Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ketika musim kemarau datang, selain kekeringan air sumur dan matinya rumput-rumput, kebakaran hutan dan lahan pun selalu mengintai. Ketika hutan dan lahan terbakar, maka bencana asap pun segera melanda. Waspada!
Sejak terjadinya kemarau panjang dan bencana asap yang melanda Indonesia pada tahun 2015 lalu, memang beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan meningkatkan kewaspadaan yang luar biasa. Provinsi Jambi yang terpapar kabut asap sangat parah saat itu, memberikan perhatian lebih sebagai antisipasi.
Pembentukan satuan tugas (satgas) penanganan bencana karhutla merupakan langkah strategis agar tidak terulang kembali kasus 2015 tersebut. Hasilnya cukup efektif walaupun memang kebakaran hutan dan lahan tidak bisa diatasi secara spontanitas dan terbatas. Tapi ia harus diatasi secara berkala dan tak berbatas waktu.
Paling tidak ada beberapa pendekatan yang secara terus menerus dilakukan. Pertama, pendekatan hukum. Beberapa undang-undang tentang kebakaran hutan telah diberlakukan. Tinggal lagi bagaimana penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lain, baik secara pribadi maupun korporasi. Tegas!
Keseriusan pemerintah memberikan hukuman kepada korporasi (perusahaan) yang melakukan pembakaran hutan dalam pembukaan lahan adalah harga mati; baik sengaja maupun tidak. Tidak hanya diberikan hukuman perdata berupa pencabutan izin usaha, tetapi juga pidana bagi para pimpinan perusahaan. Lebih-lebih, bagi perusahaan yang memang sengaja melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.
Hal serupa juga harus diterapkan kepada badan pemerintah seperti UPTD atau aparat keamanan yang coba-coba melakukan perlindungan kepada penjahat pembakar hutan dan lahan. Mereka-mereka yang terindikasi bekerja sama dengan perusahaan atau mem-back up pelaku pembakaran, harus ditindak tegas, setegas-tegasnya.
Kedua, pendekatan budaya. Walaupun tidak dalam jumlah besar, budaya berkebun dan berladang masyarakat sudah harus diubah. Jika selama ini, masyarakat terbiasa membuka lahan dengan membakar hutan, maka sudah saatnya budaya tersebut diubah dengan cara lain. Paling tidak dilakukan pergeseran dengan membakar dalam jumlah kecil. Dulu bisa dilakukan dengan membakar dalam kawasan 1 atau 2 ha. Sekarang misalnya dengan membuat api unggun kecil-kecil dan tidak dibakar sekali gus.
Masyarakat juga tidak bisa dilarang sama sekali. Mereka juga memerlukan penghidupan dari lahan yang mereka miliki. Masyarakat juga harus berkebun karet atau kebun sawit untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anak mereka. Maka, budaya bertani, berkebun dan berladangnya yang harus dicarikan solusinya dengan formula baru yang tidak merusak alam dan tidak menimbulkan bencana asap.
Ketiga, jalur pendidikan. Mindset dan pola pikir anak-anak bangsa ini sudah harus dibentuk untuk mencintai alam dan hutan sejak dini. Peningkatan edukasi sudah wajib dilakukan di berbagai level pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Tidak salahnya pula, untuk memasukkan kurikulum khusus menjaga alam dan hutan bagi generasi bangsa ini. Termasuk di dalamnya, budaya membakar sampah. Dari kecil anak-anak sudah dididik untuk tidak membakar sampah bukan pada tempatnya.
Akhirnya, karhutla harus diatasi secara terencana dan berkesinambungan. Pendekatan hukum, budaya dan pendidikan adalah cara tepat untuk melakukannya. Persoalan kebakaran hutan tidak bisa dianggap sederhana tapi sudah menjadi persoalan setiap orang di negeri ini; dari kecill hingga dewasa. Sayangi hutan dan lahan kita! #BNODOC231202017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post