Perlahan tapi pasti. Walau tidak terlalu sepi paling tidak suasananya tidak seramai beberapa jam yang lalu. Pintu ruangan telah ditutup rapat. Lumpu ruangan dibuat redup dengan cahaya seadanya namun terasa bersahaja. Ruangan itu cukup luas untuk ukuran rumah sakit. Sepintas lalu tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah ruangan rumah sakit karena tidak jauh berbeda dengan ruangan tamu rumah mewah. Tapi walau bagaimana pun mewahnya ruangan itu tetap saja ruangan rumah sakit yang dipenuhi oleh alat-alat medis di sana sini. Berbagai macam bentuk peralatan ada mengelilingi pasien yang terkulai lemas di atas kasur beralaskan kain putih dan berselimut tebal berwarna hijau.
Ia sebenarnya belum tertidur walau matanya telah tiga hari terakhir tak mampu lagi terbuka. Ia begitu lemas dan tak berdaya. Pada hal jika dilihat masa kejayaannya ia pernah menguasai tank baja angkatan perang. Bukan dia bawa tapi pernah ia hancurkan berkeping menjadi debu. Tapi sekarang tenaga itu telah sirna. Walau terpejam ia masih mendengar dengan jelas denting jarum jam melompat dari satu garis ke garis lain yang membawa watu berlalu. Ia coba untuk tidak menghiraukan rasa selang infuse ditangannya, pompa oksigen melewati hidungnya, dan entah apa lagi yang menempel di dadanya.
Perlahan dari kejauhan ia melihat cahaya putih tak berbentuk mendekat menuju ke arahnya. Entah dari mana asalnya, ia juga tidak tahu. Cahaya itu semakin lama semakin mendekat sehingga hampir berjarak sepuluh meter berada di sudut ruangan itu. Ia bisa melihat dengan jelas cahaya itu tapi ia tak mampu menterjemahkan bentuk dan rupanya. Yang jelas cahaya itu hidup dan seakan bergerak kesana kemari. Tak lama kemudian cahaya itu tenang dan seolah memperhatikan dirinya yang sedang terkapar lelah. Ia lelah menjalani hidup yang begitu panjang.
“Apa kabar Jenderal?” Cahaya itu bersuara. Ia tersentak kaget membuat tangan kirinya sedikit bergerak. Menyadari hal tersebut puteri sulungnya yang setengah mengantuk menemani sang ayah terkejut dan membetul kan kembali tangan ayahnya yang tersentak kaget.
“Ya, seperti inilah keadaanku saat ini. Saudara siapa?” Jawabnya terbata-bata. Mungkin itu hanya suara hatinya karena ternyata sedikit pun tak keluar suara dari mulutnya. Ia hanya komat kamit tanpa suara. Anaknya dengan berliang air mata hanya manyaksikan kejadian itu.
”Jenderal jangan takut, aku adalah sahabatmu. Maukah kau ikut bersamaku?”
”Ikut ke mana?”
”Kita akan bertamasya mengelilingi dunia.”
”Bagaimana saya bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Jangankan bertamasya, membuka mata saja saya sudah tidak mampu. Itu tidak mungkin.”
”Baik, pejamkanlah matamu.” pinta sang cahaya kepadanya. Ia pun menuruti perintah sang cahaya. Ia seakan memejamkan mata yang sebenarnya memang telah hampir satu minggu ini terpejam. Tak lama kemudian ia pun tertidur dalam mimpi yang tak berujung.
Pagi-pagi sekali lambat laun kesadarannya mulai terbangun. Saat ini yang tejaga hanyalah kesadaran otaknya. Sementara organ-organ lain seakan sudah tidak mampu lagi bekerja. Hampir delapan puluh persen anggota tubuhnya baik bagian dalam maupun bagian luar sudah mengajukan surat pengunduran diri untuk pensiun. Memang sudah terlalu lama mereka mengabdi kepada sang empunya badan. Hampir delapan puluh enam tahun mereka bekerja tanpa istirahat. Wajar pula lah mereka saat ini ingin istirahat. Yang paling pertama mengajukan pengunduran diri adalah lambung sehingga si majikan tak lagi bisa menikmati nasi dan randang betokok atau sayur asam kesukaannya.
Tak lama berselang ia kembali dikagetkan oleh kedatangan cahaya putih yang mengunjunginya tadi malam. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Tidak, ia tidak sedang bermimpi karena ia dengan jelas mendengarkan suara hiruk pikuk rumah sakit itu. Ia sekali sekali mampu mendengarkan perbincangan dokter-dokter yang setia menjaganya. Begitu juga suara anak sulungnya yang selalu ada di sisinya. Ia salah. Sekarang ternyata bukan lagi subuh tapi sudah hampir mendekati siang.
