(Disampaikan pada seminar Bedah Buku Laskar Pelangi di Jambi)
Pendahuluan
Doris Pilkington (Autralia) menulis novel “Follow the Rabbit-Proof Fence”, Tsitsi Dangarembga (India) menulis “Nervous Condition”, dan Pramudya Ananta Toer (Indonesia) terkenal dengan Buru Kwartetnya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, adalah sebagian kecil para penulis novel yang mengangkat persoalan ’akar rumput’ (Grassroot). Dan tentu masih banyak lagi nama-nama novelis besar dengan mahakarya yang dihasilkan. Mereka berhasil dengan sangat cerdas menampilkan persoalan-persoalan kehidupan pada masanya dalam rangkaian kata syarat makna yang mengakumkan. Pramudya misalnya telah dengan sangat jujur dan berani menampilkan kolonialisme di Indonesia dengan segala kekejaman dan ’mala petakanya’ dengan bahasa sastra yang membumi.
Dari sederetan novel-novel ini agaknya tidak berlebihan jika saya ingin menempatkan Andrea Hirata dengan ‘Laskar Pelangi’-nya pada urutan berikutnya. Andrea Hirata telah mampu mengangkat persoalan akar rumput yang tenggelam dan terbenam juga membisu menjadi mahakarya yang mengharu biru khusunya persoalan pendidikan. Memang persoalan pendidikan di Bumi Pertiwi ini telah menjadi momok yang terkadang menjijikkan. Negara Indonesia tidak pernah serius membangun sumberdaya manusia yang ada. Amanat pembukaan UUD 1945 ‘untuk mencerdaskan kehidupan bangsa’ tidak pernah ditepati. Contoh nyata adalah gaji guru yang selalu terabaikan, dan pembangunan sekolah yang tidak pernah merata dan dipandang sebelah mata. Benarlah apa yang dilontarkan Andrea Hirata di dalam novel ini ”sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seanteroo negeri ini yang jika disenggol sedikit oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan”.
Laskar Pelangi telah mendapat perhatian penuh dari kalangan penikmat karya sastra tanah air hingga ia mendapat ’gelar’ best seller. Ia pun telah pula diperbincangkan dari barbagai sisi dan aspek kehidupan di berbagai seminar dan bedah buku karena memang harus diakui novel ini mampu ’menggugat’ sisi humanistik masyarakat Indonesia. Pada kesempatan ini saya ingin menampilkan nilai-nilai motivasi dan perjuangan anak Indonesia dalam menempuh pendidikan di tengah segala keterbatasan. Bagaimana sesungguhnya keterbatasan dalam segala hal dapat dijadikan kekuatan untuk mencapai kemuliaan. Laskar Pelangi menjadi gumpalan dari butiran-butiran semangat anak bangsa untuk mengais ilmu pengetahuan. Semangat mereka layak untuk dijadikan motivasi oleh siapa pun, termasuk peserta seminar hari ini.
Memaknai Kemiskinan dan Keterbatasan
”Orang tua saya miskin, jadi gak bisa sekolah. Gak ada biaya” adalah kalimat yang sudah jamak terdengar di kuping kita sehari-hari. Kemiskinan manjadi akar persoalan terjadinya buta hurup dan putus sekolah di negeri ini. Kemiskinan menjadi tembok yang kokoh menghalangi anak negeri menjadi pintar dan berpendidikan. Lihatlah gambaran nyata yang ditampilkan di dalam novel ini. Ikal, Mahar dan kawan-kawan adalah anak-anak petani, nelayan, dan buruh tambang yang ’menikmati’ kemiskinan. Namun satu hal yang perlu dicatat dari anak-anak luar bisasa ini adalah mereka tidak tunduk dan mengalah di tangan kemisikinan. Mereka memiliki energi tersendiri yaitu semangat dan motivasi.
