……
“Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?” ia tertawa senang dengan pertanyaannya sendiri.
“Nah, dengarkan baik-baik aku ceritai. Guling, yang kalian sukai di ranjang itu, takkan kalian temukan di negeri-negeri lain di dinuia. Setidak-tidaknya begitu cerita mamahku. Tak tahulah sepuluh tahun mendatang*. Pribumi Hindia belum lagi lama menggunakannya. Meraka hanya meniru-niru orang Belanda. Apa keenakan yang datang dari Belanda serta merta ditiru orang terutama priyayi berkepala kapuk itu. Inggris mengertawakan kebiasaan berguling.
“Cuma sedikit orang Belanda datand ekmari membawa perempuan,” ia meneruskan. “Juga orang-orang Eropa lainnya. Di sini mereka terpaksa menggundik. Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Mereka banyak juga yang taj mau menggundik. Sebagai pengganti menggundik mereka membikin guling – gundik yang tak dapat kentut itu. Hai, kau, Kleoooo, pernah kau temui guling dalam sastra Jawa lama? Tak bakal ada. Dan, kau, Sutan, ada kata-kata itu dalam sastra Melayu? Nol besar. Memang tidak ada. Itu memang bikinan belanda tulen – gundik tak berkentut. Dutch Wife. …Dan tahu kalian orang pertama-tama yang menamainya? Raffles, Letnatn Gubernur Jenderal Hindia”….
————————
Dikutif dari Novel “Jejak Langakah” karya Pramoedya Ananta Toer (2006).
Baca juga versi tesisnya segera terbit “Awakening the Nation: The Role of the Press in Nation Building in Pramoedya Ananta Toer’s Footsteps”
*padahal lagi pusing tujuhkeliling dibuat novel ini. Tapi bukan tetang gulingnya hehehe…..
**wah sekarang sudah banyak pabrik guling hehehe… Belanda telah berhasil memperbanyak ‘isteri’ dan ‘anak’ keturunannya’ di bumi pertiwi ini. Siapa bilang kita bisa lepas dari pengaruh Belanda? Berani tidur gak pake guling? Hehehee…
Discussion about this post