”Apa kabar Jenderal?” Pertanyaan yang sama dengan semalam
”Beginilah aku” Jawabnya singkat.
”Apa kamu sudah siap untuk bertamasya denganku?” Tanya cahaya itu tegas.
”Manalah mungkin aku pergi dengan kondisi seperti ini. Aku hanya menikmati tamasyaku di sini. Ya di atas kasur empuk rumah sakit ini. Mungkin inilah tamasyaku…”
”Haaa.. jangan cengeng Jenderal! Sejak kapan kau cengeng seperti itu? Bukankah kau adalah orang yang paling perkasa di negeri ini? Bukankah kau pernah menjadi panglima perang? Bukankah kau pernah menjadi presiden berpuluh-puluh tahun untuk negara ini? Mengapa kau cengeng sekarang? Ayo bankitlah. Kalahkan rasa sakitmu!” Cahaya terus membangkitkan dirinya dengan semangat yang kuat.
Perlahan di luar dugaanya sang Jenderal yang sebenarnya sudah lama pensiun itu pun mampu bangkit dan membereskan segala alat medis yang melekat di tubuhnya. Ia bersihkan satu persatu dan kemudian ia berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Namun tak lama berselang ia tiba-tiba telah sampai di halaman sebuah gedung yang mewah dan megah. Gedung itu dijaga ketat oleh para tentara dengan bersenjata langkap. Tapi tentu saja hal ini tidak lagi aneh dan canggung baginya karena ia sendiri pernah memakai pakaian loreng itu. Ia beberapa kali megucek-ngucek matanya untuk meyakinkan dirinya tidak sedang bermimpi. Tapi aneh mengapa mereka-mereka yang berseragam itu tidak memperhatikan kedatangannya? Bukankah dulu ketika ia melewati gerbang ini mereka selalu angkat tangan memberi hormat?
Tanpa menghiraukan para prajurit itu ia pun terus melangkah masuk kedalam gedung. Ia sudah sangat hapal dengan gedung tempat dulu ia bekerja itu. Istana Presiden. Tidak ada orang di ruang tamu. Sepi. Kemana semua orang? Dia pun tidak tahu harus ke mana. Tiba-tiba ia mendengar suara entah dari mana
”Masuklah. Aku telah lama menantimu di sini.” Ia mencoba mencari asal suara itu dan melangkah masuk. Sungguh dirinya kaget melihat sang cahaya sudah berada tepat di sisi foto-foto besar yang tertempel di dinding. Ruang itu memang pernah dijadikannya musium tempat menyimpan semua benda kenangan dan dokumen penting termasuk koran-koran yang memiliki berita bersejarah baginya.
“Ingatkah kau dengan foto-foto ini? Betapa kau telah berbuat banyak untuk negeri ini. lihat lah dirimu di dinding ini. kau telah bertemu dan menjalin kerja sama hampir dengan seluruh negara di dunia. Ini cindera mata dari mana?” sang cahaya mendekatkan diri kesebuah plakat.
”Ya. Aku ingat. Pelakat ini diberikan oleh teman saya dari Philipina. Dia teman akrab saya.” Ia tesenyum puas mengingat masa-masa indah beberapa tahun silam.
Di waktu yang sama, tubuhnya ternyata masih saja terbaring lemah di rumah sakit. Saat yang sama pula tubuh itu mendapat kunjungan kehormatan dari presiden negara tetangga. Saat rohnya melayang bernostalgia dan tersenyum puas, bibirnya pun tersenyum lembut. Sang tamu pun mengira si Jenderal sedang tersenyum kepada dirinya.
”Dia sudah membaik. Tadi ketika saya berada di kamarnya, ia sempat tersenyum dan komat kamit ingin berbicara. Ya. Dia orang baik dan teman akrab saya.” Begitu jawab sang tamu ketika konfrensi pers di hadapan rumah sakit itu. Ia salah.
Puaslah rasanya ia melihat semua kenagan yang pernah ia lewati di ruangan itu. Ia menyaksikan semua yang telah ia perbuat. Foto-foto dan benda-benda kenangan tentang dirinya masih tersimpan di ruangan itu. Itulah masa-masa kejayaannya.
“Dari sekian banyak kenangan ini, apa yang paling kau suka?” Tanya sang cahaya.
”Itu yang paling aku suka.” Ia menunjuk photo besar yang menempel di dinding paling ujung. Foto pelantikan dirinya menjadi presiden.
”Jadi kau masih ingin menjadi presiden?” Tanya sang cahaya seakan tak percaya.
”Ya. Aku ingin sekali lagi menjadi presiden…”
”Untuk apa?” Potong sang cahaya setengah marah.
”Untuk menghacur negri ini lagi? Apa selama ini kurang?” Tiba-tiba datang suara dari sebelah kirinya. Entah dari mana asalnya. Cahaya itu berwarna hitam pekat. Sama seperti cahaya yang telah membawanya ke ruangan itu. Cuma yang di sebelah kirinya ini berwarna hitam pekat sedikit menakutkan.
