Oleh: Bahren Nurdin, MA
Jika ada yang bertanya, dimana saya bisa menulis huruf-huruf hijaiyah? Jawabnya di madrasah. Di mana saya bisa membaca alif ba ta? Jawabnya, di guru ngaji. Klop!
Artikel singkat ini akan mencuplikkan ‘video’ kehidupan saya dan teman-teman semasa SD di kampung halaman dan betapa penting peran madrasah bagi kami. Di masa itu kami belum mengenal kata listrik dan aspal. Dua fasilitias ini belum kami miliki karena desa masih mendapat titel ‘desa tertinggal’ dengan istilah keren ‘IDT’ (Inpres Desa Tertinggal). Masih ingat istilah ini? Yang merasa tua, pasti!.
Sekedar menyegarkan ingatan, Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) mulanya rancang oleh Presiden Soeharto melalui Inpres No. 5 Tahun 1993. Program ini adalah skema yang digunakan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan mengangkat derajat kehidupan masyarakat di desa tertinggal. Ada berbagai macam bentuk bantuan. Paling tidak, saya masih ingat betapa sibuknya almarhum Ayah saya yang menjabat Sekdes mengurusi program ini di desa kami.
Istilah IDT ini sekedar untuk memberikan gambaran seperti apa kehidupan desa kami. Saya masih ingat masa-masa nonton televisi (tv) dwi warna (hitam dan putih) dengan menggunakan aki (accu). Dicas satu malam untuk nonton tiga malam. Film favorite berjudul ‘Combat’ dengan pemeran utama Vic Morrow yang merupakan film perang serial ditayangkan TVRI. Saking favoritnya, habis nonton besoknya berhasil memproduksi AK 47 dari pelepah pisang. Ikut-ikutan ‘perang’ di dalam padag duku, dor…dor.. dor!
Namun demikian, kedatangan teknologi televisi dan radio pada waktu itu tidak banyak memberi pengaruh terhadap kehidupan kami anak-anak kampung. Runtinitas masih tetap berjalan sebagaimana mestinya. Belajar dan mengaji tetap menjadi prioritas utama. Paktuo Husin On (pemilik tv tempat kami berbaris rapi menonton) pasti tidak mau menghidupkan tv jika bukan pada waktunya.
Paling tidak ada tiga ‘institusi formal’ yang membentuk hari-hari kami di kampung. Pertama, sekolah formal (SD hingga SMA). Kedua, madrasah Ibtidaiyah (MI). Tiga, mengaji malam (magrib ke isya). Tiga institusi ini memainkan peran sangat penting dalam membentuk kepribadian anak-anak dusun seperti saya.
Madrasah merupakan salah satu ‘institusi’ penting. Waktu yang digunakan adalah setelah pulang dari sekolah formal (SD sampai SMA). Madrasah merupakan ‘pesantren’ yang dijadikan tempat untuk belajar ilmu agama Islam dari fiqih, sejarah, bahasa Arab hingga belajar menulis huruf-huruf hijiyah. Pukul 2 siang hingga 4 sore menjadi begitu berharga untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu ukhrowi.
Namun sayang, beberapa tahun terkhir, madrasah itu telah ‘dilupakan’. Bangunan lima pintu berjejer itu terbengkalai ‘mengenaskan’. Atap sengnya melapuk dimakan karat. Kursi dan dan meja entah dimana. Papan tulis tak lagi berwujud bersamaan hilangnya penggunaan kapur tulis. Tidak ada lagi pintu yang menghalangi sapi dan kambing numpang bermalam.Terabaikan, terbengkalaikan dan terlupakan!
Tidak perlu pula saling menyalahkan. Kini masanya untuk membangun kesadaran bersama bahwa segala macam penyakit masyarakat (termasuk degradasi moral generasi muda) yang terjadi saat ini bisa dihadang dengan memfungsikan kembali institusi pendidikan seperti madrasah. Paling tidak, madrasah dapat dijadikan pengisi waktu luang anak-anak setelah pulang dari sekolah formal, khususnya di pedesaan.
Akhirnya, madrasah itu adalah pesantren bagi kami anak-anak desa yang belum berkesempatan untuk mondok. Keberadaannya sangat berkontribusi terhadap pembentukan moral anak-anak bangsa ini. Sekarang banyak madrasah khususnya yang di desa yang ditelantarkan. Mari kita bangun kesadaran bersama untuk kembali menghidupkan institusi pendidikan ini. Khusus di kampung-kampung, saatnya kita canangkan Gerakan Kembali Ke Madrasah! #BNODOC26523092017
*Akademsisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post