Dalam bukunya ”Searching for Success”, Billy Arcement, M.Ed mengutif pernyataan Suster Forgothy (aktivis pemberantasan kemiskinan) menyatakan bahwa ‘pendidikan merupakan salah satu cara untuk terhindar dari kemiskinan’(2005:49). Namun tentunya ini menjadi pusaran arus yang berpusing-pusing antara kemiskinan, pendidikan, dan keterbelakangan. Jika digambarkan dapat seperti berikut:
Berawal dari kemiskinan, mereka tidak bisa menempuh pendidikan karena tidak ada biaya. Tidak sekolah berarti mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan maka mereka bodoh, dan akibatnya mereka tidak mendapat pekerjaan yang layak. Tidak mendapat pekerjaan yang layak berarti tidak mendapatkan gaji untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sehingga miskin. Dan seterusnya terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya. Lantas bagaimana keluar dari pusaran segitiga ini?
Itulah yang coba ditampilkan oleh Andrea Hirata melalui Laskar Pelangi. Ia mencoba meretas segi tiga ini dengan berpendidikan. Kita ambil tokoh Ikal (yang banyak diyakini adalah reperesntasi kehidupan nyata Andrea Hirata sendiri), dengan semangat dan buku ’Seandainya Mereka Bisa Bicara’-nya, juga Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muhammadiyah, Aling, dan masa lalunya, ia selama 20 tahun berkelana keluar kampung halamannya untuk mengapai cita-citanya hingga ia mendapatkan beasiswa ke Perancis. Semangat yang membaja ternyata mampu mengalahkan dan menyingkirkan keterbatasan yang ada. Kalkulator yang disediakan oleh sekaloh PN Timah untuk siswa siswinya ternyata tidak mampu menandingi kekuatan lidi sapu sebagai alat untuk belajar menghitung siswa-siswi Muahammadiyah. Drum band yang menggema dikalahkan oleh Tabla (tepatnya Rabana) dan sobekan-sobekan kreatifitas Mahar. Tidak salah kemudian Andrea Hirata berteriak melalui tokoh dalam novelnya ”…aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita…”(2008: 383).
”Keinginan yang kuat” ternyata menjadi kata-kata kunci untuk meretas keterbatasan tersebut. Tokoh Syahdan buktinya dengan keinginannya yang kuat untuk menjadi aktor, tercapai. ’Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia seorang pejuang’. Keinginan yang kuat untuk mengalahkan segala keterbatasan tersebut akan menjadi sejata ampuh dalam menghancurkan keterbatasan yang ada. Keinginan yang kuat yang kemudian dibulatkan menjadi impian menjadi cambuk yang melecut-lecut diri mereka untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.
Begitulah sesungguhnya kemiskinan dan keterbatasan itu bisa dimaknai sebagai tantangan bukan penghalang untuk mencapai kehidupan yang labih baik. Anggota Laskar Pelangi telah membuktikannya dangan sangat baik. Semangat yang besar dan impian yang membara akan membawa perubahan yang berarti.
Kekuatan Nilai-Nilai Perjuangan
Sebagian besar dari tokoh-tokoh dalam novel ini sangat inspiratif dan selalu memberikan arti penting sebuah perjuangan. Berjuang dalam arti luas tidak pernah mau mengalah pada keadaan yang memaksa mereka untuk mengalah. Mereka sesungguhnya memiliki kesempatan untuk mengatakan ’tidak’ karena dipaksa oleh keadaan. Namun, kata-kata ’tidak’ itu tidak pernah muncul dalam setiap insan yang dimunculkan oleh Andrea Hirata. Ambil saja tokoh Lintang. Sebagai anak tua dari empat bersaudara, ia seharusnya (sebagimana kebiasaan penduduk di kampungnya) membantu ayahnya sebagai nelayan untuk mencari nafkah. Lintang memiliki kesempatan untuk mengatakan ’tidak’ untuk bersekolah. Dalam segala keterbatasan itu, dia tetap berjuang dengan segala kemampuan yang ada.
