Oleh: Bahren Nurdin, MA
Jika tiga hal ini saja (otak, perut dan dompet) yang kita ke depankan dalam hidup ini, apa bedanya dengan monyet. Lihat saja, monyet punya otak (beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak monyet hampir sama dengan otak manusia, makanya doi bisa naik ‘sepeda’). Monyet punya perut, banyak yang buncit lagi; sama. Monyet juga bisa cari uang; topeng monyet. Samakan? Agaknya itulah mengapa Buya Hamka menegaskan “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”. Artinya, jika manusia hanya mikirin hidup dan kerja saja, ya cukup jadi babi ama kera saja. Jangan!
Sebelum saya lanjutkan, saya perlu mengingatkan bahwa tulisan ini tidak dalam rangka membahas politik DKI Jakarta. Saya bukan simpatisan siapa pun, bukan pula anti siapa-siapa. Saya juga bukan warga Jakarta yang tak punya hak apa-apa. Kapasitas tulisan ini sekedar saling mengingatkan bahwa ada sesuatu yang penting dalam hidup kita ini selain persoalan otak, perut dan dompet. Saya hanya tidak ingin kita semua terjebak dengan pragmatisme kehidupan ini.
Dalam buku saya yang berjudul “Primitivisme Intelektual; Kritik Untuk Kaum Terpelajar” sebenarnya sudah pernah saya bahas dalam menanggapi banyaknya terjadi tawuran pelajar, maraknya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pintar, juga hebatnya para pengguna narkoba di kalangan terpelajar di negeri ini. Kutipannya berbunyi “saat ini peradaban kita dihadapkan dengan manusia-manusia yang tidak beradab, anti keadilan, dan orang-orang pintar (memiliki ilmu pengetahuan) tetapi ilmunya tidak mampu memberi manfaat banyak untuk orang lain.” Saya cukup gelisah mengapa orang pintar tapi melakukan kejahatan!
Inilah sebenarnya point penting yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini. Ternyata, pembenahan negeri ini tidak cukup hanya sekedar mengedepankan kepala, perut dan dompet. Orang pintar juga masih melakukan kejahatan dengan kepintarannya. Orang makmur (perut kenyang) masih juga makan hak orang lain. Orang kaya (dompet berisi) masih juga maling duit Negara. Pasti ada yang kurang atau bahkan ada yang salah.
Bisa saja sebaliknya, seseorang boleh saja tidak bertitel tinggi tapi dihormati dan disegani. Boleh jadi perutnya tidak berisi, tapi tidak lantas menghalalkan segala cara. Atau ada orang yang tidak punya banyak duit di dompet tapi sumbangannya lebih banyak untuk membantu orang lain dari yang dia nikmati.
Lantas apa yang membuat perbedaan ini? Dalam berbagai kesempatan sebagai narasumber, saya selalu menegaskan, bahwa peradaban kita hari ini baru bisa mencetak manusia-manusia yang cerdas tapi gersang nilai-nilai. Mereka persis seperti robot, otak diisi tapi tak bernurani. Pembangunan sumber daya manusia saat ini tidak hanya cukup membangun kognitif, perut dan dompet saja, tapi lebih dari itu adalah pembangunan mental dan spiritual. Statemen ini juga bukan dalam rangka mendukung Si Fulan. Statemen ini sudah lama saya suarakan melalui seminar-seminar motivasi pendidikan yang saya lakukan. Saya sering menyampaikan hal ini kepada Bapak dan Ibu guru. Guru adalah salah satu ujung tombak pembangunan sumber daya manusia kita dan designer peradaban bangsa ini. Saya selalu sampaikan, ajarkan anak didik kita 2+2=4, tapi jangan lupa mengingatkan mereka untuk menggunakan kalkulator dengan benar. Jangan gunakan kalkulator untuk menipu, untuk korupsi, untuk menghalalkan yang haram.
Akhirnya, tentu kita tidak ingin disamakan dengan monyet, atau lebih rendah dari monyet. Ingat, monyet tidak pernah korupsi hasil topeng monyetnya, hehehe. Kita harus membedakan diri kita dengan mengedepankan nilai-nilai kehidupan, dengan tidak melupakan pembangunan mental dan spiritual, juga menjaga hungungan baik dengan Tuhan dan sesama manusia. Semoga.
#BN13012017
Sumber: www.kenali.co
Discussion about this post