Akhir-akhir ini rakyat tanah air diributkan oleh satu orang yang bernama Ahok. Tidak tanggung-tanggung, Ahok ‘berhasil’ membuat ummat Islam turun ke jalan dalam jumlah yang fantastis; jutaan. Bahkan ada yang menyatakan demo terbesar di sepanjang sejarah Indonesia. Maka tidak salah pula saya menyebutnya sebagai fenomena atau fenomenal yaitu sesuatu yang luar biasa.
Mengapa Ahok begitu fenomenal? Jawabannya sederhana, karena mulutnya yang kasar dan menistakan. Mengapa kata-kata yang keluar dari mulut Ahok begitu menjadi perhatian? Karena Ahok adalah seorang pemimpin. Dia adalah seorang Gubernur DKI Jakarta. Dia seyogyanya menjadi panutan masyarakat luas dari segala sisi; ucapan dan perbuatan. Apa pun alasannya, seorang pemimpin seharusnyalah tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti siapa pun. Apa lagi merendahkan dan menistakan.
Maka, fenomena Ahok ini seharusnyalah menjadi pelajaran bagi siapa saja, di mana saja terutama ketika berbicara kepemimpinan. Memang tidak ada pemimpin yang sempurna, tapi tidak boleh juga ditorelir pemimpin-pemimpin yang memiliki mulut ‘busuk’. Para pemimpin di berbagai tingkatan kepemimpinan seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, rektor, dekan, dll tidak boleh dengan seenaknya mengumbar kata-kata yang menyakiti hari orang lain, apa lagi dengan maksud merendahkan dan menistakan.
Pelajaran yang dapat diambil adalah sebaiknya orang-orang (atau calon-calon pemimpin) seperti Ahok tidak perlu diberi kesempatan untuk memimpin. Dia akan menimbulkan kerusakan terhadap orang dan sistem yang ia pimpin. Maka dari itu, masyarakat berperan penting untuk ikut menentukan. Artinya, jika di level presiden, gubernur, bupati, kades dll masyarakat harus berani mengatakan tidak untuk tidak memilih pemimpin seperti ini.
Di level kampus juga berlaku hal yang sama. Jika ada di kampus calon dekan, calon rektor, calon wakil rektor dan calon pejabat lainnya yang memiliki tabi’at seperti Ahok (sekali lagi jika ada) maka anggota senat harus berani mengatakan tidak. Artinya, anggota senat juga harus mengetahui tabi’at-tabi’at calon pemimpin kampus yang diusung (track record).
Agaknya, masyarakat juga mulai menyadari bahwa saat ini pemimpin yang dibutuhkan rakyat tidak hanya yang mengandalkan kepintaran dengan gelar-gelar akademik yang tinggi. Kecerdasan intelektual dibutuhkan, tapi kecerdasan sosial juga sangat diperlukan dalam hal kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak bisa membanggakan gelar luar negeri yang dia miliki untuk merendahkan semua orang yang dia pimpin. Kesuksesan seorang pemimpin juga ditandai oleh seberapa mampu ia bekerja sama dengan orang lain; tidak merasa hebat sendiri.
Sekali lagi, terpilih atau tidaknya Ahok nanti menjadi Gubernur DKI Jakarta sangat ditentukan oleh masyarakat Jakarta sendiri. Masyarakatlah yang memiliki peran penting sebagai penentu. Begitu juga di dalam kampus ini, pemilihan rektor ke depan sangat ditentukan oleh anggota senat yang ada. Akankah kampus ini memilih rektor yang bertabiat seperti Ahok? Yakinlah, anggota senat pasti lebih cerdas dalam menentukan pilihan.
Terakhir, tulisan tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Tidak pula tertuju kepada siapa pun. Konteks tulisan ini adalah memenuhi perintah Allah untuk saling mengingatkan (tawasi) dan mengambil pelarajaran dari setiap kejadian. Tidak ada salahnya belajar dari fenomena Ahok. Allahu’alam.
Discussion about this post