Oleh: Bahren Nurdin, MA
Sejak diwacanakan oleh Meteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) beberapa waktu lalu, ‘full day school’ mencuat menjadi isu pendidikan di tanah air hingga saat ini. Argumentasi dan tanggapan pun beragam. Pro dan kontra tercipta. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah ‘full day education’ ketimbang ‘full day school’.
Logikanya sederhana, bahwa pendidikan didapat tidak harus di sekolah. Sekolah hanyalah salah satu tempat menimba ilmu. Ingat, salah satu. Itu artinya masih ada tempat-tempat lain yang juga dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan. Pepatah minang mengatakan ‘alam takambang jadi guru’. Alam itu adalah ayat-ayat Allah (kauniyah) yang juga merupakan ‘sekolah’ bagi siapa saja.
Itulah kemudian kita mengenal istilah pendidikan formal dan informal. Perlu dicatat bahwa kedua-dua pendidikan ini dapat dipastikan akan sangat berkontribusi terhadap pembentukan karakter dan kehidupan para peserta didik. Maka perlu pula keseimbangan.
Juah sebelum istilah ‘full day school’ dimunculkan, saya rasa konsep ‘belajar penuh hari’ ini sudah lama dipraktekkan di tengah masyarakat, khususnya bagi kami generasi yang terlahir sebelum tahun 2000-an. Jika ditelusuri, saya juga salah satu generasi yang pernah merasakan pendidikan ‘penuh hari’ tersebut tapi bukan dengan konsep ‘full day school’ yang notabenenya sepanjang hari di sekolah. Sekali lagi, pendidikan itu tidak harus di sekolah.
Saya ingin mereview bagaimana kami anak-anak pampung melewati masa-masa sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Memang tidak di sekolah sepanjang hari, tapi sepanjang hari kami ‘bersekolah’. Sekolah formal dihabiskan waktu dari pagi hingga siang (13.00). Di sinilah kemampuan kognitif diasah bersama guru dan teman-teman. Belajar membaca, menulis, berhitung dan kepandaian-kepandaian akademik lainnya.
Sepulang sekolah langsung ke rumah untuk ganti seragam, shalat zuhur dan beristirahat. Waktu istirahat ini biasanya diisi dengan berbagai aktivitas masing-masing. Ada yang membantu orang tua dan ada pula yang memanfaatkannya untuk tidur siang. Boleh juga dipergunakan untuk mengulang pelajaran sekolah dengan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan oleh guru.
Sebagai anak petani, saya biasanya memanfaatkan waktu luang ini untuk membantu orang tua di ladang (kebun karet) atau di sawah. Jika padi sedang terhampar, bisa membantu orang tua menghalau burung yang menyamun. Jika lagi musim tanam, bisa dengan membantu mencabut bibit (semai). Dan berbagai pekerjaan yang sebenarnya tidak begitu berat bagi anak-anak.
Membantu orang tua mengerjakan pekerjaan-pekerjaan semacam ini adalah pendidikan (education). Sering sekali, saya mendapat nasehat-nasehat orang tua yang terus teringat dan menjadi bimbingan dalam hidup disampaikan saat-saat semacam ini. Interaksi antara anak dan orang tua terjalin sangat baik. Anak dapat pula memahami kondisi kehidupan orang tuanya. Belajar kerja keras hingga terbentuk mental-mental yang tidak mudah menyerah.
Pukul 13.30 sudah harus siap-siap ke madrasah untuk belajar ilmu pengetahuan agama Islam. Di madrasah kembali berkumpul dengan kawan-kawan untuk mempelajari ilmu agama, dari belajar tauhid, fiqh, sejarah islam, hingga menulis dan membaca Bahasa Arab. Madrasah berakhir pukul sekira 16.30 atau pukul 17.00.
Rutinitas dilanjutkan dengan memasukkan hewan ternak ke kandang. Ayam, sapi, kambing, domba dan lain-lain sudah harus masuk kandang sebelum azan Magrib menggema. Anak-anak disibukkan dengan hewan ternak masing-masing. Sepuluh menit sebelum waktu azan magrib berkumandang, semua anak-anak sudah berada di masjid atau di tempat mengaji Al-Quran. Istilah yang digunakan saat ini adalah ‘pengajian antara magrib dan isya’ (pami).
Dulu kami menyebutnya ‘mengaji malam’. Ya, tidak hanya sebatas antara magrib dan isya tetapi hingga pukul 21.00 malam. Mengaji malam tidak hanya sekedar bisa membaca Al-Quran tetapi juga belajar tajwid, shalat, memandikan jenazah, barzanggi, dan lain sebagainya. Inilah pembentukan kecerdasan spiritual (spiritual quotient) ditanamkan.
Sekali lagi, dilihat dari rutinitas di atas, kami telah melaksanakan pendidikan penuh hari. Semua yang dilakukan sepanjang hari, dari pagi hingga kembali tidur di malam hari, adalah pendidikan. Semua aktivitas yang dilakukan mengandung unsur edukasi yang baik. Lantas apa bedanya dengan ‘full day school’? ==Bersambung.
#BNODOC16313062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post