Menyimak perkembangan konstelasi politik pada Pemilu serentak saat ini, acara debat terbuka pasangan calon (paslon) cukup menyedot perhatian masyarakat di berbagai daerah. Debat sendiri merupakan salah satu metode kampanye sebagaimana disusun di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota pada Pasal 65 ayat 1 poin c.
Debat juga memiliki tujuan yang amat sangat penting sebagaimana diatur di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati / Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pasal 22 ayat 5 dengan baik telah mengatur materi debat. Debat merupakan sarana penyampaian visi dan misi Pasangan Calon dalam rangka: a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b. memajukan daerah; c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; d. menyelesaikan persoalan daerah; e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
Itu artinya penyelenggaraan debat merupakan salah satu tahapan penting dari sekian banyak tahapan yang ada untuk mencapai penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas. Jika dicermati lebih jauh, maka debat ini merupakan salah satu tahapan kampanye yang sangat erat dengan nuansa akademik. Melalui debat ini pula, baik langsung mau pun tidak langsung, paslon yang ‘berlaga’ akan diuji kompetensi mereka masing-masing. Boleh juga menjadi sarana uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper).
Namun apa yang terjadi saat ini, di banyak tempat debat yang dilaksanakan oleh KPU malah menjadi ajang saling ‘bantai’ tidak hanya oleh paslon tapi para tim sukses (timses) atau pendukung masing-masing kubu. Lihat saja apa yang terjadi di Nias Selatan (Nisel), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan beberapa tempat lainnya debat membawa kericuhan atau paling kurang nyaris ricuh. Ditengarai, kericuhan yang terjadi bermula dari ‘yel-yel’ yang dilontarkan oleh tim sukses. Sesungguhnya yel-yel itu baik karena tujuan utamanya adalah untuk memberikan support kepada paslon yang didukung. Akan tetapi, di lapangan berbeda. Seringkali yel-yel yang dilontarkan berbumbu ejekan, cacian, makian, dan lain sebagainya sehingga memancing hal-hal yang tidak diinginkan.
Jika begitu, masih perlukah yel-yel pendukung (timses)? Mari kita perhatikan beberapa pertimbangan berikut ini. Pertama, debat merupakan salah satu tahapan yang penuh dengan nuansa akademis. Maka, tatanan penyelenggaraannya juga harus memenuhi kaedah-kaedah akademik. Artinya, tidak boleh ada nuansa-nuansa ‘hura-hura’, apa lagi sudah masuk pada wilayah caci maki, serang-menyerang, tuding-menuding, dan lain-lain. Debat semacam ini tentu tidak bisa disamakan dengan menonton pertandingan bola atau balap Moto GP!
Kedua, dampak psikis. Tidak dapat dipungkiri, ketika kedua tim sukses beradu yel-yel di tengah-tengah perhelatan debat tersebut, akan memberi pengaruh psikologi baik kepada pasangan calon atau pun bagi tim sukses yang melakukan yel-yel itu sendiri. Secara psikologis, tidak ada manusia di muka bumi ini yang mau dihina, diejek, dan direndahkan. ‘Jual beli’ yel-yel sudah dapat dipastikan dan akan menimbulkan amarah dan dendam. Jika ini menyerang paslon, maka paslon pun akan kehilangan konsentrasi dan keseimbangan emosi. Yang muncul ke permukaan adalah kemarahan dan emosional personal.
Ketiga, kegaduhan. Kita telah menyaksikan bagaimana aksi para timses alias supporter paslon yang membuat kegaduhan. Di banyak debat terbuka, sampai-sampai moderator tidak bisa melanjutkan debat karena masing-masing kubu berebut yel-yel. Sudah dapat dipastikan secara langsung mengganggu jalannya debat. Tujuan utama debat tidak akan pernah tercapai.
Melihat beberapa hal di atas, maka untuk debat terbuka selanjutnya, sebaiknya tidak perlu lagi ada yel-yel. Siapa pun yang masuk ke dalam ruangan itu harus mampu menahan diri untuk tenang dan memperhatikan secara seksama. Jika diperlukan, tidak hanya yel-yel yang ditiadakan, atribut-atribut yang mencolok tidak perlu dipakai.
KPU Harus Tegas
Untuk menjaga jalannya debat dan untuk mencapai tujuannya secara maksimal Komisi Pemilihan Umum harus tegas. Memang semua sudah diatur oleh undang-undang dan mekanisme debat, tapi masih perlu ketegasan KPU. Bekerja sama dengan pihak keamanan seperti polisi, KPU bisa memaksa peserta atau siap saja yang mengikuti debat tersebut keluar dari ruangan jika membuat kegaduhan. Pihak keamanan harus berbaur berada di dalam kelompok massa yang ada.
Ketegasan KPU ini penting demi tercapainya demokrasi yang berkualitas. Asumsinya jelas, para undangan yang menghadiri debat tersebut adalah orang-orang yang dianggap mampu berkontribusi terhadapa pendewasaan demokrasi bangsa ini. Jadi, jika masih ada yang belum dewasa atau melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diatur oleh aturan yang ada, bukan di situ tempatnya.
Kedewasaan Politik Timses
Tujuan utama adanya tim sukses adalah untuk membantu menyukseskan pasangan calon yang diusung untuk menjadi pemimpin di negari ini. Jika begitu, harus ada kesadaran kolektif dari para pendukung untuk berlaku ‘baik’ agar paslon yang didukung bisa berbuat maksimal dalam menjalankan tugasnya, khususnya pada saat jalannya debat. Kegaduhan atau yel-yel yang tidak mencerminkan kebaikan, akan merugikan pasangan calon yang ada. Dewasalah!
Akhirnya, paling tidak masih ada dua (2) putaran lagi debat yang akan dilaksanakan oleh KPU Provinsi Jambi. Tentu kita tidak ingin kericuhan yang terjadi di beberapa daerah lain terjadi di Jambi. Jika biang keroknya adalah yel-yel, debat tanpa yel-yel, kenapa tidak?
Discussion about this post