Oleh: Bahren Nurdin, MA
Paling tidak dua hari terakhir saya masih menyempatkan diri untuk menyambangi beberapa daerah yang terdampak banjir baik di Kota Jambi maupun di kabupaten lainnya. Banjir sudah mulai menyusut. Air Batang Hari telah mengalir jauh menuju laut. Namun demikian, kekhawatiran masyarakat masih tetap ada karena curah hujan masih saja tinggi di beberapa tempat. Masyarakat harus terus waspada.
Pananganan korban banjir tidak hanya pada saat banjir berlangsung. Bahkan yang lebih antisipatif lagi adalah pasca banjir. Banjir tidak hanya membuat rumah dan harta benda masyarakat terendam namun sekaligus membawa wabah penyakit. Catatan Dinas Kesehatan Kota Jambi menyebutkan paling tidak 40 orang telah terserang Demam Berdarah Dengue (DBD) (Jambi Ekspres; 19/3/17). Belum lagi penyakit-penyakit lain seperti gatal-gatal (kulit), diare, gangguan saluran pernafasan, dan lain-lain.
Wali Kota Jambi, melalui Dinas Kesehatan, sudah mengambil langkah antisipatif dengan mendirikan Posko Kesehatan Korban Banjir di beberapa titik rawan penyakit bagi koraban banjir. Namun sayang, posko ini kemudian dikeluhkan masyarakat karena petugas tidak pernah di tempat. Posko didirikan, petugas ‘kabur’. Masyarakat akhirnya harus kecewa dan mencari bantuan ke tempat lain. Hal ini perlu mendapat perhatian langsung dari Wako Jambi agar menertibkan petugas yang abai akan tanggung jawab. Sanksi!
Terlepas dari peran pemerintah untuk memberikan perhatian kepada korban banjir, saya juga ingin menggugah peran masyarakat sendiri untuk berpartisipasi dalam mengatasi dampak-dampak banjir di lingkungan masing-masing. Sebahagian besar wabah penyakit yang datang pasca banjir tersebut disebabkan oleh sampah dan genangan air.
Dari beberapa tempat yang saya datangi ternyata sampah-sampah sisa banjir masih saja menumpuk begitu saja. Sama-sama diketahui bahwa ketika air sungai meluap dan mengalir sampai ke pemukiman warga serta merta akan membawa berbagai sampah. Sampah-sampah ini kemudian mengapung sedemikian rupa.
Ketika barnjir berlalu, sayangnya tidak semua sampah ikut serta bersama air yang menyusut. Sampah-sampah ini kemudian tinggal dan menumpuk. Terkadang tidak hanya sampah berupa kekayuan dan plastik, tapi juga bangkai-bangkai binatang yang tidak bisa menyelamatkan diri dari banjir. Sampah-sampah inilah yang kemudian mengotori lingkungan dan menimbulkan bau tidak sedap (polusi udara).
Begitu juga dengan genangan air sisa banjir. Di pemukiman warga terdapat beberapa dataran rendah berupa danau-danau kecil atau hanya sekedar lobang-lobang di permukaan tanah. Lobang-lobang ini kemudian terisi oleh air banjir. Di tempat inilah dijadikan nyamuk Aedes Aegypti untuk bersarang dan beranak pinak. Pada waktunya mereka akan menyerang warga sekitar.
Di sinilah peran masyarakat dituntut. Seharusnya, tidak perlu menunggu perintah siapa pun, setelah banjir berlalu secepat mungkin mereka mengambil inisiatif untuk melakukan pembersihan sampah-sampah yang masih menumpuk dan mengeringkan air-air yang menggenang. Namun faktanya, hampir sepekan banjir belalu, sampah-sampah itu masih saja bertebaran dan bau-bau tidak sedap juga masih ‘dinikmati’ begitu saja.
Perlu kesadaran bersama bahwa pembersihan lingkungan pasca banjir itu sangat perlu dan tanggung jawab bersama. Gotong royong adalah cara paling tepat untuk melakukan pembersihan lingkungan tersebut. Jika sisa-sisa banjir ini dengan cepat dibersihkan maka wabah penyakit dapat diantisipasi sejak dini.
Akhirnya, penanganan dampak banjir perlu perhatian semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat sendiri. Wabah penyakit yang merebak sesungguhnya dapat diantisipasi sedini mungkin dengan meningkatkan kesadaraan dan paritisipasi semua lini. Pembersihan lingkungan menjadi prioritas berasama.
#BNODOC7820032017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post