Jika ditanya siapa yang paling kuasa memegang kedaulatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 pada 2014 mendatang? Jawabannya cuma satu yaitu rakyat. Jika demikian, rakyatlah sesungguhnya yang paling berhak untuk menentukan nasip bangsa ini. Di tangan rakyat ditentukan ke mana bangsa ini akan dihalukan. Karena rakyatlah yang memilih pemimpinnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini telah terjadi sikap apatisme dan pesimisme yang tinggi di tengah masyarakat. Terjadinya kerisis kepercayaan terhadap pemimpin yang menyesakkan dada. Degradasi moral meraja lela. Terjadi curiga mencurigai antar sesama. Dan testerusnya. Sikap-sikap ini tentunya sangat beralasan. Masyarakat muak melihat tingkah polah para pemimpin yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya hanya mengedepankan kepentingan meraka sendiri atau kelompok, golongan, keluarga, dan partai. Rakyat dijadikan komoditas jualan mereka saja. Lihatlah kasus korupsi yang terjadi, dari pejabat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Ratusan pejabat ‘diparkir’ di dalam terali besi. Tidak tanggung-tanggung, duit negara dihisap ratusan triliun rupiah.
Akibatnya, masyarakat pun memaksa diri mereka menjadi apatis dan pragmatis. Mereka pun kemudian belajar hitung-hitungan secara ril dan pasti. Itulah makanya jamak kita dengar ungkapan di tengah masyarakat “suara ditentukan oleh siapa yang bayar lebih besar”. Jual beli suara. Padahal sifat dan sikap seperti ini sangat berbahaya untuk kelangsungan bangsa ini. Jika seseorang dijadikan pimimpin dan terpilih hanya semata kanena alasan uang, maka rusaklah negeri ini. Sudah dapat dipastikan, pemimpin seperti ini tidak memiliki visi dan jiwa kebangsaan yang jelas untuk membangun negeri ini. Satu-satunya visi mereka adalah menghambakan uang. Mereka juga akan menjadikan negeri ini perusahaan pribadi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Menjadikan pendapatan negara sebagai sumber pendapatan mereka.
Maka dari itu, sudah saatnya membangun kesadaran masyarakat bahwa penentu nasip bangsa ini ada pada pemilihan umum (DPR-D, DPR-RI, DPD-RI, Presiden) April 2014 mendatang dan itu sepenuhnya di tangan rakyat (rakyat berdaulat). Ini adalah momentum terbaik untuk menentukan orang-orang terbaik yang berhak memimpin negeri ini di berbagai levelnya. Kesadaran ini sering sekali terabaikan sehingga masyarakat mudah sekali terpengaruh oleh godaan-godaan pragmatisme seperti politik uang. Ungkapan ‘ah…apalah arti sebuah suara, yang penting nyoblos’ merupakan cerminan pendidikan politik di tengah masyarakat masih sangat rendah. Seyogyanya kesadaran politik masyarakat harus terus ditingkatkan bahwa satu suara memiliki maka yang sangat berarti dan sumbangan terbesar untuk bangsa ini. Satu suara yang dimiliki masyarakat nilainya adalah seharga nasip bangsa ini sendiri. Jika satu suara ‘dijual’ hanya dengan lima puluh ribu rupiah, maka semurah itulah nasip bangas ini dihargai. Sungguh terlalu kecil!
Memang untuk membangun kesadaran politik di tengah masyarakat tidak mudah, tapi bukan pula tidak bisa. Paling tidak ada dua pendekatan strategis yang memungkinkan untuk dilakukan. Pertama, pendekatan sepiritual keagamaan. Rasanya tidak ada agama di Indonesia ini yang mengizinkan pemeluknya untuk melakukan politik kotor seperti politik uang (money politic), kampanye gelap (black campaign), dll. Semua agama mengharamkan prilaku-prilaku politik semacam ini. Islam sendiri melihat politik uang minsalnya bisa dikategorikan sebagai bagian dari sogok menyogok. Dan di dalam Al-Quran sudah sangat jelas bahwa yang menyogok dan disogok tempatnya adalah neraka. Pendekatan religiusitas semacam ini harus terus ditanamkan kepada setiap pemeluk agama. Para pemuka agama harus terus berperan aktif memberi kesadaran kepada ummatnya. Paripada mengharamkan golput, lebih baik para ‘alim dan ulama mendidik masyarakat betapa pentingnya menjadi masyarakat yang cerdas dalam menentukan pilihan politik mereka dengan benar.
Kedua, pendekatan wawasan kebangsaan. Ada semacam kesadaran bersama bahwa sejak pecahnya reformasi 1998, telah terjadi degradasi kesadaran dan semangat kebangsaan. Rakyat Indonesia seakan larut dalam euforia kebebasan yang cenderung kebablasan sehingga melupakan nilai-nilai jiwa kebangsaan yang sudah lama tertanam. Nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggul Ika seakan terpinggirkan. Maka melalui pendekatan wawasan kebangsaan ini, masyarakat harus terus diingatkan kembali bahwa bangsa kita memiliki nilai-nilai yang tidak dimiliki oleh bangsa mana pun di dunia ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan segala kekayaan yang dimilikinya; dari sumberdaya alam hingga kekayaan budaya.
Wawasan kebangsaan sudah saatnya ditanamkan dan dibangkitkan kembali di benak setiap warga Negara di tanah air tercinta ini. Bangsa ini milik kita semua dan harus kita kelola secara bersama-sama. Pemilihan Umum merupakan salah satu wujud nyata untuk mewejawantahkan kecintaan terhadap tanah air ini. Partisipasi masyarakat dalam pemilu yang benar dan bertanggung jawab akan sangat menentukan keberlangsungan bangsa ini dengan benar. Bangsa ini harus dipimpin oleh orang-orang yang benar. Maka pilihlah pemimpin yang benar dengan cara-cara yang benar. Dengan kata lain, Pemilu adalah salah satu cara masyarakat menunjukkan cinta akan tanah airnya. Yakinlah, jika masyarakat Indonesia benar-benar memiliki jiwa semacam ini, pemimpin-pemimpin atau calon-calon pemimpin yang tidak memiliki dedikasi yang baik terhadap bangsa ini juga akan tersingkir dengan sendirinya. Yang berhak menyingkirkan para pemimpin yang ‘rampok’ adalah tangan rakyat sendiri! Kedaulatan di tangan rakyat! Semoga.
Bahren Nurdin,SS., MA
Dosen IAIN STS Jambi dan Sekjen Pelanta
Discussion about this post