Oleh: Bahren Nurdin, MA
Rosulullah bersabda, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhori dan Muslim). Ya, gembira sekali. Waktu berbuka puasa adalah saat-saat yang sangat dinanti setelah seharian beraktivitas. Di bulan Ramadhan, kami anak-anak kampung tetap menjalankan hari-hari seperti biasa.
Sekolah, mengaji, bermain dan membantu orang tua tetap jalan terus. Puasa tidak menghalangi kami untuk menjalankan rutinitas seperti hari-hari yang berlalu. Pulang sekolah biasanya kami lebih banyak menghabiskan waktu di sungai untuk memancing ikan. Di samping ikannya bisa dibawa pulang, bisa juga sebagai kegiatan positif untuk ‘killing time’ melewati hari saat berpuasa. Semua dilalui dengan tawa, canda dan gembira. Sekali-kali juga berkelahi, hehe.
Banyak tempat untuk memancing seperti anak-anak sungai, danau-danau kecil, atau payau. Tapi, tempat favorit kami biasanya memancing ikan di sela-sela pohon-pohon besar yang berjejer di sungai Batang Hari yang telah dijadikan log. ‘Dulu’ kami tidak mengenal pembalakan liar. Kami hanya menyaksikan pohon-pohon berdia meter 2 meter atau lebih itu dirobohkan kemudian dijadikan rakit sedemikian rupa dan dihanyutkan melalui sungai. Biasanya, sebelum dihanyutkan, batang-batang besar itu didiamkan dulu di kampung kami beberapa bulan. Itulah yang kemudian dijadikan tempat kami bermain, memancing, dan mandi.
Kini tidak ada lagi kayu-kayu besar itu karena hutan kami telah dibabat habis. Perusahaan sawmill di samping kampung pun sudah tutup. Mereka pergi setelah hutan ‘kami’ dirusak, dirambah dan dijajah! Air sungai pun menguning; keruh! Anak-anak kampung pun nanar menatap monitor dan stik Play Station di tangan sepanjang hari.
Prosesi memancing biasanya diakhiri dengan mandi bersama di ‘kolam renang’ terpanjang di Pulau Sumatera itu. Ukurannya sederhana, kami akan pulang kerumah jika mata sudah memerah dan telapak tangan memutih dan mengkerut. Jangan salah, kami juga memiliki ‘water boom’ yang dibuat persis di tebing sungai. Prosotan yang penuh sensasi karena dibuat alami dari tebing tercuram. Jika tidak hati-hati, celana pasti sobek terkena benda-benda asing yang ikut ‘bermain’. Meluncur dari atas tebing berlumpur yang licin cukup untuk memacu adrenalin kami anak-anak kampung. Sensasional, menantang, kreatif dan tentunya gratis, hehehe.
Satu lagi, lompat indah. Alam selalu memberikan fasilitas terbaiknya untuk manusia tidak terkecuali kami. Di pinggir sungai selalu ada pohon besar yang tumbuh menjulang. Sebagian besar dahannya menjuntai ke sungai. Biasanya pohon mangga atau koini. Pohon-pohon inilah fasilitas kami untuk uji nyali lompat indah. Manjat setinggi yang diinginkan, kemudian loncat kesungai. Burrr..! Paling tidak ada tiga gaya lompat indah favorit kami, yaitu ‘terojun bakul’, ‘terojun tanjak’ dan ‘gaya bebas’.
Masuknya waktu Shalat asyar sebagai ‘lonceng’ yang menandakan semua aktivitas air berahir. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami berpencar mencari hewan ternak untuk dihalau ke kandang. Ternak kami, pagi di lepas, petang hari dijemput. Seloko adat Jambi berkata “Ternak bekandang malam. Umo bekandang siang”. Itu artinya, jika siang hari ladang dan kebun harus ditunggu dan dijaga agar tidak dirusak hewan ternak seperti kerbau, sapi, kambing, dan domba. Tapi pada malam hari ladang boleh ditinggal karena kewajiban bagi pemilik ternak untuk mengurung hewan peliharaannya. Itulah kearifan lokal yang amat bijaksana.
Saya memiliki beberapa ekor sapi. Untuk mendeteksi keberadaan mereka, saya berkeliling kampong sambil berteriak, “Meeeh…meeh… meehh…”. Seasyik apa pun mereka merumput, dapat dipastikan mengenali suara saya. Di manapun mereka berada jika mendengar teriakan itu, pasti salah satu dari mereka akan menjawab “Mooooh…”. Hebat, hehehe. Bersambung.
#BNODOC15303062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post