“Horeeee……. merdekaaaaa……I’m so happy 2day.!”
Itu status yang tertulis di YM-nya. Vina seakan-akan ingin meluahkan kegembiraannya melalui kata-kata itu. Ia seperti mau terbang bak orang yang baru keluar dari penjara setalah menjalani hukuman puluhan tahun. Gadis itu benar-benar bahagia. Berulang kali ia melompat-lompat di atas kasurnya sambil teriak ”merdekaaa…. merdekaaaa….”
”woiii…ada apa, Neng? Kok mekik gitu?” sapa Ruri teman akrabnya juga melalui YM setelah melihat status teman sohibnya itu. Hebat, begitulah tulisan. Tulisan mampu memberi kabar tingkah penulisnya. Sudah menjadi kebiasaan pula zaman sekarang orang mengungkapkan perasaan melalui shout out YM, facebook, friendster, dan entah apa lagi. Kalau puluhan tahun silam anak-anak gadis di kampung berkumpul di bawah tangga untuk bercengkarama, tapi sekarang mereka berkumpul di warung internet. Bercengkrama dengan dunia maya. Dunia yang penuh dengan bayang-bayang tak menentu. Dalam bayang-bayang itulah dunia semakin dekat, mungkin sedekat kiamat yang sendang mengintai. Kemajuan teknologi pula yang telah membuat jarak dan waktu itu telah menjadi maya. Itulah dunia sekarang. Maya. Duania maya itupun bersahutan.
Vina : gue benar2 bahagia fren
Ruri : apa pasal ni? (*sok Melayu heee…)
Vina: entar gue cerita deh. lo ada di homz kan?.
Ruri: okay…okay….
Vina: c u, m’kom
Ruri: komcalam…
Chatting singkat itu berlalu dan berakhir dengan salam. Entah salam dari mana. Kalau yang dimaksud m’kom itu adalah assalamualaikum dan komcalam itu adalah wa ‘alaikumsalam, maka inilah pergeseran budaya. Kemudahan komunikasi yang semakin ‘dimudah-mudahkan’ tanpa eling-eling makna. Kalau pun itu yang dimaksud, samakah artinya? Rasanya tidak mungkin sama. Bahasa Arab memiliki tatanan dan struktur bahasanya sendiri. Dari salam itu ada do’a yang kuat agar yang diberi salam mendapat kebaikan dan kesejahteraan sebagaimana juga yang menerima. Tapi kalau sudah menjadi m’kom mungkin artinya akan berubah menjdi “makan tuh komputermu..!” dan dijawab komcalam berarti “sama-sama makan kumputer kita yuk….” huahhaaa….
Setelah mematikan laptopnya Vina seakan tak sabar ingin cepat sampai di rumah sahabatnya itu. setelah dua tahun di Malaysia hari inilah ia benar-benar merasa lepas bebas. Seminggu ini ia akan menghabiskan waktunya bersama teman-teman, terutama Ruri sebagai sahabat dekatnya.
Panas mentari siang menjelang sore itu tidak dihiraukannya. Tangannya melembai ke kiri dan ke kanan sambil melangkah gembira, seperti anak TK pergi sekolah. Sesekali ia menyumbangkan senyum pada dinding-dinding flat yang ia lewati. Bangunan-bangunan bisu itu pula seakan ikut bahagia membalas senyumnya. Ia terus melewati toko-toko yang berderet di bawah flat-flat itu. Dari toko komputer hingga warung nasi padang. Di tempat ia tinggal ini, Malaysia tidak obahnya provinsi lain dari Indonesia. Apa yang ada di Indonesia dapat ditemukan di sini. Tempoyak, terasi, dendeng batokok, pecel lele, tempe penyet, bajigur, rujak cingur, semua ada. Tidak salah kalau kemudian mahasiswa dan para pekerja dari Indonesia yang tinggal di sini tidak merasa merantau. Mereka merasa tinggal di negeri sendiri. Tapi jeleknya karena mereka menganggap di negeri sendiri mereka tidak lagi saling kenal, yah hanya seperti orang Indonesia bertemu di Indonesia. Paling hanya senyum, itu pun kadang terpaksa. Tapi tentu tidak antara Ruri dan Vina. Mereka sudah salaing mengenal sejak pertama sampai di Malaysia. Walau pun berbeda fakultas dan jurusan juga asal daerah tapi mereka sering ke kampus bersama.