”Oo…kau rupanya sama saja dengan orang-rang yang tak tahu berterima kasih kepadaku. Sudah sekian lama aku membangun negeri ini, dianggap menghancurkannya. Apa mereka lupa bahwa akulah pejuang yang telah melepaskan negeri ini dari belenggu penjajahan? Apa mereka lupa aku telah memperkenalkan negeri ini kepada dunia. Apa mereka lupa aku telah membuat kota ini memiliki gedung bertingkat? Jalan tol? Apa mereka lupa aku telah…”
”Tidak. Aku memang tidak akan melupakan itu semua. Aku dan rakyat negeri ini pun tidak akan melupakan peristiwa-peristiwa pembantaian di negeri ini yang disebabkan oleh ulahmu. Wahai sang Jenderal, apa kau lupa dengan adengan drama menyedihkan ini?” Sang cahaya hitam mengangkat sebuah koran dan menunjukkan foto halaman depan koran itu kepadanya.
”Tragedi ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak mayat yang telah kau kubur dengan kesuksesan demi kesuksesanmu. Kau selimuti suksesmu dengan darah dan air mata anak negeri ini.” Cahaya hitam itu kemudian terbang berputar seakan marah dan membentak dan beberapa detik kemudian kembali lagi ke sebelah kirinya.
”Tapi bagaimana dengan ini” Tanya sang cahaya Putih mengangkat sebuah medali yang terbuat dari perunggu itu. Medali penghargaan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
”Alah.., itukan bisa-bisanya dia saja mengambil muka di hadapan dunia. Kalau memang negeri ini benar-benar pernah swa sembada pangan mengapa hari ini kedelai langka? Impor beras berjuta ton? Apa yang rakyat rasakan hari ini cuma akibat dari perbuatannya berpuluh-puluh tahun silam” Cahaya Hitam semakin tampak apatis. Entah membela siapa.
”Itulah makanya saya mau menjadi presiden sekali lagi. Saya akan tunjukkan bahwa saya akan bisa memperbaiki kehidupan negeri ini. Saya masih merasa memiliki kemampuan jauh lebih baik dari presiden hari ini. Saat ini rakyat jauh lebih menderita dibanding zaman saya menjadi presiden. Mereka menderita lahir dan bathin. Beri saya kesempatan sekali lagi” Sang Jenderal seakan memohon kepada cahaya-cahaya tersebut.
Seketika ruangan itu sunyi. Cahaya-cahaya itu seakan bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Si putih sibuk dengan kebanggaan dengan hasil-hasil yang diperoleh oleh sang Jenderal. Sementara chaya hitam membentang satu persatu koran usang berita-berita demonstrasi, penembakan misterius, penghilangan para aktivis, pemberontakan para saparatis, dan yang terakhir dia buka berita pengunduran diri sang Jenderal menjadi presiden. Tepatnya dipaksa rakyat mengundurkan diri.
”Jika masih ada kesempatan itu, aku akan bersihkan semua prasangka buruk rakyat ini. Berilah aku kesempatan satu kali saja… dan aku akan buktikan kepada siapa saja bahwa tuduhan buruk akan diriku tidak benar” Sang Jenderal mengulangi permintaanya.
”Jika memang itu keinginanmu, baiklah. Kau boleh menjadi presiden sekali lagi tapi mungkin tidak di negeri ini. Ada negeri lain yang sendang menunggumu. Kau boleh bersaksi di sana atas semua yang kau perbuat dan yang kau inginkan” Ucap Sang Cahaya putih sembari mendekat ke sebelah kanan sang Jenderal.
Namun bebrapa detik kemudian di luar dugaan sang Jenderal mendengar gema suara kuat dan menggelegar seakan memecah kupingnya. Suara itu membuat ia tak sadarkan diri.
”Selamat jalan Jenderal” kedua cahaya itu berucap serempak.
Perlahan-lahan kedua cahaaya itu memisahkan diri dengan pergi ke dua arah yang berlawanan. Si putih melayang dan menghilang menembus dinding sebelah kanan dan si hitam ke arah sebelah kiri.
Sang Jenderal juga semakin lemas terkulai di atas kasur rumah sakit itu. Drama kehidupan telah ia lawati begitu panjang dan berliku. Kini saatnya ia istirahat. Tanpa ia ketahui dengan pasti apa yang terjadi, perlahan dirinya pun mulai diratapi dan ditangisi.
”Selamat Jalan Bapak, Doa kami menyertaimu…” Doa si Putri sulung mengiringi kain putih menutupi wajah Sang Jenderal.#Bhn#
Jambi, Kamis 31 Januari 2008 (00:20)
Discussion about this post