Pelaksanaan pemilihan umum (PEMILU) 2009 tinggal menghitung hari. Ibarat perhelatan pertandingan olah raga semua atlit harus disiapkan sebelum pertandingan dimulai. Begitulah para partai saat ini mempersiapkan kadernya untuk bertarung memperebutkan kursi kekuasaan dari kursi presiden (RI 1) hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik pusat mau pun daerah. Salah satu bentuk persiapan tersebut adalah dengan memperkenalkan diri ke tengah masyarakat khusunya bagi para calon ’atlet’ yang akan turun gunung.
Beberapa bulan terakhir ini saya berkesempatan berkunjung ke beberapa kota dan provinsi di Pulau Sumatera diantaranya Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Sungguh sangat mengejutkan ternyata di seluruh kota-kota yang saya lewati memiliki persamaan yaitu memiliki studio jalanan. Apa yang saya maksudkan dengan studio jalanan adalah terdapatnya foto-foto berbagai ukuran yang dipajang di pinggir jalan, khusunya di perempatan jalan. Saya katakan studio jalanan karena sepintas lalu jalan tersebut tak ubahnya seperti studio foto yang biasanya memajang contoh-contoh ukuran foto yang di kehendaki oleh konsumen.
Di kota jambi sendiri contohnya, silakan anda iseng-iseng berdiri di perempatan lampu merah Simpang Rimbo menghadap ke arah Palembang atau ke arah Padang, maka di hadapan anda akan terpampang tidak kurang dari dua puluh foto berbagai ukuran dan warna. Berukuran dari yang kecil sampai yang paling besar menandingi baliho iklan mobil truck di hadapannya. Foto-foto tersebut adalah foto para calon legislatif dari berbagai partai yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu 2009. Siapa mereka-mereka yang memasang foto ini? Saya yakin 90 % dari anda tidak mengenali mereka.
Foto-foto ini kemudian didisain sedemikian rupa dengan berbagai latar belakang (backround / siluet) agar tampak cantik dan gagah. Sebagian besar mereka memasang tokoh nasional pendiri partai yang mengusung sang calon, ayah sendiri, dan ada juga yang memakai tokoh pahlawan seperti Sulthan Thaha. Begitu juga bahasa yang digunakan pada foto-foto tesebut relatif beragam dari bahasa Indonesia hingga bahasa daerah Jambi. Foto-foto ini kemudian diikuti oleh kata-kata yang provokatif mengobarkan semangat nasionalisme dan perjuangan. Saya mencatat beberapa kata ’pemikat’ di antaranya ”Saatnya Putera Daerah Mengabdi”, Izinkan Saya Mewakili Masyarakat…….,” ”Hidup Adalah Pengabdian”, ”Membangun Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik”, ”Untuk Rakyat Jambi”, dan seterusnya.
Melihat fenomena ini, ada pertanyaan mendasar yang keluar dari lubuk nurani yaitu siapa mereka ini? Selama ini kita tidak pernah mendengar nama mereka disebut. Kita tidak pernah bertemu mereka dalam acara-acara tertentu. Tidak pernah mendengar mereka berbuat untuk kemaslahatan ummat (masyarakat) bahkan gotong royong pun tidak pernah ikut, tiba-tiba mereka muncul di hadapan kita dengan foto-foto yang (terkadang) jauh lebih gagah dan cantik daripada aslinya. Jika suatu ketika bertemu dengan yang punya foto hampir tidak bisa dikenali karena foto mereka jauh lebih cantik/gagah. Latas kemudian kita mempertanyakan apakah dengan hanya memasang foto-foto tersebut dianggap sosialisasi untuk kepentingan rakyat. Jika jawabannya adalah ya maka tentu ini adalah sebuah kekeliruan besar.
Sesungguhnya bukan foto-foto yang besar untuk memperkenalkan dan mengabdikan diri kepada masyarakat tapi dangan bukti nyata terjun ke tengah masyarakat tersebut, tentu tidak hanya bulan-bulan sebelum pemilu tapi adalah perbuatan sehari-hari mereka di tengah masyarakat. Bahkan lebih menyedihkan lagi banyak diantara mereka yang mengaku putera daerah Jambi dua bulan sebelum pemilu ini, sebelumnya mereka menghabiskan waktu diperantauan dan membangun negeri orang. Banyak di antara mereka yang berdomisili dan membangun bisnis di Jakarta kemudian pulang ke Jambi dengan mengaku putera daerah Jambi dan mencalonkan diri menjadi anggota dewan mewakili rakyat Jambi. Mengambil contoh pada perode-periode sebelumnya, banyak anggota dewan dari daerah pemilihan (dapil) Jambi yang jarang menginjakkan kaki ke Jambi sejak terpilih. Jika demikian jadilah Jambi sebagai bahan jualan politik mereka belaka. Belum lagi jika kita mencoba mempertanyakan apa kontribusi nyata untuk rakyat Jambi selama mereka menjadi wakil di Jakarta?
