hak kita, juga harus memperhatikan hak orang lain.
Disinilah sebenarnya kehadiran pemerintah. Harus kita akui pula, polemik angkutan batu bara di Provinsi menjadi konflik yang berkepanjangan. Salah satu penyebabnya ditengarai pemerintah Provinsi Jambi ‘kalah’ melawan kekuasaan para pengusaha. Pemprov Jambi sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2012 dan Pergub Nomor 18 Tahun 2013, tentang Angkutan Batu Bara. Namun aturan-aturan ini kemudian menjadi tidak berarti ketika dihadapkan dengan kepentingan para kapitalis. Pemodallah yang berkuasa!
Sebagai pengguna jalan, saya yakin masyarakat akan merasa sangat terganggu dengan ‘kereta api’ jalan raya ini. Tidak hanya harus memakan waktu lama di jalan, namun juga mengakibatkan stress dan kejengkelan. Bagaimana tidak setres jika disepanjang perjalanan terus dihalang-halangi untuk mendahului. Rasa tidak nyaman mengendarai kendaraan juga akan menyebabkan kecelakaan bagi pengendara lain. Seharusnyalah, jika pun tidak bisa menegakkan perda, paling tidak ada aturan main di jalan raya. Jika saja sopir-sopir tersebut memberi jarak yang mencukupi diantara iring-iriingan mereka, paling tidak ada celah bagi kendaraan lain untuk mendahului.
Akhirnya, kita memang punya hak yang sama atas jalan raya. Tapi jangan sampai karena menuntut hak kita malah mengabaikan hak orang lain. Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Jambi menertibkan ‘kereta api’ jalan raya ini. Semoga. #BNODOC8426032017
*Akademisi dan Pengamat sosial, tinggal di Jambi
Discussion about this post