Calon anggota Dewan Perwakilan Raknyat (DPR) RI/D atau yang lebih dikenal dengan sebutan calon legislatif (caleg) tidak lama lagi akan segera bermunculan dari berbagai penjuru. Tahun 2019 adalah tahun politik bagi kaum politisi untuk merebut hati rakyat agar bisa ‘ngantor’ di gedung dewan yang terhormat baik di Senayan (Jakarta) maupun di daerah masing-masing.
Sebagai tanda-tandanya, lihat saja sebentar lagi akan muncul ‘studio perempatan’. Foto-foto akan dipajang dengan berbagai pose. Dari yang pakai sorban hingga menyandang cangkul di tengah sawah. Slogan-slogan indah pun akan berhamburan. Ada yang jadi penyair, ada pula yang mendadak ustadz dengan menggunakan ayat-ayat Allah, ada juga yang muncul sebagai motivator dengan menampilkan kata-kata motivasi, dan seterusnya. Itulah bagian dari politik pencitraan. Pokoknya rame!
Secara sederhana dan idealnya menjadi anggota dewan itu sangat mulia. Mewakili masyarakat untuk membela dan menyuarakan suara mereka. Rakyat kemudian memilih mereka dengan penuh pengharapan untuk diperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Jadi makna dari satu suara yang diberikan itu adalah amanah.
Jika ada dua ribuan suara yang memilih seseorang untuk duduk menjadi anggota dewan misalnya, itu artinya ada ribuan amanah yang diemban. Janji-janji politik yang diumbar saat meyakinkan para konstituen harus dipenuhi. Dan disitulah letak kemuliaan seorang anggota dewan ketika ia mampu melaksanakan amanah rakyat dengan baik. Itulah yang membuat ia terhormat dan mulia. Juga sebaliknya, seorang anggota dewan menjadi tidak terhormat jika setelah jadi ia lupa dengan rakyat apa lagi ‘menjelma’ menjadi perampok duit rakyat (koruptor).
Apa barometer seseorang layak menjadi anggota dewan? Menurut Guru Besar Filsafat UGM Joko Pitoyo, caleg yang baik dan pantas dipilih sedikitnya harus memiliki lima syarat. Di antaranya punya integritas moral, pengetahuan yang memadai tentang ke-Indonesiaan, kecakapan, penalaran pengetahuan umum luas, serta kecakapan dan keterampilan teknik legislatif (news.liputan6. com).
Lantas bagaimana mendapatkan anggota legislatif yang memenuhi kriteria ini? Pertama, memaksimalkan peran partai sebagai institusi pendidikan politik. Para anggota legislatif dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Maka partai politik memiliki peran strategis untuk menciptakan atau mendidik para calon anggota legislatif yang akan disodorkan kepada masyarakat untuk dipilih.
Saya yakin bahwa masing-masing partai politik memiliki seperangkat aturan baik yang ada pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai maupun aturan-aturan lainnya yang mengatur berbagai persyaratan seseorang bisa dicalonkan. Ini agaknya yang terkadang luput dari perhatian. Tidak bermaskud menjeneralisir, apa yang terjadi akhir-akhir ini sering partai politik ‘main comot’ saja. Pokoknya siapa saja yang mau bergabung dan memiliki modal, boleh mencalonkan diri. Seharusnya, caleg-caleg tersebut diikat dalam aturan partai yang ketat.
Seorang caleg misalnya, tidak bisa mencalonkan diri sebelum ia menjadi kader atau pengurus partai minimal lima tahun. Siapa pun dia, sebanyak apa pun modal yang ia miliki, betapa banyak pun pengalamannya di partai lain, tetap harus melewati mekanisme ini. Dengan cara ini seorang caleg akan memiliki waktu untuk berproses, belajar berpolitik, mematangkan diri, dan seterusnya. Caleg juga akan memiliki ‘sense of belonging’ (rasa kepemilikan) yang tinggi terhadap parpol tempat ia bernaung.
Kedua, melalui pendidikan dan pelatihan. Bersama-sama dengan partai politik, para stakeholder termasuk perguruan tinggi dan ormas-ormas bisa berkontribusi dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan. Mereka wajib diajarkan berbagai peraturan perundang-undangan, peran dan fusi sebagai anggota dewan, bersikap dan bertindak sebagai pejabat negara, dan lain sebagainya. Paling tidak pendidikan semacam ini memberikan bekal bagi mereka ketika duduk sebagai anggota dewan.
Para caleg juga harus memiliki ilmu pengetahuan tentang keberadaan seorang anggota dewan. Kita hanya khawatir bahwa sebagian besar dari mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota dewan hanya ingin mengejar jabatan dengan fasilitas yang menggiurkan. Jadi anggota dewan dapat mobil dinas, gaji besar, fee proyek, jalan-jalan ke luar negeri, rumah dinas, dan lain sebagainya. ‘Iming-iming’ ini sering membuat mereka lupa bahwa keberadaan mereka adalah untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Ada begitu banyak organisasi-organisasi penggiat pendidikan politik di tanah air. Di Yogyakarta misalnya, ada Organisasi Satunama yang telah menyediakan ‘Sekolah Politik’ bagi caleg. Di Provinsi Jambi, digagas oleh Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] juga telah meluncurkan program Pendidikan dan Pemantapan (DIKTAP) bagi caleg. Siapa pun boleh ikut. Berbagai materi telah disiapkan seperti mengenal tupoksi anggota DPR/D, Legislative Drafting, Kampanye dan Branding Politik, Wasbang, Pendidikan Antikorupsi, Public Speaking, Pendekatan dan Strategi Konstituen, dan lain-lain.
Dengan materi-materi ini dan diasuh oleh pemateri-pemateri profesional, calon anggota dewan benar-benar telah memiliki persiapan matang dan berkualitas untuk menjadi perpanjangan tangan masyarakat. Mereka dididik dan dimantapkan untuk melangkah ke Gedung Dewan. Jangan ada anggota dewan yang tidak bisa ngomong hanya karena tidak dibekali ilmu public speaking yang baik.
Akhirnya, yakinlah bahwa masyarakat sedang menanti calon anggota legislatif yang berkualitas untuk dipilih. Masyarakat harus disodorkan ‘barang bagus’. Untuk itu, semua stakeholder harus ikut andil dalam membentuk kualitas mereka. Dengan program DIKTAP yang diluncurkan, KOPIPEDE telah menunjukkan kiprahnya untuk berkontribusi. Semoga.
Discussion about this post