Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Ke satu: puisi yang berjudul “Catatan Pinggir Ketika Aku Lahir” adalah gambaran utuh kondisi sosio kemasyarakatan kampung kami. Perhatikanlah kata atau kalimat yang tersurat untuk mendapatkan makna yang tersirat. Beberapa diantaranya, “dinding pelupuh nan rapuh” menyiratkan kondisi bangunan atau rumah di kampung itu belum ada yang permanen atau menggunakan semen/batu. Tempat tinggal masyarakat berupa rumah panggung yang berdindingkan papan atau ayaman bambu yang disebut ’pelupuh’. Begitu juga kata ”sabun cuci dan minyak tanah” yang menunjukkan bahwa belum ada listrik. Minyak tanah digunakan untuk lampu ’teplok’ atau lampu minyak tradisional. Dan masih banyak lagi.]
Pada masanya, kehidupan masyarakat kampung saya memang begitu sederhana dan bersahaja. Belum tersentuh kemajuan teknologi dan ’dunia luar’. Semua berjalan dengan aturan-aturan adat dan ’eco’ pakai yang ada. Sistem kekerabatan yang kuat. Ikatan persaudaraan yang sangat erat. Mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan berpegang teguh pada Seloko adat;
Tudung menyudung bak daun sirih
Jahit menjahit bak daun petai
Hati gajah samo dilapah
Hati tungau samo dicecah
Ado samo dimakan
Idak ato samo dicari
Makna dari seloko tersebut adalah adanya rasa senasib sepenanggungan. Semua saling melindungi, saling memberi dan saling berbagi. Hal ini semakin terasa pada saat menghadapi bulan suci Ramadhan. Kehidupan orang kampung saya sangat taat mejalankan perintah agama. Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang sangat ’sakral’ dan betul-betul menjadi bulan yang dinanti-nanti.
Sebulan sebelum masuknya bulan suci Ramadhan ’kehebohan’ sudah mulai terasa. Persiapan demi persiapan dilakukan. Pertama, persiapan logistik. Di masanya, orang kampung saya tidak pernah membeli beras. Anda akan dicap sebagai orang yang pemalas jika harus membeli beras. Mereka semua berladang atau apa yang kami sebut ’beumo’. Ladang ditanami padi dan bibit karet. Setelah pohon karetnya besar (menjadi kebun), maka ladangnya berpindah ke tempat lain. Itulah yang dikenal ladang berpindah-pindah.
Padi (gabah) yang dihasilkan minimal harus mencukupi kebutuhan selama satu tahun makan keluarga dengan patokan dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya. Gabah juga tidak dijual. Betul-betul untuk mencukupi makan keluarga. Maka ladang yang mereka garap secara tradisional tersebut tidak begitu luas, antara satu sampai dua hektar. Alat-alat yang digunakan untuk membuka lahan masih sangat tradisional seperti beliung, gergaji, parang, dan sejenisnya. Semua masih menggunakan tenaga manusia. Bertahun-tahun mereka membuka lahan seperti ini tidak pernah terjadi bencana asap. Mereka sangat arif dalam mengelola hutan dan sumber daya alam lainnya. Sungai terjaga dan danau-danau damai bagi ikan-ikan.
Padi (gabah) hasil panen ladang ini biasanya disimpan di gudang penyimpanan khusus (kami menyebutnya ’gorut’) atau hanya di bahwa pondok yang terdapat di ladang tersebut. Gabah disimpan bersama tangkai padinya. Disusun sedemikian rupa sehingga butiran padi masih menyatu dengan tangkainya. Ketika hendak dimanfaatkan atau akan dijadikan beras, barulah diambil sesuai kebutuhan dan kemudian diproses secara tradisional pula.
Sebulan sebelum Ramadhan datang, masyarakat kampung biasanya berbondong-bondong menuju ladang masing-masing untuk melakukan proses ’membuat’ beras (menjadikan padi (gabah) hingga berubah menjadi beras). Tidak ada mesin perontok untuk memisahkan padi dari tanggkainya. Maka mereka melakukan proses yang disebut ’mengirik’. Gabah bersama tangkainya diletakkan di lantai dan kemudian dinjak-injak dengan teknik khusus sehingga butiran padi terpisah dari tangkainya.
Setelah di ’irik’ padi di ’tampi’. Menggunakan ’nyiru’ untuk memisahkan padi yang berisi dengan yang ’ampo’ (atau tidak ada isinya). Setelah itu dijemur di tengah terik matahari untuk beberapa saat sebelum kemudian di ’kisar’. ’Kisaran’ ini adalah alat tradisional yang terbuat dari kayu untuk memisahkan padi dengan kulitnya. Namun ’kisaran’ belum membuat padi benar-benar bersih. Kisaran masih menyisakan kulit ari padi. Maka selanjutnya padi ditumbuk menggunakan alu dan lesung. Barulah kemudian menghasilkan beras yang siap dimasak.
Proses ini memakan waktu untuk beberapa hari, dan tidak jarang dilakukan secara gotong royong atau saling membantu. Karena proses untuk mendapatkan beras ini sangat panjang dan memerlukan tenaga, maka tidak mungkin dilakukan saat bulan Ramadhan. Itulah makanya beras sudah harus disiapkan sebelum ramadhan datang. Jumlah beras yang disiapkan sudah disesuaikan dengan kebutuhan keluarga selama sebulan penuh. Bersambung…
#BNODOC15031052017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post