Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Ke satu: selama bulan Ramadhan aktivitas kami anak-anak kampung tidak banyak yang berubah, terutama pada siang hari. Kegiatan luar rumah masih saja berlangsung sebagaimana biasanya. Bermain, mamancing, mengurus ternak tetap menjadi rutinitas yang dilalui dengan gembira penuh canda dan persahabatan bersama teman-teman sebaya. Kebersamaan dan kekeluargaan begitu kental dalam melewati masa-masa kecil di kampung selama ramadhan]
Saya meninggalkan kampung halaman sekira tahun 1996. Walau merantau tidak terlalu jauh ukuran sekarang, namun untuk ukuran dulu dengan sulitnya transportasi dan komunikasi, cukup memisahkan saya dengan sanak keluarga. Tapi dengan kemudahan alat transprtasi saat ini, jarak antara kampung dan perantauan saya saat itu dapat ditempuh hanya dalam waktu lebih kurang satu atau dua jam saja.
Itu artinya, sampai usia sekolah menengah pertama saya masih melewati masa-masa ‘indah’ penuh kenangan di kampung halaman. Masih melewati masa-masa bersama orang tua. Memasuki usia sekolah menengah atas saya baru ‘uji nyali’ menjelajah dunia. Tapi kenangan akan tumpah darah tidak akan pernah sirna.
Di kampung kami tidak mengenal istilah ‘ngabuburit’. Di zaman itu rasanya kata ini memang belum populer. Sekedar pengetahuan umum saja, istilah ‘ngabuburit’ ini diambil dari bahasa sunda. Kata ‘burit’, yang berarti senja, sore, atau bisa juga magrib. Kamudian ditambah imbuhan ‘nga’ dan dengan pengulangan awal kata ‘bu’ sehingga menjadilah ‘nga-bu-burit’ atau menunggu waktu senja. Seiring berjalannya waktu, kata Sunda ini kemudian dikenal orang Indonesia sabagai aktivitas menunggu saat-saat berbuka puasa.
Untuk menunggu datangnya saat berbuka puasa, ada begitu banyak hal yang biasa kami lakukan. Salah satu hal yang paling favorit adalah main ‘bodil buluh’ (meriam bambu). Ingat, di kampung kami, waktu berbuka puasa tidak menggunakan serine seperti saat ini, tapi menggunakan kotuk (kentongan) atau tabuh (beduk). Tabuh digunakan untuk aktivitas harian di masjid seperti memberi tanda shalat lima waktu, shalat jumat, dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Seiring berjalannya waktu, ‘kotuk’ pun mengalami pegerseran fungsi. ‘Kotuk’ yang semula berfungsi sama dengan tabuh, akhirnya hanya digunakan untuk memberitahukan berita kematian. Kami menyebutnya ‘kotuk jarang’.
Jadi hati-hati, jika berkunjung ke kampung saya dan terdengar ‘kotuk jarang’ jangan berbuka dulu. Itu pertanda ada orang yang meninggal dunia, hehehe.
‘Bodil buluh’ yang kami siapkan terkadang tidak satu orang satu. Tapi berkelompok dengan tetangga terdekat. Dua atau tiga rumah ada satu ‘bodil buluh’. Biasanya untuk pembuatannya juga disiapkan bersama-sama beberapa minggu sebelum ramadhan datang. Buluh (bambu) yang digunakan untuk mainan tradisioanl ini harus yang berkualitas tinggi untuk mendapatkan suara yang menggelegar. Buluh yang berkualitas adalah yang besar, tebal dan ruasnya panjang-panjang. Panjang ‘meriam’ ini keseluruhan sekitar satu setengah samapi dua meter. Ada yang masih ingat cara membuat dan memainkannya? Jika ada, berarti anda sudah tua, hehehe…
‘Bodil buluh’ ini memang tidak asing di Indonesia. Hampir di setiap daerah mengenalnya walau dengan teknik yang berbeda. Kebanyakan saat ini menggunakan karbit. Dulu kami tidak mengenal bahan kimia tersebut.
Kami memainkannya dengan cara yang sangat tradisional. Buluh yang telah dihilangkan ruasnya dari dalam itu diisi bahan bakar minyak tanah dan sedikit dimasukkan kain sebagai sumbunya dari lobang kecil s pemantik api yang disediakan di pangkal buluh. Api disulut dari lobang kecil itu secara berulang kali. Sambaran api terhadap sumbu yang ada di dalam buluh itulah kemudian yang menimbulkan dentuman keras layaknya meriam.
Bunyinya mengasikkan untuk didengar tapi aman untuk dimainkan. Jika menggunakan karbit, ledakannya memang keras tapi sangat berbahaya. Itulah pesan dari permainan-permainan tradisional, ia tidak hanya menyuguhkan keasyikan (fun) tapi juga sangat mengedepankan nilai-nilai dan keamanan. Banyak masyarakat lupa hal ini. Mereka semata menginginkan suara yang keras tapi lupa akan keselamatan diri. Kerontang nilai-nilai!
Akhirnya, salah satu keasyikan kami menunggu waktu berbuka puasa itu adalah dengan memainkan ‘bodil buluh’ (meriam bambu). Memainkannya secara tradisional tanpa bahan kimia yang membahayakan. Permainan tradisional selalu saja menyuguhkan nilai-nilai, tidak hanya sekedar hiburan (entertaiment) semata. Dum..! Selamat berbuka.
#BNODOC15404062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post