Apa yang saya definisikan sebagai dendam akal sehat adalah dendam yang mengedepankan logika dan pertimbangan-petimbangan akal. Jika dikategorikan secara sederhana, dendam itu bisa dibagi dua; positif dan negatif, membangun dan merusak, ‘jinak dan liar’. Dendam yang positif akan memacu seseorang untuk malakukan kebaikan untuk dirinya dan orang lain. Dendam jenis ini akan menjadi motivator dalam hidupnya untuk menjadi lebih baik.
Saya pernah memiliki dendam jenis ini. Pada tahun 1998 saya senang sekali karena menjadi salah seorang wakil dari Kabupaten Bungo Tebo (sekarang dipisah dua menjadi Kab. Bungo dan Kab. Tebo) sebagai mahasiswa undangan melalui jalur Penyaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Terlahir di tengah keluarga yang kurang mampu, saya dan keluarga menghadapi banyak ‘cemoohan’. Bahkan, salah satu anggota masyarakat terang-terangan berkata, ‘sudahlah, jangan bermimpi terlalu tinggi. Anak petani tetaplah jadi petani!’. Kalimat ini sungguh sangat menyakitkan walaupun yang mereka sampaikan itu sebuah kebenaran karena memang secara logika sulit bagi keluarga saya memenuhi kebutuhan kuliah. Tidak ada biaya. Tapi, saya tidak lantas marah kepada orang yang mengucapkannya. Saya dendam pada diri sendiri. Saya akan buktikan bahwa mereka salah.
Dengan ridha Allah, bantuan begitu banyak orang, perjuangan yang begitu keras, ‘lintang-pukang’ – jungkir-balik menghadapi begitu banyak cobaan hidup, akhirnya pada tahun 2006 saya dinyatakan lulus menjadi dosen. Alhamdulillah, dendam saya tertunaikan, ‘anak petani boleh jadi dosen’.
000
Beberapa bulan lalu, ketika saya mengisi seminar di luar Kota Jambi, saat jeda break makan siang saya ditemui dua seorang mak-mak. Minta izin untuk diskusi. Biasanya, saya selalu dapat pengalaman baru dengan diskusi-diskusi semacam ini. Salah seorang dari mereka bercerita panjang lebar tentang masalah rumah tangga. Dia bilang, itu cerita salah satu anggota keluarganya dan mencoba mencari solusi yang memungkinkan.
Menurut ceritanya, ada kejadian ‘aneh’ yang baru saja terjadi. Di luar dugaan, salah satu anggota keluarganya baru saja bercerai dari suaminya. Padahal, umur pernikahan mereka tidak lagi muda. Sudah puluhan tahun bersama. Sudah tua dan matang.
Apa penyebabnya? Saya coba menggali informasi hubungan rumah tangga itu selama ini. Dijelaskannya, selama ini baik-baik saja. Bahkan, cerita tetangganya, suaminya sangat ‘manut’. Istrinya jadi ‘raja’ di rumah itu. Dia tipe suami yang siaga, semua dikerjakannya, isterinya marah-marah pun, dia diam saja. Tidak jarang, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh isterinya, dia lakukan semua. Dia adalah suami yang keren dan mau disuru-suruh. Sampai-sampai, banyak isteri-isteri di lingkungannya yang iri terhadap kebaikan suaminya.
Tapi semua berubah ketika Si Bungsu lulus kuliah. Dia kemudian menjadi suami yang ‘pemberontak’. Puncaknya, cerai.
Nah, menurut saya disini letak perkaranya. Ini yang saya sebut ‘dendam akal sehat’. Semua mengetahui bahwa lelaki itu mengedepankan logika alias akal sehat. Dengan logikanya, ia akan mampu menahan penderitaan yang dihadapinya.
Pada kasus ini, selama ini sebenarnya dia bisa jadi sudah tidak sanggup menghadapi perlakuan isterinya kepada dirinya, tapi akal sehatnya berkata ‘anak-anak jangan korbankan hidup mereka’. Dengan akal sehat ini, ia hadapi semua yang tidak pantas ia terima, tapi akal sehatnya juga memiliki dendam ‘tunggu anak-anak sudah besar’.
Mengapa perubahan itu terjadi ketika anaknya sudah selesai kuliah? Saat itu akal sehatnya berkata, ‘saatnya aku bebas. Anak-anak sudah bisa menentukan hidup mereka sendiri. Sekarang saatnya aku menentukan kebebasanku sendiri’. Balas dendam!
Dendam semacam ini bisa terjadi kepada siapa saja. Laki-laki kepada perempuan, perempuan kepada laki-laki, suami kepada isteri, isteri kepada suami, anak kepada orang tua, orang tua kepada anak, atasan kepada bawahan, bawahan kepada atasan, sesama teman, dan lain sebagainya.
Pada kasus di atas, apa solusi yang bisa ditawarkan? Minta maaf. Ya, minta maaf atas segala perlakuannya selama ini. Jika selama ini berbangga dengan ‘kehebatannya’ menaklukkan suaminya, sadarilah itu kesalahan yang besar! Mulailah mengubah sikap-sikap yang tidak baik. Komunikasikan apa yang selama ini tidak suka, apa yang menyakitinya, dan seterusnya.
Apa yang menjadi pelajaran adalah bahwa sesuatu yang nampaknya ‘gak apa-apa’ terhadap perlakuan kita kepada orang lain, belum tentu ‘tidak apa-apa’. Jangan-jangan mereka sedang memendam dendam akal sehat mereka. Hati-hati.
Discussion about this post