Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Kedua: mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Ramadhan di kampung kami ternyata memerlukan energi yang luar biasa. Hanya untuk menyiapkan perbekalan beras selama bulan puasa tersebut, masyarakat harus mempersiapkannya sebulan sebelumnya dengan memproses hasil panen secara tradisional dari padi (gabah) hingga menjadi beras. Sebulan sebelum Ramadhan datang, ‘kehebohan’ sudah sangat terasa]
Seperti halnya beras, kebutuhan-kebutuhan lain untuk dimasak nyaris tidak ada yang dibeli di pasar. Semua didapat dari hasil tani di ladang. Kebutuhan bumbu masak seperti cabai, kunyit, lengkuas, jahe, serai, daun salam, dan sayur mayor dipetik dari kebun mereka sendiri. Ini pun sudah harus disiapkan untuk menyambut Ramadhan. Rempah-rempah ini disiapkan sedemikian rupa sehingga ketika dibutuhkan pada saat Ramadhan tidak lagi perlu ke ladang. Jarak ladang cukup jauh dari perkampungan dan harus menyeberangi sungai Batang Hari.
Begitu pula dengan kebutuhan lauk pauk seperti ikan. Karena sungai belum tercemar seperti saat ini, ikan sangat mudah di dapat. Sungai-sungai atau danau-danau kecil di seputaran kampong selalu saja siap menyediakan pasokan ikan bagi masyarakat. Hanya dengan bermodalan pancing atau jaring, ikan-ikan sudah bisa dibawa pulang sesuai kebutuhan. Tidak jarang pula, demi mempersiapkan Ramadhan, masayarakat jauh-jauh hari telah mencari ikan dengan jumlah yang banyak. Ikan-ikan diawetkan dengan cara dijemur di terik matahari (ikan kering) atau dikeringkan menggunakan asap apa yang disebut ikan sale (salai).
Hanya beberapa kebutuhan saja yang harus mereka beli di pasar seperti gula, teh, kopi, minyak tanah (untuk lampu), rokok dan lain-lain. Intinya, barang-barang yang mereka beli di pasar hanyalah barang-barang yang tidak bisa ditanam atau diproduksi sendiri. Pasar juga tidak setiap hari, tapi seminggu sekali yang berada jauh dari kampung kami.
Kedua, tradisi memantai. Salah satu momen istimewa yang saya ingat dalam persiapan Ramadhan itu adalah peristiwa memantai. Ini adalah tradisi khas dalam menyambut Ramadhan juga hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Memantai adalah kegiatan menyembelih kerbau atau sapi yang dagingnya dimasak untuk makan sahur dan berbuka pertama. Hewan yang disembelih dibeli dari uang patungan (iuran) seluruh masyarakat kampung. Semua dibagi rata.
Hari memantai dilaksanakan tepat sehari sebelum hari pertama puasa. Proses memantai dilakukan secara gotong royong. Hewan sembelihan dikerjakan secara bersama-sama dan tidak ada yang beraktivitas di ladang atau di kebun. Bahkan, hari memantai ini dinobatkan sebagai hari ‘keramat’. Pesan orang tua biasanya berbunyi “Jangan bepergian hari ini, orang mantai. Bisa celaka”.
Masing-masing anggota keluarga berbagi tugas. Para pria bersama-sama mengolah hewan sembelihan, dari menyembelih hingga membagi rata kepada warga. Proses ini bisa berlangsung setengah hari. Para wanita (ibu-ibu dan anak perempuan) menyiapkan bumbu dapur olahan daging yang segera datang. Pada hari ini pula anak-anak kecil bersuka ria. Bergembira menyambut tamu agung bernama Ramadhan.
Lagi-lagi, melalui proses memantai ini pula tergambar betapa kekerabatan dan kekeluargaan terbina dengan baik. Strata social hilang begitu saja. Miskin atau kaya, lauk nasi mereka sama yaitu daging.
Bukan daging sembelihannya yang istimewa sebenarnya, tapi nilai-nilai kearifan lokal yang tertanam di dalamnyalah menjadikan kegiatan ini menjadi istimewa. Jika pun tidak ada daging sembelihan seperti ini, sebenarnya masyarakat juga masih bisa memakan daging yang didapat dari binatang buruan seperti rusa, kijang, kancil, napuh, landak, dan lain sebagainya. Hutan masih sangat terjaga dengan baik sehingga binatang-binatang buruan ini masih terjaga dengan baik. Hanya dengan memasang ‘jorat’ (perangkap) minimal sebulan sekali mereka bisa merasakan masakan daging. Namun bagaimana pun, mereka sangat tahu bagaimana menjaga keseimbangan alam. Mereka tidak pernah mengambil melebihi dari apa yang mereka butuhkan. Hanya keserakahan zaman yang kemudian membuat mereka punah!
Akhirnya, kedatangan Ramadhan di kampung kami betul-betul menjadi tamu istimewa. Mengapa semua persiapan itu harus dilakukan? Karena mereka memang ingin betul-betul focus beribadah selama Ramadhan. Selama Ramadhan mereka mengurangi kerja-kerja berat agar pada malam harinya bisa berlama-lama di masjid untuk tarawih dan membaca Al-Quran. Marhaban ya Ramadhan.
#BNODOC15101062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post