Akhir-akhir ini masyrarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan media terjadinya pencabulan ‘masal’ di berbagai tempat di tengah air yang tidak jarang menelan korban nyawa. Di Provinsi Jambi sendiri beberapa kasus cukup mencengangkan. Terbaru, kasus beredarnya video porno dengan pelaku salah satu di duga mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam di Kabupaten Kerinci. Tidak tanggung-tanggung, diduga pelaku juga salah satu qoriah utusan institusi tersebut. Sementara itu, Jambi Ekspres tanggal 14 Mei 2016 memuat headline “Siswi SMP dan SMA Tertangkap Ngamar”. Seorang anak bau kencur diduga sudah berbuat mesum dengan orang dewasa seumur ayahnya. Di hari yang sama juga tersebar berita seorang aggota dewan (DPRD) Kabupaten Sarolangun tertangkap kamera wartawan sedang menikmati foto telanjang saat berlangsungnya Rapat Paripurna. Dan entah berapa banyak lagi berita tentang kecabulan seperti ini. Alhasil, dari yang bau kencur hingga yang bau kubur; cabul.
Ada apa dengan cabul? Tidak ada apa-apa. Persoalan seksualitas sesungguhnya adalah persoalan fitrah manusia dan merupakan qodrat. Nafsu syahwat adalah titipan Ilahi yang harus dikelola dengan baik dan benar. Syahwat menjadi petaka ketika tidak ‘diberdayakan’ kepada orang yang tepat dengan waktu dan tempat yang pas. Allah telah mengatur penggunaan syahwat dengan sangat tegas dan detail. Islam mengajarkan “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’ (17) : 32). Dan Allah membolehkan kepada yang sah “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. ( QS. Al-Baqarah (2): 223).
Fakta yang terjadi dewasa ini adalah berlakunya penyimpangan dalam penggunaan aturan ini; boleh dan tidak boleh. Yang boleh (menikah) tidak dilakukan dan yang tidak boleh (zina) dilaksanakan. Lama kelamaan kemudian hal ini menjadi penyakit yang menjangkiti setiap elemen masyarakat, dari yang muda hingga yang tua. Penyakit yang mewabah ini menyerang mental masyarakat bahwa perbuatan zina dianggap tren zaman. Celakanya, penyakit masyarakat ini sangat berpengaruh pada pola kehidupan generasi penerus bangsa ini. Tidak bisa dibayangkan jika siswa Sekolah Dasar dan Menengah sudah terbiasa dengan perilaku menyimpang ini. Daya rusak yang ditimbulkan sangat besar. Masa depan mereka dan bangsa ini dapat dipastikan terabaikan!
Tidak gamblang memang mencari akar masalahnya. Namun secara umum, saya ingin mengatakan ada dua fondasi utama kehidupan yang sudah tidak lagi kokoh dan cenderung rapuh. Dua fondasi itu adalah pemahaman agama dan pelestarian adat budaya (local wisdom). Penanaman nilai-nilai agama yang baik akan membentuk personali individu yang berkualitas karena akan mengatur hubungan seseorang dengan dirinya dan sang Pecipta. Ketika seseorang memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan-nya maka ia akan mampu menguasai dirinya untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Persoalannya, penanaman nilai-nilai inilah yang saat ini sudah diabaikan, baik secara formal melalui pendidikan formal maupun informal melalui keluarga dan masyarakat. Agama saat ini hanya dijadikan atribut kehidupan, tidak lagi dijadikan ‘rel’ penuntun jalan kebenaran.
Begitu juga halnya dengan penanaman nilai-nilai adat budaya lokal. Tidak bermaksud menyalahkan, pengaruh perkembangan teknologi dan informasi telah berhembus kencang bak angin topan yang membawa kesana ke mari suatu budaya kepada budaya lain. Dari barat ke timur, dari selatan ke utara. Persoalannya, masing-masing budaya sudah dapat dipastikan akan baik dan subur berkembang untuk suatu masyarakatnya. Ketika budaya lain masuk kedalam suatu budaya, sudah dipastikan akan terjadi ‘perseteruan’ atau bahkan kerusakan. Ketika adat dan budaya Barat masuk ke Timur, akan ada ‘kerusakan’. Harus jujur, adat budaya Jambi telah tergerus. Banyak sekali aturan-aturan kehidupan masyarakat yang tidak lagi mengakar. Masyarakat kehilangan jati diri. Disebut orang Barat tapi dia tinggal di Timur. Disebut orang Timur, gaya hidupnya ke-Barat-Baratan.
Dua tembok ini telah jebol. Agama sudah tidak kuat, adat budaya sudah ditinggalkan. Maka dengan mudahlah segala pengaruh negatif masuk ke dalam kehidupan kemasyarakatan saat ini, termasuk persoalan zina, atau yang lebih popular dikenal dengan seks bebas alias cabul bebas. Apa yang bisa diperbuat saat ini?
Kita tidak bisa hanya meratap dan menajdi penonton. Semua elemen masyarakat harus bahu membahu berbuat sesuatu. Rumah adalah tempat yang paling tepat untuk memulai. Kita mulai dari rumah untuk mendidik anak-anak dengan ajaran agama dan budaya yang kuat. Orang tua adalah figur paling pas untuk dijadikan contoh, maka jadilah orang tua yang patut dicontoh. Di sekolah, guru harus mampu menempatkan diri sebagai pendidik, tidak hanya tenaga pengajar. Moral dan kejujuran harus ditempatkan di depan.
Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihadang, tapi kita bisa mengantisipasi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Sudah saatnya pemerintah mulai memikirkan peraturan dan perundang-udangan pemakaian alat komunikasi smartphone atau gadget untuk anak-anak di Indonesia. Bisa saja diatur anak-anak umur tetentu tidak diperbolehkan menggunakan gadget tanpa pendampingan.
Terakhir, dengan terjadinaya berbagai kasus pencabulan di tanah air, khsusunya di Provinsi Jambi, setuju atau tidak, sudah saatnya kita mengatakan saat ini Darurat Cabul. Semua orang harus ikut serta dalam memerangi pencabulan di manapun kapan pun. Hukuman mati langkah tepat memberantas pencabulan. Semoga.
Bahren Nurdin, SS., MA
Dosen IAIN STS Jambi,
Direktur Pusat Studi Humaniora
Catatan:
Arikel ini telah dimuat di Kolom OPINI Jambi Ekspres (JPNN)
Tgl 16/5/2015 Hal. 19
Discussion about this post