Baru sekitar lima belas menit kapal ferry tua itu meninggalkan Pulau Sumatera, sesuatu yang mengerikan benar-benar terjadi. Kapal second yang bermuatan penuh itu nyaris remuk diterjang ombak laut yang tiba-tiba meninggi. Ketinggian ombak nyaris mencapai lima meter. Kapal sempat kemasukan air laut dan oleng beberapa kali. Padahal sebelumnya tak ada aba-aba sedikitpun dari penjaga pantai atau perusahaan penyebrangan bahwa akan ada badai dan ombak tinggi. Semua penumpang kocar kacir. Maklum di negeri ini penumpang kapal tidak pernah diajari bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Di negeri ini harga nyawa manusi tidak lebih seharga secangkit kopi.
“Mana yang laen.?” Tanya Pak Robi setelah menemukan beberapa mahasiswanya di tengah gerombolan penumpang lainnya.
“Gak tau pak. Mungkin disebelah sana. Tadi saya liat Anto dekat skoci bersama Lia.” Jawab salah satu mahasiswa dengan pucat dan masih gemetar.
“Trus kalian berapa orang..? Ada yang terluka?”
“Kami lima orang pak. Alhamdulillah gak ada apa-apa, Pak.”
“Oke, Bapak cek yang lain dulu ya… kalian diam di sini saja dulu. Kalau kalian lima berarti masih dua orang lagi teman kalian yang belum Bapak temukan” Pak Robi langsung meninggalkan kerumunan orang-orang panik yang lima orang diantaranya adalah mahasiswanya sendiri peserta study tour menuju Jogjakarta. Ia segera menuju ke sekoci sebelah kanan karena dari 27 mahasiswa yang Ia bawa masih dua orang yang belum ia temukan.
Laut mulai tenang dan bersahabat. Tidak lagi terasa hantaman ombak ke kapal. Tak lagi terdengar teriakan ibu-ibu panik menyelamatkan anak-anak mereka atau bapak-bapak yang berteriak memberikan instruksi penyelamatan. Serine tidak lagi dibunyikan. Semua tampak mulai tenang walau masih berkumpul di sana sini khususnya di dekat skoci. Beberapa anak buah kapal tampak patroli dengan penerangan seadanya.
Setelah semua tenang seluruh mahasiswa dikumpulkan dan dicek satu per satu. Ternyata dua orang yang belum ngumpul alias tak tahu rimbanya itu adalah Etha dan Rio.
“Wah, mereka gak mungkin bersama pak… mereka kan musuh bebuyutan” Adrian berceloteh tanpa beban”
“Wah…kucing dan anjing rupanya yang ilang” Sahut Rudi setengah bercanda.
“Etha emang suka telat kan Pak? Jadi yeaa..paling juga nyumput dibawah kolong kalee..” sambung Echi sambil senyum-senyum mengejek.
“Yang jelas mereka tidak mungkin bersama. Kalo mereka berasama kiamat dunia… ha…haa” sahut Bobi sambil tertawa.
“Udah cukup! semua dengarin saya” Pak Robi mulai panic menghadapi mahasiswanya yang kadang-kadang memang harus makan hati. Bayangkan, dalam situasi segenting itu mereka bukannya khawatir terhadap temannya yang belum tahu riwayatnya eh malah sahut-sahutan gak karuan. Mereka tak memiliki sense of crisis Sementara dua dosen lainnya sibuk memeriksa setiap kerumunan penumpang yang ada di ferry itu.
