Perubahan selalu terjadi dari setiap detik perputaran bumi. Perubahan itu sendiri biasanya menempuh dua cara; baik dan buruk. Artinya itulah sebuah konsekwensi dari sebuah perubahan. Setelah absen beberapa bulan mengunjungi IAIN STS Jambi, terasa beberapa perubahan yang terjadi pada kampus ’islami’ ini. Paling tidak ada dua hal kecil yang cukup menyita tanya batin saya, yaitu pertama, pemberian nama jalan pada jalan-jalan di dalam kampus Mendalo, dan kedua, pembangunan gedung Fakultas Adab.
Ketika saya masuki jalan-jalan dalam kampus, saya kaget melihat ’signboard’ yang menami jalan tersebut seperti ”Jl. Nangka”, ”Jl. Cempedak”, ”Jl. Duku” dan lain-lain. Lantas apa yang salah dengan nama jalan tersebut? Tentu tidak ada yang salah. William Shakespeare pernah mensenandungkan pemaknaan sebuah nama “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet (Romeo and Juliet)”. Artinya jika bukan “Jl. Cepedak” namanya, tidak akan merubah arah dan lobang-lobang juga lumpur-lumpur yang menggenang pada jalan itu. Dan tidak perlu tulisan ini ada untuk membahasnya.
Akan tetapi, persoalannya bukan pada nama yang telah dipasang itu, tapi lebih pada mengapa nama itu ada, mengapa nama itu yang dipilih. Bahasannya kemudian akan masuk pada ranah kebijakan. Penamaan jalan dalam kampus IAIN STS Jambi dengan mengambil nama-nama buah merupakan kebijaksanaan yang janggal alias tidak nyambung. Kata orang sekarang ‘Jaka Sembung bawa golok. Gak nyambung bo’. Paling tidak ada dua karakteristik besar yang menempel pada kampus ini yaitu ‘akademik’ dan ‘Islami’. Akan lebih nyambung bila nama-nama jalan di dalam kampus ini mencirikan dua karakteristik ini. Misalnya dengan mengambil nama-nama pahlawan Islam di Jambi atau nasional. Nama-nama mantan rektor atau dekan, nama-nama orang yang berjasa terhadap pendirian IAIN, nama-nama tokoh islam dunia, dan lain sebagainya. Sehingga nama-nama yang diberikan sesuai dengan yang diberi nama.
Apa yang perlu dipetik atas kejadian kecil ini? Jelas sekali ternyata orang-orang yang mengambil kebijakan di dalam kampus tercinta ini terkesan ‘asal’. ‘Asal’ dalam makna memutuskan suatu perkara tanpa mempertimbangkan sesuatu itu pantas pada tempatnya atau tidak. Itulah mungkin yang disebutkan oleh Prof. Dr. Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya “Islam and Secularism” sebagai confusion (tepatnya kekacau-balauan). Yang lebih ironis lagi, di dalam kampus ini beriskikan orang-orang yang mengetahui dalil-dalil Islam. Bukankah mereka semua mengetahui bahwa ‘nama adalah doa’? Atau, dengan memberikan nama buah-buahan terhadap nama-nama jalan dalam kampus ini, mereka semua sedang berdoa agar IAIN STS Jambi segera menjadi Agrowisata? allhuawambissawab. Hanya Allah yang maha mengetahui.
Jika penamaan jalan tersebut dianggap hal yang terlalu remeh temeh, maka mari kita lihat bagaimana hal yang kecil ini mencerminkan hal yang lebih besar yaitu salah satunya dalam pembangunan Fakultas Adab yang baru. Sebuah bangunan berlantai dua yang menurut perkiraan saya sudah mencapai 75 % tahap penyelesaianya (maaf jika salah karena ini hanya perkiraan kasat mata saja). Dari gedung yang ada dan jika diperhatikan dengan saksama adakah pembangunan gedung ini memiliki ‘blueprint’ yang jelas untuk memberi gambaran akhir dari pembangunan gedung ini? Atau sudah sesuaikah dana yang dihabiskan dengan hasil yang didapat? Mengenai hal yang terakhir ini tentu sangat sensitif dan takut berakhir dengan fitnah. Biarlah itu menjadi rahasia umum. Toh Allah lah yang lebih mengetahui, lebih tahu dari BPK, KPK, Polisi, atau Jaksa.