Pertanyaan selanjutnya adalah untuk siapa? Secara kasat mata sebenarnya dapat dilihat mereka berjuang untuk siapa. Hampir semua calon legislatif (caleg) yang memasang gambar di pinggir jalan tersebut menjadikan tokoh dan lambang partai sebagai backgroung foto-foto mereka. Dari sini sudah jelas bahwa sebenarnya mereka maju berjuang menjadi anggota dewan bukan untuk kepentingan rakyat tapi adalah partai meraka sendiri. Jadi jika ada kata-kata seperti ”Untuk Rakyat…, Menabdi untuk rakyat” sudah dapat dipastikan sebuah lips service belaka (bahasa jambinya; ngenak-ngena’i bae). Lagi-lagi dalam hal ini rakyat menjadi komoditi (bahan jualan) politik para politikus bangsa. Rakyat terjual oleh bangsanya sendiri (diatasnamakan).
Terjualnya rakyat sebenarnya bukan lagi hal yang lagka di negeri ini. Ajang pemilihan umum adalah wadah yang dianggap paling tepat untuk ’menjual’ hak hidup rakyat. Kemiskinan, pendidikan, kesehatan, perumahan, selalu dijadikan komoditi politik pada setiap perhelatan pemilihan umum baik nasional maupun lokal (pilkada). Hal-hal ini menjadi janji-janji politik yang manis dan menggiurkan. Namun setelah pelaksanaan pemilu rakyat kembali pada kenyataan pahit bahwa mereka masih tetap miskin, tidak sekolah, tidak ada rumah, penggusuran, minyak tanah mahal, dan tidak bisa berubat ke rumah sakit karena tidak ada uang. Dan anggota dewan (atau pimpinan daerah) yang mereka pilih sibuk memperkaya diri dengan berbagai korupsi. Lantas untuk apa pemilu?
Pertanyaan ini tentunya adalah pertanyaan yang tidak selalu mudah untuk dijawab, untuk apa pemilu? Jika dilihat kenyataan hari ini, dan pilkada di daerah-daerah di seluruh Indonesia, pemilu (juga pilkada) tidak lebih dari sebuah mekanisme untuk menunjuk dan memilih orang-orang tertentu untuk memperkaya diri dan memperbesar peluang korupsi (tentu tidak semua tapi hampir sebagian besar terbukti koruptor). Jadi dilihat dari sisi ini pemilu belum bisa kita katakan sebagai ajang demokrasi dari rakyat dan untuk rakyat tapi dari rakyat (pemilu) untuk pemimpin, dari pemimpin untuk diri sendiri (kroni dan golongan). Ini menyedihkan karena sesungguhnya pemilu adalah media untuk menentukan pemimpin raknyat atau orang yang mewakili suara raknyat. Sekali lagi rakyat dijual pada saat kampanye, kemudian dibohongi ketika berkuasa, dan dilupakan demi kepentingan partai dan golongan tersebut. Haruskah kita mempercayai mereka?
Jika boleh jujur rasanya rakyat negeri ini sudah terlalu letih dijadikan komuditas politik yang diperjual belikan, dimiming-imingi dan seterusnya ditipu. Namun rakyat tetaplah rakyat yang selalu berada pada posisi tawar yang lemah. Kekecewaan terkadang hanya bisa diterima dengan lapang dada dan menjadi penonton berita televisi atas prilaku busuk para pejabat negara yang mereka pilih sendiri. Menonton wakil mereka yang tertangkap tangan menerima uang sogok di Jakarta. Menonton pemimpin mereka yang duduk di kursi pesakitan. Menonton laporan-laporan proyek pembangunan yang tidak pernah tuntas.
Berkaca pada kenyataan-kenyataan pahit ini sepantasnyalah kita, rakyat Jambi, mempertanyakan makna foto-foto yang dipajang di pinggir jalan saat ini. Haruskah rakyat kembali tertipu hanya karena fotonya bagus atau partainya besar atau mereka bersalaman dengan pemimpin nasional. Seyogyanya masyarakat harus lebih cerdas membaca ini semua. Jangan lagi ukuran foto yang dipajang yang menjadi tolok ukur untuk memilih mereka karena sesungguhnya foto-foto tersebut tidak lebih dari eforia politik. Kita harus mampu membaca apa yang telah mereka buat (track record), dan komitmen (visi misi nyata dan masuk akal). Selamat memilih.
[*] Mahasiswa pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia, Dosen IAIN STS Jambi
Discussion about this post