”sekarang lo cerita deh, napa lo bahagia bangat hari ini. Gue belum pernah melihat lo sebahagai hari ini. Ada apa, Neng?” tanya Ruri penasaran setelah Vina merebahkan tubuhnya di atas kasur Ruri. Sementara Ruri masih asyik saja dengan laptopnya. Jaringan internet yang masuk bagai hantu ke dalam laptop itu membuatnya tak berkedip. Bagai hantu karena tak ada kabel atau apa-apa yang menyambungkannya. Hanya mahluk ghaib yang mampu keluar dan masuk tanpa terlihat oleh panca indera manusia. Mungkinkah jaringan internet ini termasuk mahluk ghaib zaman sekarang. Berbagai gambar masuk entah dari belahan dunia mana, dari gambar wanita bercadar hingga tak memakai apa-apa. Suara-suara manusia merasuk ke kuping dan muncul di depan biji mata. Semua bagai hantu yang siap pula menerkam pemanggil dan penontonya.
”tau gak dia pulang ke Indonesia, jadi gue bebaassss…..” teriaknya sambil duduk menghadap Ruri.
”Maksud lo Bang Riyan?”
”iya, dia pulang ke Indonesia tadi pagi.”
”trus knapa lo bahagia? Bukannya sedih ditinggal?” tanya Ruri sambil meninggalkan hantu-hantu yang masih gentayangan di layar monitornya.
”gak usah bahas itu deh. Sekarang kita rencanain aja seminggu ini kita kemana aja. Ok?” jawab Vina berkelit.
”emang mo kemana?”
”gini gue udah susun rencana sekarang senin, besok kita ke KL for shopping, Rabu ke Genting, Kamis dan Jumat kita ke Malaka, dan Sabtu kita ke Mid-Villay nonton. Okay..okay…” jawab Vina bahagia setengah alang kepalang.
”tapi gue ada kuliah, Neng hari Rabu” sanggah Ruri
”halahhh… sekali aja kok bolosnya. Plissss….sekali ini aja. Pokoknya minggu ini temani aku dong berbebas-bebas ria…..” pinta Vina setengah memelas pada temannya itu.
Lama Ruri tidak memberikan jawaban atas permintaan temannya yang satu itu. Dia pun sebenarnya juga ingin refreshing. Teori-teori yang dicekokin para budak ilmu di kampusnya telah ia membuat berlangganan shampo anti rambut rontok. Satu per satu rambutnya gugur dihajar buku-buku berbahasa orang putih itu. Pikirannya mulai mencari pembenaran bahwa ia sedang membutuhkan penyegaran. Sakali saja absen rasanya tidak akan membuat ia kehilangan masa depan. Pembenaran yang di cari-cari mulai ditemukan.
”Oke deh. Tapi ada syaratnya Non” memenuhi permintaan temannya itu. Disambut dengan senyum bahagia Vina
”aman…paling syaratnya traktir roti canai kan?” sambung Vina yakin
”opsss…salah. Syaratnya adalah…..” Ruri sedikit menampakan wajah serius. Tapi Vina masih saja menampakkan wajah bahagianya.
”lo cerita mengapa ke gue k’napa lo bahagia bangat karena ditinggal Bang Riyan”
Mendapat pertanyaan itu Vina sedikit mengeritkan kening. Ia sedikit tersentak dengan pertanyaan itu.
”Rur...lo tau kan sifat Bang Riyan selama ini gimana?” jawab Vina setengah bertanya.
”ya, yang gue tau sih, dia baek bangat ama lo. Apa lagi setelah keluarga kalian saling kenal. Dia perhatian bangat ma lo”
”apa lo bilang? Perhatian?” potong Vina. Ia seakan tersentak bangkit dari tempat duduknya sambil menuju jendela yang terbuka. Jendela itu menghadap ke jalan raya yang mempertontonkan ritme kehidupan kota itu. Lalu lalang kendaraan menunjukkan dunia semakin sibuk. Mungkin lebih sibuk dari isi kepalanya.
”Rur… aku semakin tak mengerti Bang Riyan” sambungnya sambil kembali menghadap Ruri yang kini duduk di sisi kasurnya. Vina menyandarkan punggungnya ke jendela sambil sekali-sekali mengalihkan pandangan pada perputaran kipas angin yang terus berpusing di pelafon kamar itu.
