Bulan Mei 1998 saya menginjakkan kaki pertama di Yogyakarta. Indonesia sedang begolak. Yogyakarta juga membara. Jalan Gejayan pun pernah menjadi saksi sejarah. Siapa saja yang hidup di zaman itu dan tidak melupakan sejarah pasti masih ingat satu nama Moses Gatotkaca; Jum’at Kelabu. Sayup-sayup, saya kembali mendengar istilah ‘Gejayan Memanggil’. Ah sudahlah, biarlah darah yang tumpah menjadi tinta pencatat sejarah.
Ada yang bercita-cita menjadi demonstran? Sungguh, menjadi demonstran itu bukan sebuah cita-cita tapi panggilan jiwa untuk membela bangsa. Resikonya sudah jelas; jiwa dan raga dipertaruhkan.ungguh, menyiapkan atau mengikuti demonstrasi itu tidak ‘ujuk-ujuk’. Tidak sesederhana ambil toa dan teriak-teriak di tengah lapangan. Ada begitu banyak hal yang perlu dipersiapkan. Demo yang ‘fast response’ (reaksi cepat) sekali pun dibutuhkan beberapa kali rapat dan penggalangan massa. Lantas bagaimana menjadi demonstran hebat itu?
Pertama, kuasai materi. Ini sangat penting. Rohnya demonstrasi. Jangan ada yang ikut demo tapi tidak tahu apa materi yang dituntut. Untuk mendesign sebuah demo, biasanya diawali dengan rapat dengan agenda data sharing atau information sharing dengan brain storming. Data dibedah, seluruh sisi dikaji dan diperdebatkan. Semua perdebatan pada akhirnya merujuk pada sebuh kesimpulan, demo atau tidak.
Jika diputuskan untuk turun ke jalan, maka akan ada rapat lanjutan persiapan. Di tahap ini sudah harus diputuskan dengan sangat jelas tujuan atau goal akhir yang hendak dicapai, siapa atau instansi apa yang jadi sasaran. Jika ending yang diharapkan adalah pernyataan sikap, maka surat pernyataannya sudah disipakan. Intinya, semua sudah dirancang sedemikian rupa dengan detail. Penanggug jawab atau Koordinator lapangan (korlap) juga sudah ditunjuk. Jika demo melibatkan banyak organisasi, maka pimpinan organisasi-organisasi yang ikut serta akan menunjuk satu diatara mereka menjadi korlap. Dikenal dengan ‘satu komando’! Hal ini juga penting untuk menghindari agenda susupan dari orang-rang tidak bertanggung jawab.
Kedua, kuasai lokasi. Bayangkan saja anda masuk medan tempur tapi tidak mengetahui sama sekali lokasi perperangan, bisa mati konyol. Walau pun tidak se-ekstrim itu, menjadi demonstran hebat juga harus menguasai lokasi. Panitia biasanya sudah menyiapkan beberapa rekayasa keadaan. Beberapa plan sudah disampaikan baik oleh korlap maupun melalui pimpinan oraganisasi masing-masing. Plan A, B, atau C.
Dipastikan tidak ada satu orang pun peserta demonstrasi yang ingin bentrok, rusuh, anarkis, dan lain sebagainya. Yakinlah, pihak keamaan juga begitu. Semua ingin damai dan tujuan tercapai. Namun terkadang keadaan di lapangan sangat dinamis. Banyak hal yang tidak terduga dan di luar keinginan semua. Maka, seorang demonstran sudah mengantisipasinya dengan menguasai lokasi untuk menghadapi kondisi terburuk sekali pun. Minimal, sudah tahu lari lewat mana.
Rekayasa keadaan dan komando ada di korlap. Pada situasi tertentu, keputusan untuk maju, mundur atau bertahan ada di tangan korlap dan beberapa pimpinan lainnya. Mereka dipastikan selalu berdiskusi mengamati detik per detik kejadian sehingga keputusan dapat dibuat dengan cepat dan tepat. Maka, mereka yang sering jadi korban adalah demonstran yang tidak ikut komando dan tidak menguasai lokasi.
Ketiga, kuasai diri. Anak muda itu darahnya masih panas, mudah tersulut emosi dan rentan provokasi. Maka demonstran tangguh itu adalah mereka yang mampu menguasai diri. Mengapa bentrok antara mahasiswa dan polisi sering terjadi? Karena yang bertemu di garis depan (hadap-hadapan) itu adalah anak muda versus anak muda. Mahasiswa berhadapan dengan polisi baru tamat SPN. Umur mereka relatif sama. Sedikit saja saling provokasi, jadi!
Bagaimana cara menahan diri? Kembali pada tujuan awal dan penguasaan materi. Tujuan utama demonstrasi adalah untuk memperjuangkan kemaslahatan bersama bukan untuk saling menyakiti sesama anak negeri.
Akhirnya, menjadi demonstran itu butuh ilmu dan persiapan. Penting sekali untuk menguasai materi, mengetahui lokasi dan menahan emosi. Idealnya, demonstrasi yang sukses bukan yang paling banyak korbannya, tapi yang mampu mencapai tujuan bersama atas nama bangsa dan negara. Hidup Mahasiswa!
Discussion about this post