MENGGALI ADDED VALUE GENTALA ARASY
Pada tanggal 28 Maret 2015 lalu resmilah penggunaan Jembatan Pedestrian dan Menara Gantala Arasy yang ditandai peresmiannya oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, H. M. Jusuf Kalla. Rakyat Jambi bergembira dan bersuka cita memiliki land-marking baru. Ini terbukti, beberapa saat setelah diresmikan jembatan itu dipenuhi ribuan pengunjung yang ingin merasakan semilir hembusan angin di tengah-tengah Sungai Batang Hari. Dari kejauhan pun nampak jembatan itu melenggok indah dan menawan.
Rakyat Jambi harus bangga memilikinya. Beberapa waktu lalu, jauh sebelum Gantala Arasy diresmikan, saya sempat berbincang ringan dengan salah seorang tokoh Jambi terkemuka H. Junaidi T. Noor. Satu hal yang beliau katakana “Jangan sebut lagi ‘Ancol Jambi’. Jangan pula nanti sebut ‘Jam Gadang’. Kita punya nama sendiri. Punya kita sendiri. Namanya Taman Tanggo Rajo dan Menara Gantala Arasy”. Agaknya hal ini perlu juga menjadi perhatian kita semua. Ajakan beliau sederhana, banggalah dengan diri sendiri. Untuk menjadi terkenal tidak perlu memakai nama orang lain. Meninggikan ‘sense of belonging’ terhadap budaya dan daerah sendiri juga salah satu peran aktif masyarakat untuk menjaga apa yang mereka punya.
Berdirinya dua land marking ini, Jembatan Pedesterian dan Menara Gantalo Arasy, tentunya tidak hanya sekedar land mark atau icon. Dia harus mampu mendatangkan nilai tambah (added value) bagi masyarakat luas. Dia tidak hanya memberi tempat bagi masyarakat untuk menikmati keindahan dan kemolekan Sungai Batang Hari, tatapi jauh dari itu, bangunan yang telah menghabiskan anggaran Negara dan daerah milyaran rupiah ini harus mendatangkan manfaat yang lebih luas yang pada akhirnya menjadi simbol kesejahteraan rakyat Jambi.
Nilai Sejarah dan Budaya
Gubernur Jambi, juga pemrpakarsa berdirinya dua bangunan monumental ini, Drs. H. Hasan Basri Agus, MM pada sambutan buku ‘Gantala Arasy’ yang terbitkan Dinas Pekerjaan Umum 2014 berpesan ‘kita berharap ia (Gentala Arasy) akan menjadi ‘ikon’ ibu kota provinsi – Kota Jambi, sebagai symbol peradaban dan kesejahteraan Melayu Jambi yang harus kita pelihara’. Didirikannya museum di lantai dasar Gantala Arasy ini menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah untuk menempatkan bangunan ini tidak hanya sekedar land marking. Dipamerkannya benda-benda cagar budaya seperti keris, batik, mesjid tua, dan lain-lain akan sangat berkontribusi pada masyarakat untuk lebih mengenal sejarah dan budaya mereka sendiri.
Hal ini juga sejalan dengan ditempatkannya bangunan ini di Seberang Kota Jambi (Kelurahan Arab Melayu dan sekitarnya), di mana peradaban Jambi di mulai. Nilai-nilai sejarah dan budaya khususnya kemelayuan Jambi dan Islam tidak dapat dipisahkan dari ‘negeri seberang’ ini. Symbol-simbol kemelayuan dan ke-Islaman masih sangat kental terpelihara di daerah ini seperti Pondok Pesantren, sanggar pembuatan Batik, dan lain-lain. Maka dengan dibangunnya Gantala Arasy ini, pemerintah dan masyarakat Jambi harus terus menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya itu.
Di berbagai kesempatan saya selalu menyerukan dan berharap kepada pemerintah Kota Jambi untuk tegas menghentikan pembangunan ruko (rumah took) di Seberang. Ruko tidak sejalan dengan nilai budaya kita. Jadikan Kota Seberang itu sebagai wilaya konservasi budaya dan jangan diganggu dengan ‘ikon-ikon’ kapitalisme. Biarkan rumah-rumah panggung tua itu berjejer indah dan unik karena itulah nanti yang menjadi daya tarik budaya Jambi. Keluarkan Perkot atau Perdanya secepat mungkin sebelum semuanya disulap ‘Aseng’ dan Asing.
Nilai Wisata dan Ekonomi
Di mana massa berkumpul di situ ada pasar (peluang usaha). Diyakini icon baru Jambi ini akan terus menyedot perhatian masyarakat luas baik dari dalam Provinsi Jambi mau pun dari luar. Secara otomatis tempat ini akan menjadi peluang usaha bagi siapa saja khususnya usaha kecil menengah (UKM). Namun demikian, peluang usaha ini harus senafas dengan nilai-nilai budaya dan karifan lokal yang ada. Sebagai contoh, suatu ketika saya dan keluarga pernah menikmati jagung bakar di sisi Jembatan Pedesterian – Taman Tanggo Rajo. Seorang pengamen dengan pakaian wanita yang minim (walaupun nampaknya bukan wanita alias waria) bernyani dan bergoyang berkeliling. Sementara itu, pengunjung adalah keluarga bersama anak-anak. Ini tidak pantas dan tidak sejalan dengan nafas budaya kita. Hal-hal semacam ini harus menjadi perhatian serius sehingga tempat istimewa ini tidak ‘ternodai’.
Maka dari itu, pemerintah tidak hanya cukup membangun fisik jembatan dan menara ini saja tatapi harus juga membangun infrastruktur pendukung lainnya. Para pedagang makanan (kaki lima) yang berjejer di sepanjang Tanggo Rajo ini harus diberikan wadah. Tidak hanya pedagang makanan, di lokasi ini juga harus disediakan kios-kios souvenir khas Jambi. Boleh juga dilengkapi dengan panggung-panggung seni yang bernuansa budaya. Semua ini harus ditujukan untuk menambah daya tarik yang ada. Tidak boleh ada yang mengganggu ketenangan dan kenyamanan para pengunjung. Kebersihan, keindahan, kenyamanan juga kamanan wajib dikelola dengan baik dan serius. Intinya, samakin banyak orang yang berkunjung, semakin luas pasar terbuka. Rakyat sejahtera.
Saat ini yang belum terkelola maksimal adalah Sungai Batang Hari sendiri. Seharusnya para investor mulai melirik peluang usaha wisata sungai dengan menyediakan perahu-perahu wisata cantik dan menarik. Saat ini yang baru tersedia masih berupa geteq (perahu motor) yang masih sangat sederhana. Dengan adanya Jembatan Pedesterian dan Gantala Arasy ini seharusnya sudah ada perahu-perahu wisata yang dikelola dengan serius dan professional. Jika Itali termashur dengan gondolanya yang cantik dan uniq, kenapa tidak kita buat Perahu Getek (Gentala Tekenologi, hehe…). Semoga
Bahren Nurdin, SS., MA
Dosen IAIN STS Jambi dan Motivator ‘Hypno-Motivation’
Email: bahren_nurdin@yahoo.com
Telah diterbitkan di OPINI Jambi Ekspres (Jawapos Grup), Sabtu 4 April 2015
Discussion about this post