Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Kedua: ‘Investasi yang mendatangkan keuntungan yang besar dapat diapastikan lahir dari ‘investor’ yang besar pula. Syarat yang harus dimiliki seorang ‘investor’ adalah niat yang benar, mental yang kuat dan memiliki ketauladanan sperti yang telah dicontohkan oleh Sang Mentor; Rasulullah]
Kedua, pengelolaan ‘investasi’ (anak). Kita telah sepakat bahwa untuk menjadikan anak sebagai ‘investasi’ langit yang akan berfungsi sebagai sumber ‘pendapatan’ akhirat diperlukan peroses dan perjuangan yang tidak ringan. Proses inilah kemudian yang sangat menentukan. Lebih-lebih saat ini para ‘investor’ (orang tua) dihadapkan dengan begitu banyak godaan dan tantangan terutama kemajuan teknologi dan informasi seperti saat ini.
Proses ini dapat diawali dengan mengenali potensi yang dimiliki oleh Sang Anak. Allah telah memberi aba-aba tentang hal ini. Paling tidak ada empat kedudukan anak yang telah digambarkan di dalam Al-Quran. Kesatu, anak sebagai musuh, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS. at-Tagobun : 14). Apa yang dimaksud anak sebagai musuh adalah anak memiliki potensi untuk menjerumuskan kedua orang tuanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang di luar ketentuan Allah.
Kedua, anak sebagai fitnah atau ujian, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anamu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (Qs. at-Tagobun : 15). Anak yang melakukan suatu perbuatan maka kedua orang tuanya akan mendapat dampaknya. Jika seorang anak melakukan perbuatan baik, maka orang tuanya akan mendapat nama baik pula. Dan sebaliknya, jika anak berbuat kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai ketentuan agama dan sosial maka kedua orang tuanya juga akan dipersalahkan. Inilah yang disebut sebagai fitnah ketika anak-anaknya terlibat dalam perbuatan yang negatif. Perangkap itu sangat banyak seperti narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang membuat susah dan resah orang tuanya (fitnah).
Ketiga, anak sebagai perhiasan, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs. Al-Kahfi : 46). Dianalogikan sebagai perhiasan ketika anak dapat menambah ‘cantik’ kedua orang tuanya. Prestasi-prestasi yang dimiliki oleh anaknya dapat mengharumkan nama kedua orang tuanya. Bahkan seorang anak yang ‘menjadi perhiasan’ itu akan mampu mengangkat derajat kedua orang tuanya secara sosial kemasyarakatan.
Keempat, anak sebagai penyejuk mata (qorrota a’yun) atau penyenang hati, “Dan orang-orang yang berkata”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al- Furqon:74). Kedudukan anak yang terbaik adalah manakala anak dapat menyenangkan hati dan menyejukan mata kedua orang tuanya. Tentunya yang dapat menyejukkan hati tersebut tidak hanya persoalan fisik yang cantik dan gagah tapi lebih kepada prilaku dan akhlak. Anak-anak yang memiliki prilaku yang baik dan akhlak mulia akan enak dilihat dan mententramkan jiwa kedua orang tuanya.
Seorang penulis buku sekaligus konselor hebat tentang keluarga (parenting) Amerika, Dorothy Law Nolte Ph.D, merumuskan peran orang tua dalam puisinya yang apik. Puisi ini kemudian banyak dikutip dan menjadi inspirasi orang tua. Perhatikanlah puisi ini dan dapat dijadikan sebagai renungan bagi kita untuk mengelola ‘investasi langit’ yang kita miliki. Apa yang kita investasikan, itulah sesungguhnya yang akan kita peroleh kelak. Perhatikan puisi berikut ini;
Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia belajar untuk menyalahkan.
Jika seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi.
Jika seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah.
Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri, ia belajar mudah memaafkan dirinya sendiri
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk merasa malu.
Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan,ia belajar bagaimana iri hati.
Jika seorang anak hidup dalam rasa malu,ia belajar untuk merasa bersalah.
Jika seorang anak hidup dalam semangat jiwa besar, ia belajar untuk percaya diri
Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain, ia belajar setia dan sabar.
Jika seorang anak hidupnya diterima apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri.
Jika seorang anak hidupnya dimengerti, ia belajar bahwa sangat baik untuk mempunyai cita-cita.
Jika seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati.
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas, ia belajar akan kebenaran dan keadilan.
Jika seorang anak hidup dalam rasa aman, ia belajar percaya kepada dirinya dan percaya kepada orang lain.
Jika seorang anak hidup penuh persahabatan, ia belajar, bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup.
Jika kamu hidup dalam ketentraman, anak-anakmu akan hidup dalam ketenangan batin.
Akhirnya, jelas sudah bahwa ‘investasi langit’ itu sangat bergantung pada siapa ‘investor’nya dan bagaimana mengelola ‘investasi’ terebut. Hukum kausalitas pun pasti berlaku. Apa yang ditanam itulah pula yang dipanen. Jika ingin mendapatkan keuntungan besar dan terus menerus, tidak ada pilihan kecuali berjuang membangun investasi dengan baik dan sungguh-sungguh. Semoga. #BNODOC18303072017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post