”selama ini aku kagum dengan Bang Riyan” sambung Ruri
”ya, gue pun pernah mengaguminya. Tapii….” ia terhenti dan nampak ada sesutu yang berat di dadanya. Ia menahan luapan panas di matanya agar tak jadi mengalir.
”asal lo tau Rur, gue bagai dipenjara selama ini. Ke mana-mana harus minta izin. Kalo kita pergi rame-rame dia selalu sms tanya itulah, tanya inilah. Gue kan punya kehidupan juga, Rur…?”
”Neng…itu namnya perhatian. Itu buktinya dia peduli ama lo”
”perhatian kan gak harus seperti itu fren. Itu namanya teror. Kita jadi gak bebas mau ngapa-ngapain. Mau main ma teman. Mau ngumpul-ngumpul ama geng kita. Pokonya jadi serba terikat deh” bantahnya keras
”Vin…, lo gak ngerasa bagaimana rasanya dicuekin. Lo gak pernah merasakan punya kekasih tapi ia tak peduli. Lo belum pernah merasakan betapa pahitnya rasa itu. Ketika kita memerlukan semangat dan dukungan darinya, ia hanya sibuk dengan kegiatannya sendiri. Lo…”
”Wah….gue lebih suka yang gitu, daripada ditanya m’lulu” potong Vina
”Neng…gue cemburu liat perhatian Bang Riyan ke lo. Susah mencari calon pendamping hidup yang mampu memberikan perhatian ama kita zaman sekarang. Mereka sok sibuk lah, kegiatan inilah, kegiatan itulah. Apa yang lebih dibutuhkan seorang wanita selain perhatian? Gue liat Bang Riyan selalu berusaha memberikan itu untuk lo. Dia serius mendukung dan memberi semangat ke lo. Lo harus bersyukur…”
“tapi gue juga perlu kebebasan, Neng. Gue butuh perhatian, tapi bukan yang membuat gue serba terikat…” sambung Vina membela diri
“ya sih, terkadang sulit bagi kita membedakan mana yang perhatian dan mana yang ‘ikatan’. Mana yang cemburu dan mana yang curiga. Terserah lo deh. Asal lo jangan nyesal aja nanti heee…“ Ruri seakan mengalah. Sebenarnya dua gadis ini memiliki pengalaman yang berbeda. Ruri memiliki Ricky yang serba cuek. Ricky memang tidak seperti Riyan yang siap memberi perhatian kepada kekasihnya. Ricky lebih banyak menghabiskan kegiatannya di organisasi dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Ricky adalah seorang aktivis kampus dan pebisnis. Kadang Ruri hanya bisa bersedih ketika meminta bantuan hanya dijawab Ricky ”kan lo bisa kerjaan sendiri. Kok harus ama aku? Mandiri dung. Gue lagi sibuk ni”. Mendapat jawaban seperti ini terkadang dia hanya mampu mengurut dada sabar. Itulah mengapa ia cemburu sekali dengan perhatian Riyan ke Vina. Dia selalu peduli terhadap apa yang Vina perlukan. Itulah tipikal suami yang ia harapkan. Tapi mengapa Vina merasa terganggu dengan semua itu.
”Gini deh, gue gak mau bahas itu. Gue ke sini untuk ngebahas rencana liburan kita seminggu ini. Jadi seminggu ini gue benar-benar mau menikmati kebebasan. Ok fren“
“ya iya, entar malam gue hubungi anak-anak yang laen deh “ sahut Ruri
“nah itu baru teman gue namanya. Sewa mobil selama seminggu ini biar gue yang tanggung. Kita iuran beli bensin aja. Setujuuu… ? “
“ya deh. Kalo gitu besok lo bawa mobil ke sini aja. Anak-anak biar gue suruh ngumpul di sini aja“ balas Ruri
”Okeeee…. kalo gitu gue pulang dulu. Pokoknya malam nanti mobil sudah standby” pungkas Vina sambil menyambar tas sandangnya dan berpamitan pulang. Bahagia.
===============***=================
Lima hari sudah berlalu sesuai rencana. Kebebasan yang ia impikan benar-benar ia nikmati bersama teman-teman. Semua tempat wisata dan belanja yang direncanakan dikunjungi. Tabungannya beberapa bulan yang ia sisakan dari kiriman papanya sudah melayang. Tapi tidak jadi masalah baginya, karena kebebasan itu memang memerlukan biaya dan pengorbanan. Kini badannya mulai kecapaian. Lima hari ini hampir pulang jam 3 subuh setiap malam. Di balik kebahagiaan itu ternyata ada kelelahan.
