Oleh: Bahren Nurdin, MA
“Maksud saya bukan begitu. Saya tidak berniat menyinggung atau menyakiti siapa pun”. Itu kalimat yang paling sering kita temukan sebagai klarifikasi atas interpretasi yang dilakukan oleh para penduduk net (netizen) terhadap suatu tulisan atau gambar-gambar yang dimunculkan. Artinya, telah terjadi kesalahpahaman antara yang ‘mengucapkan’ (atau penulis) dengan para pendengar (atau pembaca) terhadap ucapan (atau tulisan) yang diposting di berbagai media sosial akhir-akhir ini.
Fenomena ini semakin menarik karena ada pula yang berakhir di meja hukum. Saling lapor polisi. Interpretasi yang bebas dan liar tersebut dicoba untuk dimaknai secara formal pada ranah hukum positif. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjerat setiap saat. Ditambah lagi, interpretasi dan asumsi-asumsi itu ditarik sedemikian rupa ke ranah politik dan kepentingan. Runyam!
Menanggapi fenomena tersebut, ada hubungan yang menarik untuk dicermati antara bahasa dan media sosial. Bahasa adalah ‘tool’ utama dan paling banyak digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa itu dapat dibagi dua; verbal dan non-verbal. Dalam konteks ini, saya ingin mendiskusikan bagaimana bahasa-bahasa yang digunakan dalam bermedia sosial mampu meciptakan diskursus-diskursus (discourse).
Diskursus diartikan sebagai rasionalitas, pertukaran ide; gagasan secara verbal (bahasan); pengungkapan pemikiran secara formal dan teratur (wacana), atau cara mengorganisasi pengetahuan, pemikiran, atau pengalaman yang berakar dari bahasa dan konteksnya yang nyata. (kbbi.kemdikbud.go.id). Perlu dicatat, terdapat kaitan yang sangat erat antara ‘bahasa’ dan ‘konteks’nya.
Dalam bukunya “Discourse Analysis: A Resource Book for Students” (2012), Rodney H. Jones memberikan penjelasan yang sangat menarik tentang bahasa. Dikatakannya bahwa ‘Language is based on four main assumptions’. Pertama, Language is ambiguous. What things mean is never absolutely clear. Kata dan bahasa yang terucap tidak pernah benar-benar memiliki satu makna. Itulah yang dimaksud dengan ambigu yaitu bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidak jelasan, dan sebagainya); bermakna ganda; taksa (http://kbbi.web.id).
Inilah yang sangat sering terjadi pada dunia sosial. Banyak yang tidak menyadari hal ini sehingga orang sering terjebak dengan berbagai asumsi dan interpretasi terhadap ucapan-ucapan yang dilayangkan. Begitu juga halnya dengan bahasa non-verbal berupa gambar-gambar. Sebuah gambar bisa saja memiliki beribu makna. Apa yang dimaksud oleh pengunggah gambar dapat dipastikan tidak akan sama dengan apa yang ada di dalam ‘benak’ orang yang melihat gambar tersebut. Meraka akan menterjemahkan atau memaknai gambar-gambar tersebut sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Celakanya, masing-masing orang memiliki kehendak dan kepentingan yang berbeda-beda. Dapat dibayangkan kemudian apa yang terjadi terhadap sebuah ucapan atau gambar yang diberi ‘bumbu’ beragam ‘rasa’; pasti ‘maknyos’. Secara terus menerus ‘digoreng’, ‘dipanasin’, ‘dikomporin’ dan ‘diaduk-aduk’ akhirnya ‘hangus’! Jadilah kekacauan, hiruk-pikuk, ketegangan, adu domba, pertengkaran, perpecahan, dan lain sebagainya.
Bagaimana menyikapi hal ini? (Bersambung)
#BNODOC18908072017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post