Oleh: Bahren Nurdin, MA
Saya budak dusun. Anak kampung yang berada pada ‘shifting time’ (masa perahilan). Istilah ini saya buat-buat saja untuk menjelaskan bahwa saya hidup di dua masa; gelap dan terang. Masa gelap yang saya maksud adalah zaman dimana listrik belum masuk kampung saya, dan masa terang adalah ketika tiang PLN mulai dipancangkan dan bohlam mulai bergelantungan. Saya menjadikan listrik sebagai penanda perubahan di dusun kami karena listriklah yang telah mengubah pola dan gaya hidup masyarakat.
Inilah catatan budak dusun menelusuri kisah-kisah ramadhan dalam ingatan masa lalu. Belum terlalu lama, namun cukup usang untuk dikenang. Saya tarik waktu medio tahun 1970 ke 1990. Saya lahir di tahun 1979 namun masih mendapatkan cerita-cerita ramadhan dari para tetua. Saya awali diari ini dengan menyaksikan apa yang terjadi ketika saya lahir. Kisahnya saya gambarkan melalui puisi berikut ini:
Catatan Pinggir Ketika Aku Lahir
Hari itu 30 Desember 1979
Entah karena kurang bulan atau tak cukup gizi
Bayi kerdil lahir mendekati mati
tidak ada inkubasi untuk panasi bumi
yang ada hanya botol air asam berisi air suam
derita bunda berakhir bahagia
walau cemas dan curiga, nyawa si sulung kembali pada-Nya
Tangis bayi itu pecah hingga ujung dusun
melalui lambaian niur menembus dinding pelupuh nan rapuh
memanggil ibu-ibu dusun tuk membawa sabun cuci dan minyak tanah
bersama doa di dalam asa,
semoga panjang umur wahai si kecil, kerdil
Senyum bunda berharap jua
bayi kecilnya kan mengukir dunia
terbang menembus mega dan membelah samudera
melintasi tapal batas bangsa dan negara
hingga berakhir di syurga, bersama bunda
bayi itu kini menulis
catatan pinggir ketika ia lahir bersama butir-butir sejarah
menyingkap suasana saat ia melihat dunia pertama
menyatukan masa yang membentang tiga dasa warsa.
Yang masih tercatat di lembar-lembar warta.
Aku, ia memanggil dirinya.
Saat itu, ia menyebut masa sewaktu ia dilahirkan.
Dusunku sama saja dengan Jakarta waktu itu
Ibu-ibu mencari kutu berjejer satu persatu
Bagai gerbong kereta api menjuju hulu
Sambil menetekkan bayi-bayi mereka tampa ragu
Tidak malu membuka susu di tengah umu.
Ibu-ibu tidak cerita politik
Karena politik tidak membuat perut kenyang
Politik hanya menggelitik bagi orang-orang yang suka panik
Memekik kadang mencekik
PDI pecah, PNI BARU mucul
Pecah rujuk pecah rujuk pecah rujuk
Celoteh politisi yang tidak ditemukan di kampungku
Cerita Afganistan entah indah entah petaka
Bersama lahirku ia tetap terbaca
Bersama sandiwara dan ranjau Komboja
Presiden digulingkan dan dibunuh soal biasa
Raknyat Komboja dan Afganistan meringkik jua
Entah siapa penjajah entah siapa patriot
Karena aku belum bisa membuka mata
1979: Kenangan, mungkin renungan
Teman-taman ayahku tiba-tiba unjuk rasa
Menghadap penguasa di gedung raya
Menutut hak, menuntut tanah
Gelombang protes petani penanda zaman yang mulai lali
Cerita zaman, cerita aku lahir
Video kaset baru mulai dipakai
Film jorok pun mulai masuk kamar, walau masih mahal
Karena di Lombok Pohon Turi masih berdaun
Menanti penanda kelaparan menyerbu datang
Bocah-bocah kecil tak berbaju menjadi santapan kamera pencari berita
Dijual, terkadang diperkosa, ditelanjangi, dipermalukan.
Lima hari sebelum aku bisa menghirup udara
Bumi sumatera dilanda gempa
Lima belas nyawa ikut serta
Diiringi segera orang-orang yang terluka
Pulau Buru nan jauh di sana
Kehilangan pujangga pencari makna
Blora berbangga kembali bersua maha putera
Menyambut bebasnya Pramoedya
Mungkinkah aku terlahir bagian dari kata
Akulah ”anak semua bangasa”
Catatan ini aku akhiri bersama waktu yang terus berlari
Membawa aku kian kemari, hingga detik ini
Catatan ini mungkin tak berarti
Namun aku telah memberi bukti pada bumi dan ummi
Karana aku tahu aku telah terlahir bersama catatan ini.
Bersambung…
#BNODOC14930052017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post