Oleh: Bahren Nurdin
Masih setia ia mengalir; dari hulu hingga hilir
Riak kecil bersama kapar-kapar menghampar
Hanyut jauh hingga ke samudera tak bermuara
Sambil berkata pada menara, “Apa kabar, Gentala?”
Yang ditanya tak bersuara; diam seribu kata
Tidak juga tersenyum, apa lagi tawa
Ia sedang bermuram durja
Nasibnya malang alang kepalang
Tinggi menjulang tapi tak terbilang
Megah gagah tapi tak bermawah
Indah dan cantik tapi tak dilirik
Malang nian nasipmu kini wahai Gentala
Ooo… Gentala
Kau berdiri megah di tanah bertuah
Tapi kau tak berharga bak sampah
Diiringi sumpah serapah para bedebah
yang mencari makan dari sumpah
Ooo…Gentala
Menjulanglah hingga ke Arasy
Bertemulah dengan tuhanmu
Ceritakan, saat ini kau yatim piatu di tengah para benalu
Penghisap darah, penjilat nanah, penyembah kekuasaan
Ooo…Gentala
Kau memang sebatang kara
Kerajaan ini memang tak besultan
Rantau ini tak bejenang
Negeri tak bebatin
Luhak tak berpenghulu
Kampung tak betuo
Rumah tak lagi bertengganai
Ooo…Gentala
Kini, janganlah kau sesali diri
Mentari masih setia datang dan pergi
Sama seperti sore ini
Aku menyaksikan bayang-bayangmu telah hanyut ditelan riak Batang Hari
Pertanda mentari pamit menuju upuk
Memerah merekah marah tak berdarah
Syahdu pilu meninggalkan para pemburu bayangmu
Mereka datang dan pulang tanpa mata dan sukma
Mereka yang dulu melahirkanmu entah dimana
Mereka yang kini bersamamu pun telah terkubur berselimut citra
Yang tersisa kaum-kaum alay dengan tongsis bak belalai
Foret-fotretmu dipajang telanjang tak bernilai
Dan kau diabai; terbengkalai!
Jambi, 26 Juli 2017
*Dipersembahkan untuk memeriahkan hari puisi Indonesia-Jambi
Discussion about this post