“Yang cewek tetap di sini dan jangan kemana-mana. Yang cowok dibagi menjadi tiga team untuk menelusuri setiap sudut kapal ini. Setiap jengkal kapal ini harus kita periksa. Kita berdoa semoga teman kalian Etha dan Rio saat goncangan keras tadi tidak terlempar ke luar kapal. Kalian bisa bayangkan andai mereka tidak bisa kita temukan maka kegiatan Study tour kita tahun ini cukup sampai di sini, tidak bisa dilanjutkan. Kita harus temukan Etha dan Rio. Hidup atau mati” Pak Robi mulai gugup karena betapa berat tanggug jawab yang mereka emban sebagai Dosen Pendamping kegiatan ini. Andai dua mahasiswanya ini tidak ditemukan taruhannya adalah penjara atau nama baik sebagai dosen pembimbing. Menghadapi masalah seperti ini baru dia menyadari mengapa hampir semua dosen yang ditawarin mendampingi mahasiswa ini menolak. Ada yang menolak terang-terangan dan ada juga yang menolak secara halus. Pada saat seperti ini, ingin rasanya ia membuang segala tanggung jawab itu ke laut. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Tanggung jawab dan kesanggupannya sebagai dosen pembimbing sudah ia terima. Baginya tanggung jawab adalah lehernya sendiri taruhanya.
Setelah hampir empat puluh menit penyisiran dilakukan akhirnya mereka ditemukan juga. Apa yang diduga oleh teman-temen mereka sebelumnya ternyata salah semua. Mereka ditemukan bersama di lantai dua persisnya di ruang eksekutif. Team penyisir sibuk mencari ke sana ke mari, ternyata mereka berada di tempat ternyaman di kapal itu.
“Kok kalian tidak langsung mencari kami ato yang laennya? Kami sudah cemas tau!” Tanya Ira setengah emosi.
“Jangankan untuk berjalan, buka mata saja Etha gak mau setelah hantaman ombak terakhir tadi. Dia selalu terpejam dan tak mau lepas dari tanganku…”
“Tangan apa pelukan?” Sela Dodi yang menemukan mereka berdua. Saat ditemukan, Etha memang sedang dalam rangkulan Rio.
“Wah… asyik dong. Kesempatan dalam kesempitan. Mau dooong..” Sambung Rudi setengah mengejek Rio.
“Wah Pak kawinin aja tuh mereka berdua. Kapan lagi kucing dan anjing akur kayak gitu, pelukan lagi..! Jangan-jangan….” Belum selsesai kalimat Bobi udah ditimpali oleh Pak Jaya sebagai kepala rombangan kegiatan ini. Sementara Etha hanya diam dan memegang erat tangan Rani yang berdiri disebelahnya.
“Udah, sekarang kita bersyukur kita selamat semua. Sekarang masuk ke bis karena setengah jam lagi kita sampai di tanah Jawa. Mungkin bisa lebih cepat nyampe ke pelabuhan Merak. Bisa sebelum subuh.”
Semua mahasiswa dan Dosen pembimbing berkumpul dan berdua bersama sebagai tanda syukur mereka telah diselamatkan dari bahaya yang mengerikan. Tak ada yang kuasa mengatur semua itu kecuali kuasa-Nya. Dialah zat yang mengatur kapan sebuah kapal harus tenggelam dan kapan harus mengapung, walau sebenarnya dituntut ikhtiar bagi manusia. Tapi di negeri ini tak ada usaha untuk selamat dalam berkendaraan. Tak ada jaminan perlindungan keselamatan penumpang. Pemerintah tak pernah peduli. Jadi setiap penumpang membeli tiket perjalanan dengan menggunakan alat transportasi apa pun, sama artinya dengan membeli tiket untuk dicelakakan. Naik kereta api, anjlok. Naik pesawat terbang, hilang, tegelincir, gagal landing dll. Naik bis, tabrakan dan terbalik. Naik kapal laut tenggelam. Jadi jika mau berpergian, tinggal pilih mau apa. Semua bisa. Mau tenggelam, tergelincir, tebalik, jatuh atau hilang, tinggal pilih dan disarankan untuk memilih yang asuransinya besar. Sehingga andai kata pilihan anda tepat, paling anda tidak merepotkan yang ditingalkan.
