JIKA pertanyaan judul di atas saya tanyakan kepada anda saat berada di rumah, apa jawabannya? ‘Rumah saya!’. Anda pasti percaya diri menyebutkan itu adalah rumah anda. Jika saya uji dengan beberapa pertanyaan seperti tahun berapa dibangun, berapa jumlah kamar, apa saja warna cetnya, berapa kamar mandi, dst pasti anda bisa menjawab. Karena itu rumah anda. Dipastikan anda tahu seluk beluknya.
Namun, jika rumah itu kemudian diubah sedemikian rupa tanpa sepengetahuan anda, apakah anda masih bisa mengatakan itu rumah anda? Begini, katakanlah rumah anda ‘dibedah’ tanpa sepengetahuan anda di atas tanah yang sama. Ketika anda pulang ke rumah dipastikan anda akan bertanya, ‘ini rumah siapa?’. Mengapa anda bertanya? Karena ciri-ciri yang melekat pada rumah anda sudah dibongkar habis. Semua bentuk dan warnanya diubah. Yang tersisa cuma tanahnya saja. Anda kemudian merasa asing di rumah sendiri.
Walaupun tidak terlalu persis, analogi ini ingin saya pasangkan dengan beberapa kondisi kota di tanah air kita. Bebera hari ini saya berkesempatan menjelajah salah satu kota di Provinsi Kepulauan Riau. Ini kunjungan saya yang ke sekian kali. Mungkin belum terlalu banyak yang saya sambangi, tapi paling tidak gambaran kotanya cukuplah untuk merik kesimpulan sederhana bahwa saya mulai merasa asing di Bumi Pertiwi ini. Kata ‘mulai’ berarti belum sepenuhnya. Tapi saya yakin beberapa tahun mendatang anda pun akan benar-benar terasing.
Mengapa itu terjadi? Ada beberapa catatan mendasar, (dan ini tentunya tidak hanya terjadi di kota ini tetapi juga beberapa kota lainnya). Pertama, mulai hilangnya ciri khas fisik pada bangunan yang ada. Kita meyakini bahwa setiap daerah di tanah air ini memiliki ciri khasnya masing-masing yang mencerminkan sosiokultur yang ada. Di Sumatera Barat kita mengen bagonjong, di Riau ada Rumah Melayu, di Jambi ada Kajang Lako, dan lain sebagainya.
Apa yang terjadi saat ini, ciri-ciri khas ini entah sengaja atau tidak mulai dihilangkan oleh gedung-gedung mencakar langit. Ingat, bukan pembangunannya yang perlu kita kritisi tapi tidak menempelnya ciri khas daerah pada gedung itu yang perlu dipersoalkan. Rasanya tidak akan susah bagi pemerintah daerah untuk menetapkan aturan itu. Siapa pun yang akan membangun gedung, seberapa lantai pun, semegah apa pun, harus melekatkan ciri khas daearah. Ciri itu boleh menempel di ornamen, warna, bentuk atap, dan lain sebagainya.
Agaknya inilah yang luput dari perhatian sehingga lama-lama kita merasa asing di negeri sendiri. Kita sudah tidak tahu lagi ini ‘rumah’ siapa. Jangan-jangan kita akan segera bertanya ‘kita ini di mana?’.
Kedua, bahasa dan kuliner. Saya agak kaget ketika menemukan yang berderet di kota ini adalah restoran Cina. Dari nama restoran hingga nama makanan yang dihidangkan tidak lagi menggunakan Bahasa Indonesia. Aksara-aksaranya tidak lagi saya kenal. Saya mulai was-was akan kehalalan makanan yang disajikan. Bagaimana mungkin di negari ini mereka begitu leluasa menjajakan selera mereka sendiri. Tamu-tamu telah menjadi raja di negeri ini agaknya.
Penggunaan aksara ‘asing’ pada restoran dan pusat pembelanjaan tentunya untuk memenuhi kehendak pasar. Saya memahami itu. Kemungkinan yang banyak berkunjung ke kota ini adalah orang-orang Cina. Tapi masalahnya, mengapa harus menghilangkan bahasa kebersaran bangsa ini.
Lagi-lagi saya merasa asing di negeri sendiri. Menghilangkan Bahasa Indonesia dengan alasan apa pun adalah sebuah kesalahan. Bukankah bahasa menunjukkan budi bangsa. Bahasa adalah kebanggaan yang kita miliki sebagai orang yang lahir di negeri ini. Jika bahasa sudah dengan leluasa mereka ganti, maka jati diri kita sedang dijajah orang. Ingat itu!
Akhirnya, jika sekarang saja saya sudah merasa asing di tanah air sendiri, bagaimana anak cucu saya nanti? Globalisasi (borderless) dan kemajuan teknologi telah membuat bergerakan manusia sangat cepat dari satu ruang ke ruang lain, dari belahan bumi yang satu ke sisi lain. Itu tidak bisa dinafikan. Namun demikian, semua itu tidak boleh membuat negeri ini tercabut dari akarnya. Anak-anak negeri ini tidak boleh terasing di tanah moyangnya sendiri. Ciri khas fisik dearah, kuliner dan bahasa tidak boleh tergerus dengan alasan apa pun. Karena itulah ‘roh’ yang menandakan bangsa ini masih hidup; belum mati. Jangan sampai ada yang bertanya, ‘ini negeri siapa?’
Discussion about this post