Sudah sampai di mana demokrasi kita hari ini? Maju? Mundur? Atau, jalan di tempat? Tentunya jawaban pertanyaan ini sangat tergantung perspektif masing-masing. Dapat diyakini setiap sudut pandang akan menghasilkan jawaban yang berbeda. Dan, saya rasa tidak pula perlu menyamakan sudut pandang untuk mendapat jawaban yang sama karena di dalam dunia demokrasi berbeda pendapat itu adalah sebuah keniscayaan.
Untuk menjawab pertanyaan ‘sudah sampai di mana’, tentunya diperlukan alat ukur. Itulah persoalannya. Alat ukur apa yang bisa dipakai untuk menentukan sudah sejauh mana perjalanan demokrasi bangsa ini. Agar tidak ‘mumat’, kita ambil yang sederhana-sederhana saja dan menggunakan pemahaman yang paling populer di tengah masyarakat. Demokrasi itu diartikan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).
Jadi, alat ukurnya adalah kekuasaan yang dipegang oleh rakyat. Rakyatlah yang memiliki kekuatan terpuncak untuk menentukan nasib mereka sendiri melalui sistem yang telah dibangun (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Intinya rakyat!
Rakyatlah yang memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan ‘jalan’ hidup mereka sendiri melalui demokrasi. Jika begitu, demokrasi adalah alat atau mekanisme yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Apa sebenarnya tujuan yang hendak dicapai? Jelas, ‘goal’ utamanya adalah mencapai kehidupan rakyat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur dengan mengutamakan nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
Pertanyaan selanjutnya, sudahkah demokrasi membawa rakyat republik ini mencapai tujuan itu? Bisa ‘yes’, bisa pula ‘no’. Saya hanya ingin menyampaikan, karena demokrasi kita sedang berproses, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari tujuan-tujuan mulia yang hendak dicapai melalui demokrasi itu masih merupakan fantasi atau mimpi besar yang masih berwujud dalam angan. Sekali lagi, berwujud dalam angan!
Tanpa menafikkan kehebatan demokrasi dalam menyatukan suara rakyat demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah sayap Garuda dan Nilai Luhur Panca Sila, menghimpun begitu banyak perbedaan bahasa, suku, ras, agama dan antar golongan, memberi kebebasan dalam menentukan pemimpin-pemimpin bangsa ini, agaknya rakyat kita masih masih menghadapi realita-realita pahit kehidupan.
Untuk mencapai kehidupan rakyat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur dengan mengutamakan nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran, masih diganggu dengan segala problematika yang terkadang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Contoh nyata, politik uang (money politic). ‘Money politic’ adalah sebuah mimpi buruk demokrasi yang menjadi ‘virus’ ganas pemberangus kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran yang hendak dicapai. Bagaimana mungkin tujuan-tujuan mulia ini akan tercapai jika pemimpin yang terpilih merupakan hasil ‘money politic’. Sudah dapat dipastikan pemimpin yang terpilih akan berorientasi pada harta dan kekuasaan. Rakyat dilupakan!
Buktinya? Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pun panen kepala daerah dan pejabat yang dengan riang gembira ‘pesta pora’ duit rakyat yang sebenarnya diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran tersebut. Hitung saja, berapa banyak pemimpin negeri ini, dari tingkat kepala desa hingga menteri, yang diciduk KPK. Berapa triliun rupiah hasil tangkap tangan. Dan…entah berapa banyak lagi yang tidak tertangkap dan terungkap!
Hal-hal semacam inilah yang saya sebut dengan istilah ‘fantasi demokrasi’. Menggunakan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, fantasi itu diartikan gambar (bayangan) dalam angan-angan; khayalan. Ya, saya ingin mengatakan, jika kita sepakati bahwa demokrasi itu sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, maka dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, ia baru berupa angan-angan atau khayalan.
Masih terlalu banyak dan komplek persoalan bangsa ini yang masih terlalu manis untuk ‘khayalkan’ tapi terlalu pahit dalam kenyataan. Kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan murah, pemimpin jujur, pemerintahan bersih, layanan publik cepat, kriminal minim, kemiskinan menjauh, pengangguran nihil, rumah sakit menyehatkan, infrastruktur subur dan lain sebagainya. Masih bermimpi!
Akhirnya, tetap optimis tanpa harus menutup mata! Demokrasi kita sedang berproses, ya. Tapi, tidak dapat dipungkiri pula, dengan segala fakta dan realitas sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan (sistem ketatanegaraan) yang kita hadapi hari ini, tidak salah bahwa kita sedang berfantasi. Harapan akan kesejahteraan dan kemakmuran itu baru sebatas dunia khayal. Itulah, ‘fantasi demokrasi’!
Discussion about this post