Malam ini cuma ada satu jadwal yaitu melihat kembali foto-foto yang selama seminggu ini yang telah dikumpulkan. Setelah mandi dan shalat isya ia mulai menghidupkan laptopnya. Selama lima hari ternyata telah terkumpul lima ratus foto lebih. Barbagai pose dan gaya yang dilakukan. Di berbagai tempat menjadi sasaran bidik kamera dijitalnya. Bahkan sampai-sampai tiang listrikpun dipeluk rame-rame demi sebuah foto. Yang penting bebas.
Baru saja ia merebahkan badan di kasur kesayangannya itu, tiba-tiba suara Hijau Daun melantun di henfonnya sebagai petanda sms masuk.
”asslamualaikum. Apa kabar kak? Ini Dewi. Ada titipan dari abang. Wassalam“ sasuai dugaanya itu sms dari tunangannya, Riyan. Selama lima hari ini dia benar tidak peduli sms yang masuk terutama dari Riyan. Dia bahkan langsung menghapus beberapa sms yang masuk tanpa ia baca. Dia tidak ingin perhatian Riyan yang bak teror itu mengganggu hari liburnya. Ia ingin bahagia bersama teman-temannya.
“dari Dewi….?” gumamnya setelah memperhatikan sms itu sekali lagi. Ia mulai bertanya mengapa calon adek iparnya yang mengirim sms itu. tapi cepat-cepat ia putarkan kecurigaannya. Ah paling-paling gaya Bang Riyan saja membuat kejutan. Dia memang selalu saja membuat kejutan untuknya. Selalu berkirim bunga melalui email. Kadang hanya kirim sms ngucapin “I love you”. Mengirimi kata-kata puitis. Tapi bagi Vina semua itu seakan hambar tak berarti apa-apa. Bahkan karena sudah keseringan malah berubah menjadi teror yang menakutkan dan mengganggu.
Tak lama kemudian henfonya berbunyi lagi tanda panggilan masuk. Dia bangkit dan menuju jendelanya. Di luar sudah gelap walau kilauan lampu jalan indah berjejer. Dari lantai lima flat itu, semua tampak romantis di luar sana. Dibukanya jendela agar ia bisa merasakan sentuhan sejuk angin malam.
”asslamualaikum” suara dari sebelah. Suara Dewi
”Waalaikumsalam, apa kabar dek?” sahut Vina ramah. Memang kedua keluarga ini sudah saling mengenal dangan baik sejak mereka sama-sama setuju untuk melanjutkan hubungan menuju rumah tangga.
”Baik kak, ini ada titipan surat dari Abang. Tapi gimana mau ngirimnya ke Malaysia. Dewi gak tau caranya kak…” jawaban dari seberang.
”Surat…? surat apa “
“Dewi gak tau kak. Dewi gak berani buka karena ini amanat abang. Sebelum dia…. “ terdengar suara Dewi tiba-tiba tertahan. Tak lama kemudian suara isak berkumandang dan henfon pun tiba-tiba mati.
Vina bingung bukan kepalang. Di kepalanya mulai berkecamuk berbagai pertanyaan. Ada apa ?
Dibukanya kembali sms yang dia abaikan bebearpa hari lalu. Dia telusuri satu persatu persatu sms yang masih tersisa.
”Vina sayang… abang sekarang di rumah sakit. Abang di suruh dokter istirahat aja heee… hati-hati di sana sayang ya…” itu bunyi sms hari Rabu.
Satu persatu sms itu kemudian dia telusuri lagi. Satu per satu air bening itu menetes ke layar henfonnya sambil menelusuri sms-sms yang ia abaikan selama ini.
”asslamualaikum calon ibu anak-anakku. Adek baik-baik saja di sana kan? I love you, honey. Oiya, tadi pagi Dr. Faruk bilang bahwa tidak ada pilihan lain. Abang harus operasi. Kanker di kepala abang sudah mengganas dan mengamuk. Mungkin dia marah dengan teori-teori yang masuk kepala abang selama ini heee…. mohon doa sayang ya. Wasslam” isaknya tak terbendung lagi. Itu adalah sms hari Rabu malam.
Rasa bersalah mulai merayap di seluruh tubuhnya mengalir bersama aliran darah. Batapa ia telah mengabaikan orang yang selama ini telah memberi perhatian dan cinta padanya. Betapa demi kesenangan dan kebebasan bersama teman-temannya, ia telah melupakan orang yang mencintainya. Bahkan ia tidak sedikitpun memberi perhatian saat orang itu menghadapi menghadapai waktu-waktu sulit.