Yang menjadi perhatian saya adalah korelasi antara Fakultas Adab dengan gedung yang sedang dibangun tersebut. Fakultas Adab secara gamblang dapat diartikan sebagai fakultas sastra atau fakultas seni. Adakah gedung ini sedikit memberikan kesan demikian? Gedung yang mencirikan keindahan, artistic, kekaguman bathin bila melihatnya? Dengan tegas saya ingin mengatakan gedung ini jauh dari kesan-kesan tersebut. Izinkan saya mengatakan bahwa ruko (rumah toko) yang berdiri berjejer di sepanjang jalan Pattimura jauh lebih memiliki nilai seni ketimbang gedung fakultas seni/sastra ini. Mengapa bisa terjadi?
Tepuk dada tanya selera. Jangan naik pitam kalo saya harus mengatakan bahwa orang-orang kampus ini belum memberikan perhatian sebagaimana mestinya. Mereka baru mampu menggunjing satu sama lain dari satu meja ke meja lain, dari satu ruangan ke ruangan lain. Baru mampu sakit hati jika orang lain mampu menulis buku atau naik pangkat. Baru mampu menyunat anggaran termasuk dana penelitian atau bantuan belajar. Baru mampu bangga menggunakan mobil dinas. Baru mampu bertikai memperebutkan kursi dekan, kabag, kasubbag. Baru mampu mengkotak-kotakkan diri dengan sukuisme, primordialisme, dan nepotisme. Tapi belum mampu menposisikan kampus ini sebagai ‘pabrik’ manusia akademi yang memproduksi gernerasi-generasi bangsa yang berkopetensi. Belum mampu bekerja sama, menjalankan tugas dan fungsi masing-masing, saling mendukung, saling berdiskusi untuk pembangunan dan perbaikan. Inilah kemudian yang disebutkan Prof. Al-Attas dengan hal-hal penghancur dan membawa keruntuhan umat Islam itu sendiri. Berangkat dari 3 hal berikut ini, yaitu kekacaubalauan dalam ilmu pengetahuan (confusion and error in knowledge), hilangnya adab (loss of adab), dan terpilihnya pemimpin yang salah (rise / election of false leaders).
Tanpa menguraikan lebih jauh mengenai tiga hal ini, saya rasa kita sendiri sebagai masyarakat kampus ini sudah merasakannya dalam setiap lini kehidupan kampus ini. Confusion and error of knowled dapat kita rasakan betapa banyak dosen-dosen yang mengajar bukan pada ilmu pengetahuan mereka. Ketua jurusan A dicomot dari dosen yang berlatar belakang ilmu Z hanya karena pertimbangan politis (karena dulu si Pulan memilih dekan yang berkuasa jadi dekan, atau karena si Pulan banyak teman sekampung di senat). Loss of adab dapat kita lihat bagaimana saat ini pergaulan mahasiswa dalam kampus. Belum hilang dari ingatan kita beberapa mahasiswi yang dikeluarkan dari kampus ini karena didapati menjadi pekerja seks di hotel berbintang. Berapa banyak mahasiswa yang mengajak dosen berkelahi hanya karena diberi nilai rendah. dan sebaginya. Election of false leader juga dapat kita lihat dengan sangat jelas sekali. Bagaimana pemimpin-pemimpin di kampus ini tidak lagi dipilih berdasarkan kemampuan tapi sangat sangat politis. Sebut saja pemilihan sekretaris jurusan, ketua jurusan, pembantu dekan, dekan, direktur pasca, kepala pusat, sampai pada pemilihan rektor. Kompetensi akademis hanya sebagai pelengkap dari kompetisi politis. na’uzubillah.
Terakhir, tulisan ini hanya sebagai pelepas ’uneg-uneg’ sebagai salah seorang warga kampus tercinta ini. Jika dalam tulisan ini saya menyebut ’warga’ kampus ini, tentu saja saya juga termasuk di dalamnya. Ibarat menampar air di dulang, yang kena percikannya juga muka saya sendiri. Tapi paling tidak dengan ’menampar’ air di dulang tersebut dan mengenai muka saya sendiri, membuat saya tersadar dan terbangun akan sebuah realita. Jadi bagi sesiapa yang juga terkena percikan ’air’ yang saya tampar pada ’dulang’ (dibaca kampus) ini, saya minta maaf. Sedikitpun tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Semoga Allah selalu membrikan petunjuk dan hidayahnya untuk kita semua. ihdinas siratul mustaqiim .
Discussion about this post