Bis lambat laun mulai menderu meninggalkan pelabuhan Merak keluar dari kapal menuju Jakarta. Para penumpang bis itu tak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada yang masih menyeka air mata. Tapi sebagian besar dari mereka mulai terlelap setelah tadi berjuang jiwa dan raga melewati masa krisis.
“Kamu gak tidur Ta? Masih trauma ya?” Tanya Pak Robi pada Etha yang dari tadi tampak linglung, bingung, menerawang, dan sedikit masih pucat.
“Belum ngantuk Pak.” Jawabnya tuntas. Tapi pikirannya bergumam “Andai Pak Robi tahu apa yang kupikirkan”
Ada yang berkecamuk di benak Etha. Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Semua seakan diluar logika. Beberapa kali ia mengerutkan kening seakan mencoba berpikir keras menemukan jawaban atas abstraksi pertanyaan jiwanya yang tak bersuara. Semua terjadi begitu cepat. Gelombang laut yang menggelora telah merubah segalanya. Telah merubah benci menjadi sesuatu yang indah. Ya. Sejak kejadian di kapal tadi kebencian yang terkadang berlebihan dan tak beralasan terhadap mahluk yang bernama Rio selama tiga tahun alias enam semester ini berubah seiring dentuman ombak menerpa dinding kapal itu. Benci itu seakan melebur bagai embun diterpa surya.
Etha sadar betapa orang yang salama ini telah ia benci ternyata telah menjaga dan menyelamatkan jiwanya. Orang yang salama ini teleh membuat dia muak dan jijik telah dijadikan pengangan saat dia lemah. Orang yang selama ini tak pernah ia perhitungkan dalam kancah asmara, ternyata telah berkorban untuk jiwanya.
Samar-samar masih tebayang dimatanya bagaimana Rio dengan sigap dan jantan merangkul dan memeluknya saat kapal oleng tergoncang ke sana ke mari. Semua orang menyelamatkan nyawa masing-masing tapi tidak dengan Rio. Dia satu-satunya manusia yang peduli padanya. Heroiknya sikap Rio pada saat penyelamatan itu tak kan pernah lepas dari mata Etha. Bahkan teman dekatnya selama ini yang mungkin selama ini telah menjadi Teman Tapi Mesranya, saat kejadian itu tak sedikit pun peduli padanya. Ia hanya menyelamatkan diri sendiri. Memang benar kata orang persahabatan sejati adalah orang yang berani mengorbankan jiwa dan raganya untuk kesusaha mu.
Pajar mulai hadir mengiringi deruan lalu lintas pulau Jawa. Semua penghuni bis sudah terlelap kecuali Etha, sopir, dan crew. Sesekali Etha melihat ke bangku belakang dimana Rio telah terlelap dengan mimpinya. Saat Etha melihat wajah Rio dalam tidurnya, ingin rasanya ia mengecup kening yang terlelap itu. Wajah itu menjadi indah di mata Etha. Tak ingin rasanya melepas pandangan dari wajah polos dan bersahaja itu. Bukankah wajah Mas Ozi jauh lebih gagah dibanding Rio? Bukankah Mas Ozi adalah segalanya bagi Etha?
“Mas, adek berangkat dulu ya. Pokoknya adek beliin oleh-oleh yang banyak buat mas. Gak usah khawatir, mas adalah segalanya bagiku. You are my real soulmate, honey” begitu katanya saat malam sebelum keberangkatanya mengikuti acara Study tour itu. Haruskah ia mengingkari semua itu?
Gelombang kegelisahan di hati Etha ternyata tak kalah tinggi dibanding gelombang laut yang menghantam kapal tua itu. Bahkan lebih dahsyat. Gelombang ini mengalir ke seluruh tubuh dan semua pertahanan logika dan sukma. Gadis manis itu mulai membending-bandingkan pacarnya, Mas Ozi pemuda gagah kakak kelasnya yang baru tamat beberapa bulan lalu dengan si jelek Rio. Secara fisik Rio kalah banyak dibanding Oziantoro, SS yang notabenenya juga mantan kakak kelasnya. Singkatnya dilihat dari sisi mana pun Rio tetap akan jadi pecundang dibanding Ozi. Itulah makanya selama tiga tahun Etha tak pernah melihat sebelah mata akan keberadaan Rio. Maklum Etha sendiri adalah seleb kampus yang sering menjadi perhatian banyak mahasiswa. Tapi Rio yang supel dan cerdas tak pernah ambil hati dengan sikap Etha terhadap dirinya yang terkadang terlalu merendahkan.
