Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Kesatu: Sekolah hanyalah salah satu tempat menimba ilmu. Ingat, salah satu. Itu artinya masih ada tempat-tempat lain yang juga dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan. Saya mereview bagaimana kami anak-anak kampung melewati masa-masa sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Memang tidak di sekolah sepanjang hari, tapi sepanjang hari kami ‘bersekolah’. Semua aktivitas yang dilakukan mengandung unsur edukasi yang baik. Itulah hakikat ‘Full Day Education’]
Jika dicermati, ide dasar mencuatnya ‘full day school’ (FDS) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ternyata hanya dilandasi oleh pemikiran pragmatis. Menteri mengungkapkan; pertama, “kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja”; kedua, “anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua” (kompas.com, 7/8/2016). Sederhananya lagi, FDS hanyalah guru bisa menggantikan tugas sopir yang biasa jemput anak dan asisten rumah tangga yang biasa menjaga anak ketika orang tua kerja. Alih tugas saja!
Jika begitu, FDS yang dilontarkan ke tengah masyarakat sesungguhnya belum melalui pengkajian yang mendalam. Kita juga banyak menyaksikan beberapa statemen Mendikbud yang masih ‘gamang’ menanggapi ide yang beliau lontarkan sendiri. Di berbagai media Menteri selalu mengatakan “Saat ini, Kemendikbud tengah mematangkan rumusan tersebut agar bisa bersinergi dengan aturan lainnya. Tahun ajaran baru jadinya. Ini kami matangkan karena itu banyak Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah yang harus disinkronkan dulu,”.
Itu artinya, sesuatu yang belum matang dan belum mendapat kajian yang mendalam sudah dilontarkan ke publik. Akhirnya, masyarakat kebingungan dan panik. Sekolah mulai ‘keteteran’ terhadap sesuatu yang sesungguhnya belum dipersiapkan dengan matang. Hal ini tentunya sangat disayangkan.
Begitu juga halnya dengan Pendidikan Penguatan Karakter (PPK) yang terkait langsung dengan penerapan FDS. Harus diingat pula bahwa pendidikan karakter tidak harus dibentuk di sekolah sepanjang hari. Anak-anak bermain dengan tetangga sebelah rumahnya adalah contoh sederhana pembentukan karakter. Dia akan mengenali siapa orang-orang yang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya. Jika mereka menghabiskan hari di sekolah sepanjang hari, itulah yang membuat mereka tidak mengenali tetangga mereka sendiri. Dampaknya, terbentuklah generasi-generasi yang individualis.
Lebih miris lagi, karena konsep FDS ini terkesan ‘premature’ (lahir sebelum matang), maka isu ini sangat gampang ditarik ke mana-mana. Isu ini kemudian melebar sampai ke ranah politik dan konflik kepentingan (conflict of interest) berbagai golongan. Yang paling menghebohkan masyarakat saat ini, FDS dianggap akan mematikan madrasah atau Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ/TPA) yang selama ini diselenggarakan setelah anak-anak pulang sekolah. Jadilah FDS ‘bola’ liar yang ditendang ke sana ke mari sesuai ‘nafsu’ masing-masing. Miris!
Bagaimana dengan psikologi anak? Bisa dibayangkan apa yang terjadi anak-anak belasan tahun berada di sekolah dari jam 7.30 hingga 16.00. Mereka berada di sana dengan kawan-kawan yang sama, guru yang sama, aktivitas yang sama. Lebih lagi, pernahkah pemerintah (Kemendikbud) betul-betul melihat sekolah-sekolah yang ada saat ini? Apakah fasilitas sekolah sudah terpenuhi untuk melaksanakan kebijakan ini? Hal yang paling sederhana, apakah kamar mandi atau WC sekolah sudah memenuhi standar kesehatan bagi anak-anak? Saya sangat yakin, sebagian besar sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar. Bayangkan saja, anak-anak akan ‘dipenjara’ selama 8 jam dengan lingkungan yang membuat mereka stress. Tidak menutup kemungkinan, akan terbentuk generasi bangsa yang berkarakter stress!
Akhirnya, wacana ‘full day school’ yang sedang dihebohkan saat ini sesungguhnya masih sangat ‘premature’, dilahirkan sebelum umurnya. Kebijakan yang ‘mentah’ dapat dipastikan akan menuai ‘badai’ perlawanan. Boleh jadi bukan FDS-nya yang jadi persoalan tapi konsep, perencanaan dan pelaksanaannya yang belum matang. Seyogyanyalah, kebijakan-kebijakan yang menyangkut khalayak, harus dimatangkan sebelum kemudian di-share ke publik. Semoga.
#BNODOC16414062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post