Berjuang bersinonim dengan kata pantang menyerah. Tokoh Pak Harfan yang sangat arif dan bijaksana dengan sangat keras mempertahankan sekolah Muhammadiyah. Ukuran-ukuran materi tidak lagi bararti buat beliau. Hanya digaji dengan beberapa kilo beras saja ia tetap mempertahankan sekolah reot itu dengan satu tujuan memberi pendidikan budi pekerti kepada anak bangsa. Ajaran yang sangat motivatif ia sampaikan beberapa kali di dalam novel ini yaitu ”hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya’. Secara manusiawi tidak mudah untuk bertahan dalam kondisi seperti ini. Namun nilai perjauangan yang tertanam dalam jiwa beliau menghancurkan nilai-niali keduniaan.
Tokoh yang tidak kalah pentingnya dalam novel ini adalah Ibu Muslimah yang mampu menjadi seorang bunda bagi anak-anak didiknya. Perjuangan ibu Muslimah juga tidak sedikit. Dengan gaji beberapa kilo beras saja ia mampu bertahan untuk mengajar di sekolah Muhammaddiyah walau dia digoda dengan tawaran mengajar di SD PN Timah yang menawarkan gaji dan fasilitas untuk hidupnya. Tapi itulah makna perjuangan baginya. Ia membesarkan anggota Laskar Pelangi dengan nilai-nilai kasih sayang sehingga anggota Laskar ini mampu menjadi anak didik yang berhasil. Perjuangan yang ia lakukan semakin tampak ketika Pak Harfan meninggal dunia. Ia harus berjuang sendiri mendidik anak-anak didiknya. Sekali lagi niali-nilai perjuangn merekalah yang membuat mereka mampu bertahan dalam semua kondisi yang sangat pahit sekalipun. Ini perlu ditauladani.
Karena Miskin Aku Sekolah; Menghadapi Dunia Nyata.
Setelah melihat bagaimana para tokoh dalam novel ini menyikapi dan ’melawan’ kemiskinan dan kebatasan, maka tidak ada pilihan selain sekolahlah yang mampu meretas kemiskinan itu sendiri. Namun harus diakui sekolah dengan kemiskinan bukan hal yang mudah. Taruhannya adalah menyisihkan sedikit ’nyawa’ yang ada. Mempersiapkan mental untuk bertarung di medan perang penderitaan. Pilihannya adalah berjuang mati-matian dengan menuai sukses di kemudian hari, atau menyerah pada nasib dan kemiskinan seumur hidup. ’Life is a matter of making choices’. Silakan pilih sendiri.
Jika pilihannya adalah berjuang mati-matian demi harapan sukses di masa yang akan datang, maka ada beberapa cara nyata yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah pembiayaan sekolah jika orang tua anda tidak mampu. Beberapa cara berikut ini telah banyak mengantarkan orang-orang sukses dalam menempuh pendidikan;
1. Orang Tua Asuh (Bapak Angkat).
Ada begitu banyak orang kaya yang siap menjadi orang tua asuh bagi anda yang kurang mampu namun berkeinginan untuk kuliah. Tapi biasanya mereka sangat selektif untuk memilih anak angkat, karena taruhannya adalah nama baik keluarga tersebut. Jika mereka mengambil anak asuh yang tidak baik contohnya, maka konsekswensinya adalah keluarga tersebut tercoreng, lebih-labih jika membuat onar dan sebagainya. Maka dari itu, manjadi anak asuh, anda harus tau diri. Harus mampu menjaga nama baik orang tua asuh anda dan siap bekerja keras. Anda harus menyumbangkan tenaga untuk keluarga tersebut. Artinya, selain kuliah anda juga harus juga membantu orang tua asuh anda minimal mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci mobil, mengantar anak-anaknya ke sekolah, mengantar pembantu ke pasar, dan lain-lain. Tantangannya adalah anda harus mampu mengatur waktu sebaik mungkin antara tugas kuliah dan tugas di rumah. Anda harus menjadi orang yang ringan tangan. Ada rumus sederhana menjadi anak asuh yang baik yaitu ’tidur paling terakhir dan bangun pagi paling pertama’.