“Semua orang punya hak untuk bersikap sesuai yang dia mau” beginilah jawabannya jika ditanya tentang sikap Etha yang salalu memusuhinya.
Kini semua berubah bahkan berputar seratus delapan puluh derjat.
“Udah di mana sayang…? Mas mulai kangen ni.” Begitu SMS dari Mas Ozi yang tidak dia balas sejak beberapa jam lalu. Kata-kata sayang itu tak lagi indah dan sejuk di hatinya. Kata-kata yang membuatnya tidak tertidur sejak kebarangkatan hingga ke kapal penyebrangan itu kini menjadi hambar. Pada hal beberapa jam yang lalu kata-kata seyang dari pemuda itu seakan menemani setiap hembusan nafasnya. Kata itu sangat ia nanti-nanti. Bahkan jika tidak ada dalam tiga puluh menit dia bisa marah besar kepada sang kekasih.
“Kok SMS mas gak pernah di balas sih..? Adek marah ya? Emang Mas salah apa?”. Untuk kesekian kalinya SMS dari Mas Ozi tidak ia balas. Sebenarnya ingin ia membalas SMS itu. Ia ingin sampaikan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan Mas Ozi. “Kesalahan bukan berada pada pesawat televisi anda..”
Perjalanan kegiatan study tour di negeri Hamengkubuwono itu berjalan sesuai schedule yang telah ditetapkan para dosen pembimbing. Selain kunjungan-kunjungan resmi antar institusi, kegiatan wisata ke tempat-tempat wisata pun berjalan menyenangkan. Lebih-lebih bagi Etha dan Rio. Entah apa yang terjadi pada Etha. Seorang gadis angkuh sok cantik yang terkadang centil dan manja mau berjalan, berphoto, bercerita, makan bersama, berjalan bersama dengan seorang Rio yang selama ini terlalu kerdil di matanya.
Dalam setiap kesempatan bisa bersama Rio, Etha seakan menemukan dunia baru dalam memaknai sebuah hubungan dan kehidupan. Dia menemukan apa yang sesungguhnya salama ini tidak ia dapatkan yaitu sebuah hubungan yang ikhlas tak bersyarat. Etha semakin sadar bahwa selama ini sebenarnya ia telah menjalin hubungan asmara dan kemanusiaan yang syarat akan syarat-syarat. Ia mungkin tak dicintai kalau saja ia tak cantik. Ia mungkin tak ditemani kalau saja ia tak kaya. Ia mungkin tak dilirik kalau saja baju dan sepatunya tak mahal. Semua bersyarat. Maka jika syarat itu tiada maka tak kan ada Etha dangan segala ke-Etha-annya.
Rio dengan segala ke-Rio-annya telah mengajari Etha tentang banyak hal dalam beberapa hari kegiatan itu. Rio telah membuat sang sarjana dilupakan pacarnya. Rio telah membuka mata Etha lebar-lebar. Yang mungkin tak terlupakan pelajaran yang diberikan Rio adalah bagaimana sesungguhnya arti berteman. Etha diajari bahwa kalau kita bener-benar berteman buang semua syarat dan atribut yang ada. Dalam semua keadaan kita adalah teman. Berphoto tidak harus dengan teman yang cantik saja. Kalau tidak cantik kita tidak mau berphoto bersamanya. Belanja bukan berarti dengan teman yang kaya saja. Shalat bejamaah tidak harus dengan teman yang rajin shalat saja. Etha diam-diam telah mengagumi cowok ‘jelek’ itu. Kagum dengan segala lebih dan kurangnya. Bagaimana dengan Mas Ozi?
