Beberapa waktu lalu, untuk mengisi waktu yang ‘melelahkan’ menunggu dosen pembimbing, saya ‘utak atik’ youtube.com. Masuknya dari sejarah RI sampailah pada film G 30 S PKI. Singkat cerita rindu juga film ‘sejarah’ yang dulu waktu zaman masih sekolah pasti ditunggu-tunggu kedatangannya karena diputar hanya setahun sekali (setiap tanggal 30 September). Tentu tidak semudah sekarang untuk mengakses film-film semacam ini. Syukurlah saat ini kemajuan teknologi telah mendekatkan kita pada banyak hal terutama kemajuan dan hal-hal yang positif, insya Allah.
Menonton film G 30 S PKI, mungkin anda akan langsung berteriak “‘wah itu film boongan..!”. “Itu film akal-akalan Soeharto..!”. “Wah itu pembelokan sejarah..!” dan seterusnya. Tapi bagi saya (kemudian setelah menonton film ini lagi hehehe…), terlepas dari kontroversinya, ada dua hal penting yang menrik perhatian yaitu ‘fakta’ versus ‘sejarah’. Saya kemudian sebenarnya tidak ingin membahas film ini tapi hanya menjadikannya sebagai contoh kasus bahwa di sini ada ‘fakta’ yang tidak sama dengan ‘sejarah’.
Adalah fakta bahwa beberapa jenderal dibunuh. Fakta karena ada bukti konkret berupa nama, keluarga, jenazah, visum dokter (yang baru saja dirilis indoleaks.org walau kebenarannya masih dipertanyakan), dan makam mereka. Ini fakta! Tetapi kejadian mengenai gerakan yang bernama Gerakan 30 September yang telah membuat beberapa jenderal menjadi korban tersebut adalah sejarah. Jalan ceritanya itulah yang disebut sejarah. Dan sayangnya sejarah itu diciptakan, ditulis, dan didesign. Maka sejarah itu sangat subjektif. Dan siapa yang paling tahu tentang kejadian yang sebenarnya? Bagaimana mereka dibunuh, disiksa, ditembak, diangkat ke mobil, dst? Diyakini tidak akan ada satu orang pun yang tahu persis (tidak juga Soeharto). Ini secara alamiah dapat dipastikan karena kita tidak akan mampu berada pada waktu yang sama di tempat yang berbeda.
Agaknya begitu pulalah kehidupan kita sehari-hari. Adalah fakta bahwa kita telah terlahir, memiliki orang tua, keluarga, jabatan, rumah, kendaraan dan sebagainya. Itu fakta kehidupan. Tapi siapa yang tahu persis jalan cerita kehidupan kita? Inilah sejarah, yang jalan certanya sering kali dipenuhi oleh dramatisasi dan manifulasi.
Contoh lain, saya malah teringat kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ‘persilatan’ akademis. Baru-baru ini di sebuah perguruan tinggi ternama di dunia antah barantah, sang rektornya berkoar–koar pentingnya pemberantasan plagiat di kalangan dosen dan mahasiswa. Inilah bentuk lain dari penjelmaan ‘fakta’ versus ‘sejarah’ dalam kehidupan akademis. Tidak `tangung-tanggung ternyata para ‘perwira’ (setingkat Master dan Doktor) dan ‘Jenderal’ (professor atau guru besar) terindikasi melakukan kejahatan yang disebut plagiat. Adalah fakta bawah mereka telah menyelesaikan S1, S2, dan S3 dengan menulis skripsi, tesis, dan desertasi. Itu fakta. Tapi jalan cerita penulisannya adalah sejarah. Hanya merekalah yang paling tahu bagaimana jalan cerita itu dibuat. Maka biarkan sang waktu yang berbicara. Waktu akan membuktikan bahwa jalan cerita yang melewati jalan pintas dan menempuh cara-cara tidak pantas lambat laun akan terkuak juga.
Akhirnya, fakta kehidupan sudah nyata ada. Tapi sejarah kehidupan tergantung bagaimana anda menciptakannya. Karena sifatnya sangat subjektif, maka jalan ceritanya sepenuhnya diserahkan kepada anda sendiri untuk menyusunnya.
Malaysia 16 Desember 2010
Discussion about this post