Oleh: Bahren Nurdin, MA
Teringat cerita salah seorang kawan berkebangsaan Amerika yang pernah bercerita pengalamannya sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Suatu waktu dia masuk ke rumah makan Padang untuk makan siang. Masuk dan duduk di salah satu meja yang disediakan. Pelayan pun datang tanpa bertanya apa pun langsung menyajikan makanan berbagai jenis, dari gulai, rendang hingga sayur mayur. Walaupun agak kaget melihat makanan sebanyak itu, namun karena sudah dihidangkan, maka semua yang ada di atas meja itu dia cicipi tanpa terkecuali sampai ‘kelenger’. Beberapa tamu restoran yang ada juga heran melihat ada ‘Bule’ makan banyak bangat.
“Waktu itu saya gak tau, bahwa tidak semua yang di meja itu harus dimakan”, ceritanya sambil tertawa. Yang ia pikir, jika sudah dihidang yang harus dihabisin. Ya, masing-masing negara memiliki budaya sendiri. Indonesia adalah salah satu bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang amat sangat luar biasa, khususnya di bidang kuliner. Baik dari cara, maupun rasa hingga bentuk proses pembuatannya sangat beraneka ragam dan unik. Masing-masing daerah memiliki makanan khas sendiri. Itulah kekayaan budaya yang selalu terjaga dari masa ke masa.
Begitu juga halnya ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Salah satu keunikannya adalah makanan. Ada makanan wajib dan ada pula yang wajib makan. Makanan ‘wajib’ di pagi lebaran sudah tidak asing lagi yaitu lontong (ketupat), opor, rendang, dan sejenisnya. Dapat dipastikan setiap rumah menyajikan makanan ini. Jika tidak percaya, silakan saja di cek dari rumah ke rumah, hehehe
Ada juga yang ‘wajib’ makan. Di lebaran hari pertama dan kedua ada budaya saling mengunjungi rumah sanak saudara. Khususnya di kampung-kampung, saling mengunjungi merupakan salah satu ‘kewajiban’ yang tidak bisa ditinggalakan. Itulah indahnya silaturrahim. Nah pada saat berkunjung inilah ada bahasa ‘wajib’ makan.
Tuan rumah yang dikunjungi akan merasa tersinggung jika ada tamu yang tidak mau makan di rumahnya. Dia merasa tidak dihormati. Maka, semakin banyak orang yang makan di rumahnya, ia semakin senang dan merasa terhormat. Inilah keunikan yang luar biasa. Sebuah kearifan lokal yang patut dijaga. Kepada kawan yang datang dari Amerika itu saya sampaikan, “waktu hari raya Idul Fitri anda boleh makan puas dan gratis. Datanglah ke kampung saya”. Dengan mata terbelalak dia jawab, “Oh, really?”. Ya, siapkan saja perut anda, hehe.
Maka salah satu adat yang perlu diingat jika berlebaran di kampung adalah makanlah. Tidak bisa anda mengatakan “Wah saya sudah makan”. Itu artinya anda sama saja menyinggung perasaan yang punya rumah, sanak saudara yang anda kunjungi. Maka keluarlah bahasa, “Biar sedikit, yang penting, makan”. Biar sedikit? Jika anda mengunjungi lima rumah, dapat dibayangkan betapa berat kerja usus setelah sebulan ia istirahat.
Apa makna semua ini? Sebenarnya tidak hanya persoalan makanan, tapi lebih dari itu ada nilai-nilai yang tertanam di dalamnya. sala satunya adalah nilai kebersamaan. Salah satu wujud nyata kebersamaan itu adalah makan bersama. Saat makan bersama inilah keakraban dan nuansa kekeluargaaan terbina dan terpelihara.
Ada juga nilai saling memberi dan merasakan. Salah satu kepuasan yang didapat melalui kegiatan seperti ini adalah memberi. Rasanya bahagia melihat orang lain menerima pemberian yang di sedikan terutama masakan.
Akhirnya, berlebaran itu berarti makan-makan di rumah sanak saudara. Salah satu cara menghormati tuan rumah yang dikunjungi adalah dengan menyantap makanan yang disediakan. Hormatilah dan makanlah. Makan dalam konteks ini tidak hanya persoalan perut, tapi ada nilai-nilai yang tertanam di dalamnya; kebersamaan dan saling memberi.
#BNODOC17727062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post