“Rio, aku boleh ngomong sesuatu..?” Suatu ketika di rumah makan pemberhentian terakhir sebelum mereka sampai kembali ke kampus.
“Yeee.. sejak kapan Mahkamah Konstitusi mengesahkan UU larangan bicara? Bicara aja lagi. Mau mesan mie lagi..?” Jawab Rio tanpa beban tetap dengan ke-Rio-annya.
“Aku serius nee..”
“Lha… emang aku bobo? Emang kamu mo ngomong apa? Ooo..oo aku tau. Kamu mau bilang aku jangan cerita ama Mas Ozi kalo kita sering jalan bareng selama di Jawa, gitu? Kalo itu mah…gam..” Belum selesai kalimat Rio sudah dipotong Etha.
“Bukan itu maksudku. Tapi aku mo ngomong… “Eta terhenti di kalimat ini, terdiam dengan segala kegundahannya. Entah gelombang apa yang ada di benaknya. Menghantam dan mengombang ambingkan. Mungkin mendekati dahsatnya gelombang tornado atau bahkan lebih dahsyat dari angin puting beliung.
“…..kau telah terlalu banyak membantuku selama kita menjalankan kegiatan ini. Rio…aku”
“Udah… sejak kapan kamu sok serius gitu? Laucu lagi…” potong Rio. Tak lama kemudian terdengar teriakan Dosen pembimbing agar semua peserta masuk ke bis.
“Lhoo…kok nasinya gak dimakan sih? Malah bengong gitu… Yuk entar ditinggal lagi” Rio pun bergegas membayar makan mereka berdua, tepatnya cuma Rio doang yang makan habis nasi dan lauknya sementara Etha hanya makan beberapa sendok saja.
Rio melangkah perlahan bersama Etha di belakangnya menuju bis. Perjalanan tinggal tiga jam lagi sampai ke kampus.
Etha tetap dengan bergelut dengan ombak bathinnya tentang Rio dan hidupnya. Sebenarnya tadi ia hanya ingin mengucapin terima kasih pada Rio dengan setulus-tulusnya. Tapi sayang bibirnya terlalu kelu tuk mengucapkannya. Mungkinkah ada perasaan lain dibalik gelombang kekagumannya pada inner soul yang Rio miliki? Entah lah!
“Dek, Maaf Mas gak bisa menjemput adek sebab Mas ada tugas luar kota malam ni. Adek sehat-sehat aja kan? I Love you, manis..” SMS dari Mas Ozi
“Oke Mas gak papa. Adek Udah SMS papa tuk jemput. Ati-ati di jalan ya..” dibalasnya SMS itu seadanya. Biasanya ia akan akhiri sms itu dengan kata manis “I love you too, my love”
Ketika semua barang telah diturunkan. Alangkah kagetnya Etha ketika semua barangnya sudah berada dalam bagasi mobil papanya. Tak satu pun yang keliru. Masya Allah betapa perhatian Rio sampai pada detil dan bahkan ia bisa membedakan mana yang barang Etha dan mana yang bukan. Ini tidak hanya pada barang Etha tapi juga barang-barang teman lainnya. Sekali lagi kekaguman Etha akan Rio semakin menebal.
“Udah Ta, semua barang mu udah dalam bagasi mobil Papamu. Sampai jumpa hari Senin ya…bye…”
“Rio…..tung..”
“Aku duluan ya… bye.. semua” Rio pun berlalu bersama motor temannya yang butut dan brisik bunyi knalpotnya. Sementara Etha dijemput mobil mewah papanya.
Ketika Rio berlalu bersama angin senja menjemut malam, Etha pun gundah dengan sejuta rasa dan asa. Tak ada yang terucap walau semua telah terungkap. (bhn)
Jambi, 1 September 2007
Discussion about this post