”Assalamualaikum. Sayang, abang minta maaf karena selama ini tidak pernah cerita tentang ini semua. Abang tidak ingin ada yang tau tentang derita abang, tidak juga keluarga abang sampai awal minggu yang lalu…. Ini adalah operasi abang yang pertama. Abang belum pernah merasakannya. Tapi abang yakin abang bisa sembuh dari penyakit ini. Setelah operasi ini, kita akan secepatnya mewujudkan mimpi kita heee…., abang sudah tidak sabar melihat anak-anak kita berlarian di taman. Abang tau, adek pasti doain abang di sana. Jangan lupa setiap shalat doain abang ya. Abang sayang ama adek. Besok mudah-mudahan abang sudah bisa sms lagi heee…. I miss you honey. Wasslam” sms terakhir yang ia terima dari Riyan. Hatinya remuk membaca sms itu. tulang-tulangnya seakan tak sanggup menopang tubuhnya. Tiba-tiba henfonya berdering lagi
“Mengapa kakak tega sekaliii…..”terdengar suara dari ujung sana. Suara Dewi lagi.
“tidak pernah sekali pun kakak balas sms abang. Asal kakak tau, abang selalu bercerita tentang kakak selama ia terbaring di rumah sakit. 4 hari kak, abang melewati hari sulit. Dia masih tersenyum dan tertawa walau aku tau dia tersiksa. Dia selalu membanggakan kakak di hadapan keluarga kami. Bahkan sedikit pun dia tidak pernah marah ketika smsnya tidak pernah kakak balas. Dia selalu bilang ke kami kalau kakak pasti sibuk dengan kuliah hingga gak sempat balas sms dia. Kak….. “ suara Dewi terputus diirinig tangis. Kedua gadis itu tersedu sedan sambil menggenggam henfon masing-masing dihalangi jarak ratusan ribu mil.
“Bahkan…… saat abang meninggal…. Aku berulang kali telfon kakak, tapi kenapa kakak tak mau mengangkatnya? Seberapa besar dosa abang dengan kakak ? Seberapa sibuk kakak di sana… ? “ Dewi terdiam lagi untuk ke sekian kalinya.
Di sela tangisnya, Vina sempat mengingat pada Jum’at pagi ada beberapa miskol di henfonnya. Sebenarnya bukan dia tidak ingin menjawab, tapi henfon itu sengaja ia silent-kan di dalam tasnya. Kini ia benar-benar merasa bersalah dan menyesalinya. Hanya air mata yang terus mengalir.
”Kak…abang sangat mencintai kakak. Tak ada cacat kakak di mata abang. Dia bangga punya kakak. Tapi Allah berencana lain. Operasinya gagal kak. Abang telah meninggalkan kita semua. Satu-satunya abang yang saya banggakan, kak. Tapi, kami keluarga sudah ikhlas melepasnya. Abang ada titip surat untuk kakak. Jika kakak suatu saat tidak sibuk dan kembali ke Indonesia, jemputlah surat ini. Aku tak berani membukanya. Asslamuaalikum” suara telfon ditutup di ujung sana. Vina tak sanggup menucapkan satu patah kata pun. Ia hanya bisa bermain dengan tangis hasil kebebasan yang ia dambakan.
Ia kembali melihat ke luar jendela. Angin malam masih berhembus syahdu. Air matanya masih saja mengalir tiada henti. Ketika ia kembali melihat ke layar laptopnya yang belum sempat ia matikan itu, ia masih sempat melihat foto-fotonya tertawa bersama teman-temannya. Rasa benci tiba-tiba menghampiri ketika melihat foto-foto itu. Rasa rindu pun mulai menyentuh rasa dan qolbunya. Bayangan Riyan mulai bermain di retina matanya. Sudah ia tutup mukanya dengan dua telapak tangan. Tapi ia tak sanggup menghalau candanya, tingkah konyolnya, wajah anak kecilnya ketika ngambeg, wajah seriusnya dan semua tentang dia. Kini semua itu telah terkubur di tanah nan jauh di sana. Dan entah apa yang mampu mengubur semua rindu yang Vina rasa di dada. Ia rindu saat mentari telah tenggelam. Kelam. #bhn#
Malaysia, 11 Maret 2009
Discussion about this post