Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Kesatu; Language is ambiguous. What things mean is never absolutely clear. Ucapan dan gambar yang diunggah ke media sosial bisa saja memiliki beribu makna. Apa yang dimaksud oleh pengunggah gambar dapat dipastikan tidak akan sama dengan apa yang ada di dalam ‘benak’ orang yang melihat gambar tersebut. Meraka akan menterjemahkan atau memaknai gambar-gambar tersebut sesuai dengan kehendak mereka sendiri.]
Kedua, Rodney H. Jones kemudian menjelaskan pada buku “Discourse Analysis: A Resource Book for Students” (2012) tersebut bahwa Language is always in the world. That is, what language means is always a matter of where and when it is used. Pada konteks media sosial, bahasa (juga gambar) itu juga hanyalah persoalan ‘dimana’ dan ‘kapan’. Artinya, dua hal ini akan memberi makna sangat berarti terhadap suatu perkataan atau gambar-gambar yang berada di media sosial.
Bahkan, ‘tempat’ dan ‘waktu’ tidak hanya sekedar memberi ‘meaning’ (makna) tapi sampai pada persoalan etika; pantas tidak pantas. Sangat mudah untuk menemukan beberapa kasus yang kemudian membuktikan bahwa ‘tempat’ dan ‘waktu’ pengunggahan foto-foto selfie (swafoto) yang menjadi kehebohan masyarakat dunia maya. Bukan fotonya yang salah, tapi ‘timing’-nya yang tidak pas.
Sebagai bukti kita ambil saja contoh kasus dari beberapa yang diwartakan oleh liputan6.com, “Selfie sepasang kekasih menuai kritik karena mengambil foto di depan kebakaran sebuah hotel di Dubai. Bahkan, dalam foto yang diunggah tersebut, ia menyebut kebakaran itu sebagai kembang api terbesar”. Ada juga seorang petugas pemadam kebaran yang mengunggah fotonya saat kebaran terjadi, “Meski tak jelas kapan peristiwa kebakaran terjadi, jelas terlihat pria ini tengah mengambil foto di depan rumah yang tengah dilalap api. Hal itu membuat foto ini masuk dalam daftar foto selfie terlarang yang tak pantas”.
Begitu juga halnya dengan ‘waktu’ yang sangat menentukan makna dari bahasa yang dilontarkan di media sosial. Boleh jadi bahasa yang ditulis atau foto yang diunggah biasa saja dan bahkan juga banyak diunggah sebelumnya. Namun, jika hal itu dilakukan pada saat yang tidak tepat, ia akan memiliki makna lain dan berakibat buruk bagi diri pengunggah maupun orang lain.
Hal ini juga terlihat dari beberapa kasus yang mencuat dalam pemberitaan. “Sekelompok dokter bedah di Xi’an, China, ber-selfie di tengah-tengah proses operasi. Tak pelak, aksi tersebut menuai kecaman di berbagai jejaring sosial” (harianterbit.com). Waktunya tidak pas. Pada saat darurat seperti itu bukan waktu yang tepat untuk selfie apa lagi dengan wajah-wajah cerita dengan latar belakang pasien yang sedang sekarat. Dan, masih banyak contoh-contoh lainya.
Maka dari itu, saatnya para warga dunia maya harus cerdas dalam bermedia sosial sehingga tidak sampai membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sudah saatnya memahami bahwa ‘Language is ambiguous yang memiliki banyak tafsir dan pemaknaan. Harus diingat pula bahwa tempat dan waktu pengucapan kata-kata (status-status medsos) dan foto-foto yang diunggah sangat menentukan makna yang disampaikan. Maka dari itu masyarakat harus memiliki ilmu dan kebijaksanaan untuk hidup di dunia sosial. Jangan sekedar hidup!
Ketiga, The way we use language is inseparable from who we are and the different social groups to which we belong. Kelompok sosial ternyata sangat berkontribusi menentukan makna kata-kata dan foto-foto yang diunggah. Seorang pejabat mengunggah suatu foto akan berbeda maknanya dengan masyarakat awam walau pun foto yang diunggah kontentnya sama. (bersambung)
#BNODOC19009072017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post