2. Kuliah Sambil Kerja
Kuliah sambil kerja dapat dilakukan dengan mencari part time job atau kerja sampingan. Biasanya dapat dilakukan dengan menyesuaikan waktu kuliah anda. Jika anda kuliah pagi hari, maka bisa mencari kerja paroh waktu tersebut di sore atau malam hari. Ada begitu banyak peluang kerja paroh waktu yang tersedia di lingkungan kampus seperti; menjadi pelayan restoran (rumah makan), konter HP, jaga wartel atau warnet, cuci motor/moil, jaga toko, dan lain sebagainya. Sekali lagi persoalannya adalah waktu. Bagaimana anda mampu membagi waktu dengan baik. Jangan sampai waktu kuliah tersita oleh waktu kerja.
3. Berburu Beasiswa
Solusi selanjutnya adalah dengan berburu beasiswa. Ada banyak macam beasiswa yang tersedia saat ini baik dari pemerintah maupun institusi swasta atau perusahaan. Dengan adanya kemajuan internet saat ini, ada jutaan peluang beasiswa yang dapat diperoleh baik dalam maupun luar negeri. Akan tetapi, tentu saja syarat mutlak untuk mendapatkan beasiswa tersebut adalah nilai (IPK) yang tinggi. Jadi jika anda memiliki nilai yang bagus jangan pernah bosen untuk melamar atau berburu beasiswa. Browsing di internet dan teruslah berkirim persyaratan-persyaratan yang diminta. Yakinlah dari sekian banyak usaha yang anda lakukan tepat pada waktunya akan membuahkan hasil.
Paling tidak tiga cara ini dapat dijadikan cara untuk tidak menjadikan kemiskinan sebagai penghalang dalam mendapatkan pendidikan. Akan tetapi, dari cara-cara ini hanya ada satu kunci BERJUANG dan siap KERJA KERAS. Lihat apa yang dilakukan oleh Ikal, ia mengejar impiannya untuk kuliah di Perancis dengan berburu beasiswa. Dia sadar jika mau sekolah ke Perancis dengan biaya orang tuanya sendiri tidaklah memungkinkan karena gaji Ayahnya sebagai buruh tambang tidak cukup bahkan tidak pernah cukup untuk mengabulkan cita-citanya. Ia BELAJAR keras dan lebih keras dari yang dibutuhkan.
Kemiskinan yang mendera ini memacunya untuk terus bersekolah. Karena miskinlah ia kuat untuk bersekolah. Kalau kaya ya tidak usah sekolah, jadi pengusaha saja! Maka kesimpulannya, ortu anda miskin? Sekolahlah!
Kesimpulan
Novel Laskar pelangi merupakan novel yang bangkit dari persoalan akar rumput (masyarakat luas) khususnya dibidang pendidikan. Anak-anak petani dan nelayan yang ditampilkan di dalam novel ini harus dijadikan motivator bagi anak negeri ini bahwa dalam kondisi apa pun mereka harus sekolah. Semangat juang dan pantang menyerah para tokoh-tokoh novel ini sepantasnya dijadikan tauladan bagi siapa pun untuk meraih kesuksesan. Keterbatasan dan kemiskinan tidak cukup alasan untuk mengalah terhadap kepapaan. Dalam dunia nyata, untuk menghadapi kemiskinan untuk menuntut ilmu, ada beberapa cara nyata yang dapat dilakukan yaitu pertama, mencari orang tua asuh (bapak angkat), kedua, kerja sambil kuliah, dan ketiga, berburu beasiswa. Ketiga cara ini hanya mampu dicapai dengan KERJA KERAS dan siap untuk BERJUANG.
Daftar bacaan:
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka
Arcement, Billy. 2005. Searching for Success. Jakarta: PT Buana Ilmu Popular.
Discussion about this post